[An, datang ya ke acara reuni SMA kita dulu dua hari lagi. Ajak suami dan anakmu. Aku juga mau ngajak suami dan anakku nanti]Pesan whatsapp dari Erika, sahabat SMA-ku dulu masuk ke aplikasi hijauku.[Insyaallah, Ka. Di mana lokasi acaranya?] tanyaku.[Kediaman dokter Wisnu. Itu lho teman satu lokal yang dulu juara kelas terus. Kalian pernah dekat 'kan? Sekarang dia bangun rumah sakit sendiri lho di daerah Panam. Keren.] Emoticon jempol menghiasi balasan pesan dari Erika.Membaca pesan itu dadaku berdegup kencang sesaat.Dokter Wisnu? Lelaki tampan itu dulu memang pernah menjadi seseorang terdekat dan begitu spesial di hati ini.Kami sempat menjalin hubungan untuk beberapa lama sebelum akhirnya ia harus berangkat ke kota Jakarta untuk menimba ilmu kedokt
"Hai, Ana. Apa kabar? Sudah lama gak ketemu ya? Kamu datang sama siapa? Sendirian?" sapa Wisnu sembari tersenyum ramah padaku.Aku balas tersenyum lalu menunjuk pada sosok Via yang tengah bermain bersama Tasya, putri Erika."Berdua anakku, Nu. Kabarku baik, alhamdulilah. Kamu sendiri gimana?" tanyaku balik.Kuperhatikan saat ini penampilan Wisnu memang semakin sempurna. Ganteng, sukses dan kaya. Sungguh beruntung wanita yang berhasil memiliki dirinya."Aku juga baik. Oh ya, dengar-dengar kamu sudah menikah? Mana mas-nya? Kok gak diajak sekalian?" tanyanya lagi sembari melihat ke sekeliling tetapi kemudian kembali padaku saat tak menemukan sosok Mas Arya di sampingku.Sekilas kulihat matanya mengerjap, tetapi bagiku tak berarti apa-apa. Hubungan kami sudah berakhir sepuluh tahun lalu. Tak ada lagi
Usai solat magrib kembali aku mencoba menghubungi Mas Arya, tetapi hasilnya masih sama, ponselnya tak bisa dihubungi. Malah sekarang dalam keadaan mati."Gimana, sudah bisa dihubungi papanya Via?" tanya Wisnu sembari menggendong Via yang terlihat kuyu dan mengantuk, sebab hari ini terpaksa tidak tidur siang karena ikut menghadiri acara reuni ini.Gadis kecilku itu terlihat nyaman. Menyandarkan kepalanya di bahu Wisnu sambil memeluk tubuh lelaki itu dengan tenang.Sama sepertiku, aku tahu Via juga merasa nyaman bersama Wisnu. Itu bisa terlihat dari pancaran wajah dan mata gadis kecilku itu.Via memang tak pandai berbohong. Saat bersama papanya sendiri, gadis itu justru terlihat tak sepenuhnya merasa nyaman seperti saat ini.Sebagai anak, tentu saja Via punya naluri untuk ingin berdekatan dan diperhatikan terus oleh sang papa, tapi sayan
Atas reaksi Mas Arya itu, Wisnu terlihat terkejut dan tak menyangka akan sambutan suamiku itu tetapi dengan cepat ia berusaha mengusir rasa heran yang tercetak jelas di wajahnya tadi."Oke, Ana, aku pulang dulu ya. Jangan sungkan-sungkan mampir ke rumah atau ke tempat praktek ya, kalau ada keperluan. Salam buat Arya, aku pulang dulu," ujarnya dengan nada tenang dan dewasa.Aku memaksa senyum untuk mengusir rasa tak enak akibat sambutan Mas Arya yang di luar dugaan itu lalu menganggukkan kepala."Makasih banyak ya Wisnu untuk undangan dan untuk bantuannya nganterin sampe ke rumah. Maaf, kalau Mas Arya begitu, mungkin dia kecapekan. Insyaallah nanti kalau ada apa-apa, bolehlah aku mampir ke rumah sakit. Sekali lagi makasih ya bantuannya," ujarku dengan nada tak enak.Mendengar ucapanku, Wisnu hanya tersenyum."Gak papa, An. Ya udah, aku pulang dulu ya. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Kuikut
