Bagian 16“Oh, begitu ya Bu? Tidak Bu. Perasaan saya pada ayahnya anak-anak tidak ada yang spesial. Biasa saja.” Bu Neni melempar senyum padaku.Saat itu aku dilema, aku ingin dekat dengan anakku Rahma, tapi kalau mas Adam setiap hari menemuiku, rasanya aku tak nyaman juga. Ku tatap wajah mungil Rahma yang sedang bermain boneka seorang diri.“Rahma? Rahma betah di sini atau di rumah Ayah?”tanyaku sembari menatap mata bulatnya.“Disini sama ibu, Rahma mau di sini saja sama ibu.” “Oooh, kamu mau di sini ya?Anak itu menganggukan kepalanya dengan cepat.Bagaimana ini? Rahma pun merasa betah denganku, rasanya tak tega aku jika harus menyuruhnya kembali pada Ayahnya. Aku kembali bicara pada Bu Neni, meminta pendapatnya untuk jalan terbaik. “Saya mengerti perasaan mu Ratih, ya sudah nanti kalau Adam datang, bicara kan dengannya, agar dia tidak sering datang ke sini.”“Baik Bu. “Keesokan harinya, di siang hari menjelang sore,Terdengar bunyi klakson mobil Mas Adam. Saat a
Bagian 17 Aku tak bisa memarahi Mas Adam di depan Rahma, ku ajak anakku ke kamar dan ku tidurkan ia. Setelah Rahma tertidur aku langsung bicara dengan Mas Adam. “Mas, aku tidak suka kamu perlakuan begini, kamu pikir aku tidak kerja? Kamu pikir aku tidak punya perasaan?” “Ada apa Ratih? Kenapa kamu marah?” “Kenapa? Kamu belum juga mengerti ?” “Mas Adam kita sudah bukan suami istri lagi, kita sudah memiliki kehidupan masing-masing. Aku gak mau kamu memanfaatkan Rahma.”sambung ku. Aku bergegas ke luar rumah. Namun Mas Adam menahanku. “Ratih, tolong jangan pergi. Aku mohon kembalilah hidup di sini bersama kami. Kami sangat membutuhkan mu Ratih. Oke! Kamu jangan lihat aku, tapi lihat Rahma, dia masih kecil. Tolong mengerti...” Mas Adam memohon mohon padaku, raut wajahnya menampakan perasaan iba. Dulu dia yang menyuruh ku pergi, sekarang dia memintaku untuk kembali. Bagian 9. Aku melihat Mas Adam menangis tanpa suara di hadapan ku, terlihat dari gerakan bahunya. “Mas, aku minta
Bagian 18“Ratih, apa kamu tau? Saya membuat suasana seperti ini untuk apa?”“Tidak Pak, memangnya untuk apa?”“Untuk melamarmu.”“Apa?” Seketika merah sudah wajahku menahan rasa malu. Apa aku sedang bermimpi? Apa Pak Ridho sedang bergurau?“Iya Ratih, aku serius. Apakah kamu mau jadi istri ku?”tanya Pak Ridjo sembari membuka kotak perhiasan berupa cincin indah di atas meja.“Aku tau, bapak sedang bercanda.”“Tidak Ratih, aku serius. Jawab sejujurnya apa kamu mau menerimaku?”Ah rupanya dia benar-benar ingin meminang ku. Bagaimana ini? Sebenarnya aku juga menyukainya, tapi rasa trauma untuk menjalani pernikahan ke dua. Apa dia benar-benar mencintaiku apa adanya? Atau karena penampilan ku yang sekarang?“Ratiiiih, ko malah ngelamun? Saya nunggu jawaban kamu?”“Aku, aku, aku belum bisa jawab pak. Nanti aku pikirkan dulu. Karena ini terlalu mendadak buat aku.”“Ooh, begitu. Oke tidak masalah. Tapi saya mau kamu menerima cincin ini. Dan beritahu saya ,sampai kapan saya menunggu
Bagian 19..**** Pagi hari sebelum sibuk beraktivitas Hu Neni memanggilku.“Sini Ratih, saya akan coba dulu bikin luka di wajah kamu. Takutnya gak mirip luka lagi.”Aku menyetujuinya, dan Bu Neni mulai membuat jerawat di wajahku satu persatu. Hingga nampak banyak sekali jerawat di wajahku.“Gimana Tih, udah mirip jerawat beneran apa belum?”“Sudah Bu sudah, aku geli liatnya Bu.”Kami berdua terkekeh bersama..“Tapi Ratih, seandainya dia menjauh karena hal ini, apa kamu akan kecewa?”“Kecewa pasti ada Bu, tapi Aku tidak akan menyesalinya. Aku hanya ingin di cintai apa adanya. Bu Neni langsung memelukku.“Oke Ratih, saya mau ke rumah Jeng Atin dulu, nanti itu kamu bersihkan saja sendiri ya?”“Baik Bu. Hati-hati.”Bu Neni pun meninggalkan rumahnya. Sementara aku duduk di depan cermin membayangkan wajah yang sangat mengerikan ini. “Aduh, Mas Ridho takut gak ya liat wajah aku? Semoga dia gak kabur, semoga dia tetap mencintai ku, meskipun aku buruk rupa. “Sesekali aku b