"An, maafkan mas tadi malam ya. Mas tuh sayang banget sama kamu dan takut kehilangan kamu, An, makanya mas jadi cemburu dan nuduh kamu yang macam-macam sama teman cowok kamu itu semalam. Padahal mas tahu banget kamu itu tipe istri setia dan gak bakalan mengkhianati mas serta ninggalin mas demi lelaki lain. Tapi karena cemburu yang berlebihan, mas jadi hilang akal sehat dan nuduh kamu yang nggak-nggak. Maafin mas ya, An kalai mas udah kelewatan sama kamu ... .""Mas tahu kamu istri yang sangat baik. Kamu istri setia. Sekali lagi maafkan mas ya, An. Mas janji nggak akan mengulangi apa yang mas lakukan sama kamu malam tadi," ucap Mas Arya keesokan paginya, saat aku sedang sibuk beres-beres di dapur sembari mencuci piring dan pakaian kotor.Lelaki itu terus merayu sambil berusaha mendekatiku hendak memeluk tubuhku tapi dengan tegas aku menghindar.Hatiku masih sangat sakit rasanya memikirkan ucapan dan tuduhannya semalam. Menganggap aku sama saja d
"An, coba jujur sama Mas, jangan diam saja. Sebenarnya selama ini kamu dapat uang dari mana? Kamu kerja apa hingga diam-diam bisa punya penghasilan seperti yang selama ini kamu dapatkan untuk membayar semua pengeluaran rumah tangga kita? Ayolah, An ... jujur sama mas? Istri yang baik tidak akan menyembunyikan rahasia sekecil apapun dari suaminya, kamu tahu itu 'kan? Kamu tahu 'kan kalau dalam aturan agama, istri boleh bekerja asal mendapatkan izin dari suaminya? Nah, kalau kamu gak jujur begini dan main rahasia-rahasiaan segala, apa kamu gak takut mas gak mengizinkan dan diam-diam kamu selalu menumpuk dosa?" ucap Mas Arya lagi seolah-olah sedang ngelindur.Selama ini tanpa sepengetahuannya, ia ikut menikmati penghasilanku tanpa komplain sedikit pun dari mana aku mendapatkan uang, tapi saat aku menghentikan bala bantuan itu tiba-tiba saja ia bicara soal izin dari suami. Seenak jid*tnya saja."Izin katamu, Mas? Apa selama ini aku ninggalin rumah dan kew
"Ana! Jangan pergi dulu! Aku belum selesai bicara! Mau ke mana kamu? Aku gak akan izinkan kamu pergi selama kamu masih sah berstatus sebagai istriku!" seru Mas Arya sembari mengejar lalu mencengkeram bahuku kuat hingga langkahku terpaksa kuhentikan.Diayunkan tangannya hingga posisiku sekarang menghadap ke arahnya."Oh ya? Kalau begitu sebentar lagi aku bukanlah istrimu lagi karena aku akan segera menggugat cerai kamu di pengadilan! Sekarang, lepaskan aku! Biarkan aku pergi, aku gak mau lagi hidup bersama laki-laki toksik seperti kamu!" sergahku keras sambil berontak berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Mas Arya."Kenapa? Karena dokter sialan itu? Benar 'kan kamu ada hubungan dengannya hingga tiba-tiba memutuskan pergi seperti ini? Kamu pikir dia lebih baik dariku? Begitu?" Mas Arya mengangkat kedua alisnya, tajam."Jangan sebut
"Kamu tetap di sini dan bantu ekonomi keluarga kita seperti biasanya. Jangan pergi. Apa kamu gak kasian sama Via kalau kita hidup terpisah-pisah? Toh, hidup sendiri pun kamu tetap butuh makan, Via juga butuh makan! Apa kamu juga gak kasian sama ibu, dia janda tua, merawat Mira yang masih kuliah pula, apa gak kasian kalau kekurangan biaya hidup dan Vira harus putus kuliah karena gak bisa bayar SPP? Tolong mas dan ibu, Ana. Jangan egois ...," tutur Mas Arya sambil menunjukkan ekspresi wajah sedih, tetapi mendengar ucapannya yang begitu terdengar ringan tanpa beban, emosiku makin bangkit saja rasanya, aku makin tak mengerti dengan jalan pikirannya. Dia yang laki-laki, dia yang jadi anak, masa aku terus yang harus memikirkan hidup orang tua dan adiknya? Gak salah?"Kamu 'kan laki-laki, Mas. Ibu dan Mira itu ibu sama adik kandungmu, masa aku yang harus terus-menerus memikirkan kebutuhan mereka?Selama tiga tahun ini aku selalu menutu