Bab 20. “Ayok cepat siap-siap.” Pinta Mas Ridho sedikit memaksa. “Ya sudah aku siap-siap dulu ya Mas.”Aku bergegas ke kamar. Di dalam kamar aku meluapkan kegembiraan ku. Tak terasa aku loncat loncat kegirangan. Kebahagiaan ini melebihi rasa senang saat mendapat juara model. Tak terasa air mataku menetes dari sudut mata, aku telah menemukan orang yang cocok, dia sangat menghargai ku. Ku ucapkan rasa syukur beberapa kali pada Allah Subhana wa ta’ala.Ku bersihkan makeup ku, hingga wajah ini kembali terlihat kecantikannya. Dan aku segera menemui Mas Ridho yang sedang menunggu.“Mas?”Mas Ridho beranjak dari duduknya, dan menoleh ke arah ku. “Ratih? Kamu?”Aku tersenyum melihatnya. Namun nampaknya Mas Ridho masih belum mengerti apa yang terjadi. “Ko hilang? Ko kamu?...”“Kenapa Mas? Ko aneh begitu liatin aku? Tanyaku pura pura tak mengerti.“Luka di wajahmu kemana?”Aku terkekeh sebelum menjawabnya.“Aku bersihkan lah Mas, kelamaan gak enak liatnya. Hihihi.”“Jadi,
Hari itu pun tiba, Mas Ridho menjemput ku dengan santai, sayangnya Bu Neni tidak bisa ikut, karena ada acara ku ini terlalu mendadak, dan Bu Neni sudah menjadwalkan ke tempat undangan lain. Meskipun begitu doa-doa terbaik untuk kami Bu Neni sampaikan sebelum ia meninggalkan kami. "Ya sudah ya Tih, saya berangkat ya. Kalian hati-hati di jalan.""Iya Bu," balas Mas Ridho. Aku segera bersiap untuk berangkat ke acara yang sudah Mas Ridho siapkan. "Ratih, kamu benar-benar cantik."pujinya. "Alhamdulillah, " jawabku tersipu malu. Akhirnya kami berlalu menuju gedung acara. Di dalam mobil kita isi dengan perbincangan ringan. Tiba-tiba ponsel Mas Ridho berbunyi."Si Helen telepon, sebentar ya sayang."Aku mengangguk. Memberi waktu padanya untuk mengangkat telepon dari Helen. Mas Ridho sengaja mengaktifkan speakernya, mungkin tujuannya agar tidak terjadi salah paham ."Ya hallo Len, dimana? Jadi kan datang?""Jadi dong pak. Ini sudah siap tinggal otw.""Bagus, kamu ajak sekalian ibumu ya
"Jadi, wanita itu Ratih?" tanya Mbak Yuli menatap tajam mata Mas Ridho."Benar Bu.""Kalau saja dari awal saya tau dia orangnya. Gak sudi saya datang ke sini. Helen! Ayok kita pulang!" Mbak Yuli dengan cepat menarik tangan anaknya dan berlalu dari hadapan kami. Semua orang menyaksikan kekecewaan Mbak yuli dan Helen. Mas Ridho menatap keduanya berlalu dengan perasaan bersalah."Ratih, bagaimana ini? Mengapa mereka berdua terlihat marah dan langsung pulang?""Sudah Mas, jangan hiraukan mereka, lihat tamu tamu kamu di depan semuanya menunggu.""Oke guys, maaf ada masalah sedikit. Mereka memutuskan untuk pulang lebih dulu, mungkin ada acara yang lebih penting dari ini. Mari kita lanjutkan , disini saya akan sedikit menggombal pada wanita yang ada di depan saya ini. Boleh?""Boleeeeeeh...." jawab tamu undangan serentak.Mas Ridho menatap wajahku lekat, dengan perlahan ia mulai mengungkapkan perasaannya."Ratih, saya sangat mencintai, mengagumi, dan sangat menyayangi mu, dari awal kita be
"Jadi kamu sudah pernah menikah?"Mas Ridho menganguk. "Kamu tidak kecewa kan?""Tidak Mas, aku hanya ingin kenal anakmu.""Hmmm, baik nanti akan aku pertemukan kamu dengan Anggara.""Namanya Anggara ya? Apa dia ikut bersama ibunya?""Ya, dia dengan ibunya.""Baiklah atur waktunya saja, aku juga mau kamu bertemu anakku Hanif yang sekarang sedang di pondok.""Baik Ratih, nanti kita atur waktunya ya, terpenting semuanya harus sudah beres sebelum acara pernikahan kita."Aku mengangguk setuju. **** "Siapa dia? Jadi dia pacar Papah?" teriak anak bertubuh gempal itu. tatapan matanya sinis melihat ke arahku."Angga, dia calon ibu baru mu. Sebentar lagi Papah dan Ibu Ratih mau menikah. Dan Papah harap kamu dan Mami bisa hadir juga ya sayang?""Tidak! Aku tidak mau datang! Papah jahat!" Anggara tetap dengan pendiriannya, ia seperti tak meyukaiku."Ada apa ini Mas?" tanya seorang wanita yang baru saja datang, ia memakai gamis dan berkerudung panjang menghampiri Mas Ridho."Aira, maaf. Aku da