Share

BAB 5 : Honor di Kecamatan.

Sepulang dari perjalanan refreshing ke Curup, Diana berpapasan dengan Pak Wongso di rute jalan yang dilewati menuju rumahnya. Pak Wongso membunyikan klaksonnya begitu berpapasan dengan Aksan yang memboncengnya, dibalas klakson juga oleh Aksan sebagai penghormatan sesame pengguna jalan.

            Begitu tiba di rumah, Diana bertanya dalam hatinya, jangan-jangan Pak Wongso tadi habis bertamu ke rumahnya.

            “Ibu, tadi di jalan tanjakan tebing kuburan aku ketemu Pak Wongso,” ucap Diana ketika bertemu Ibunya di teras rumahnya ingin tahu,

            “Ya, tadi dia dari sini, mengobrol dengan Ibu tentang Kau!” kata Ibunya memberitahu dirinya jika Pak Wongso habis bertamu ke rumahnya dan menanyakan perihal dirinya.

            “Ada perlu apa, Pak Wongso menemui Ibu?”

            “Dia menanyakan kenapa kau tidak berjualan lagi, dia tadi mau memesan porsi besar untuk acara pengajian di kecamatan.”

            “Terus Ibu bilang apa dengan Pak Wongso?”

            “Ya, pertama Ibu bilang Kau lagi malas aja. Tapi akhirnya dia tahu peristiwa keretakan rumah tangga kalian. Dia meminta maaf karena telah menyebabkan retaknya hubunganmu dengan suami hanya karena salah paham.”

            “Syukurlah, kalau dia sudah tahu, Bu!” kata Diana lega.

            “Dia berjanji akan menemui Herman untuk memberitahukan kebenaran cerita sebenarnya.”

            “Untuk apa, Dia menemui Kak Herman lagi,” ucap Diana bersunggut marah.

            Ibunya menatap Diana penuh tanda tanya,”Bukankah Kau masih sayang dengan Herman?”

            “Entahlah, Bu! Sayang sih tapi kalau dia masih mengepit Ibunya terus, saya juga tidak tahan bersama kecuali Kak Herman menyetujui usulku untuk menyewa rumah sendiri,” ungkap Diana membenarkan jika perasaannya masih ada untuk Herman.

            “Bukankah kalau kalian sendiri masih akur-akur saja. Yang selama ini merecoki rumah tangga kalian yaitu si Mak Lampir!”

            Mendengar julukan Ibu mertuanya disebut mendadak Diana teringat dengan semua ulah antagonis sang mertua yang selalu menjadi orang ketiga dalam menebar ancaman dan fitnah yang menyakitkan. Seketika dirinya menjadi marah mendengar nama itu!

            “Pak Wongso menawari pekerjaan!” ucap Ibunya kemudian menyambung pembicaraan.

            “Pekerjaan apa, Bu?” tanyanya tak sabar mendengarnya.

            “Honor di Kecamatan.”

            “Honor, Bu. Jadi Tenaga Kerja Sukarela/TKS!” ujar Diana merasa keheranan, sebab sekalipun tak pernah dia menginginkan bekerja di kantoran sebagai staf.

            “Daripada kerjamu hanya huru-hara setiap hari, mending mencari kesibukan dengan honor saja,” bujuk Ibunya memberikan pertimbangan yang baik bagi dirinya.

            “Berapa gajinya,Bu?”

            “Ibu juga tak tahu, tapi setahu ibu banyak pegawai negeri yang diangkat dari honor. Siapa tahu kau berjodoh,” kata Ibunya menginspirasi dari berita-berita yang banyak dibacanya tentang honorer.

            “Ibu... mending aku dagang aja daripada mehonor!” katanya yang membuat ibunya kaget.

            “Kalau begitu kenapa kau tak jualan saja, daripada keluyuran terus,” pinta Ibunya kepada Diana agar dia punya kegiatan positif.

            “Kan masih ada Ibu yang mencukupi kebutuhanku, untuk apa jualan?”  katanya sinis membantah keinginan sang Ibu yang menyuruhnya kembali berjualan saja.

Keesokan harinya, Pak Wongso mengirim pesan di W******p miliknya. Intinya meminta Diana datang ke kecamatan dan menemuinya di ruangannya. Ada sesuatu hal yang ingin dibicarakan serius dengannya.

            “Kenapa Pak Wongso menyuruhku menemuinya, bukannya dia bisa langsung saja menelpon atau memberitahu lewat chat WA, masalah apa yang mau Dia katakana?” gerutu Diana ketika membaca chat yang tertulis di WA ponselnya.

            “Mungkin ada hal penting yang tidak enak jika dibicarakan lewat HP,” kata Ibunya menyahut dari luar kamar putrinya yang masih cantik seperti perawan tingting.

            “Masalah apa,sih Ibu! Sepenting itu!” teriaknya merasa dongkol karena harus  mencari baju yang sesuai untuk dipakai bertemu Pak Wongso pagi ini.

            Ibunya meninggalkan Diana sendirian mengomel kesal di kamarnya. Wanita tua itu meneruskan pekerjaannya membersihkan rumah, setelah itu baru berangkat ke sawah untuk mengantarkan makanan buat ayahnya Diana yang sudah ke sawah begitu selesai salat Subuh.

            Ayah Diana  selalu pergi ke sawah atau ke kebun setelah bakda Subuh, sesampainya di sawah dia langsung bekerja.  Agak siangan dia beralih ke kebun yang jaraknya dekat dengan sawahnya sehingga bisa dua pekerjaan selesai dalam sehari, menyiangi padi sekalian menyiangi kopi di kebun.

            ****************************

            Kantor Kecamatan Anak Bukit yang terletak di Kampung Joglo sudah ramai oleh orang-orang yang mengurusi kepentingannya berkaitan dengan administrasi kependudukan sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.  Diana harus melewati beberapa ruangan staf untuk tiba di ruang kantor yang bertuliskan Sekretaris Kecamatan atau biasa disingkat Sekcam.

            “Assallamualaikum wr.wb. .....” Diana memberi salam sebelum masuk karena pintu tidak terkunci, di dalam terlihat Pak Wongso sedang meneliti beberapa berkas.

            “Waalikum salam wr.wb,” jawabnya sambil melepaskan kacamatanya dan menoleh ke arahsuara yang member salam.

            Begitu dilihatnya Diana sedang berdiri di muka pintu ruangannya,”Masuklah...!”

            Tanpa ragu Diana memasuki ruangan yang biasa dia masuki sewaktu masih sering mengantar pesanan beruge dulu.

            “Rupanya Ibumu sudah menyampaikan obrolan kami ya,” katanya membuka pembicaraan dengan Diana.

            “Ya, Pak!” jawab Diana singkat menanti perkataan Pak Wongso selanjutnya.

            “Pertama Bapak meminta maaf karena sudah dianggap sebagai orang ketiga di dalam rumah tangga kalian. Bapak sangat menyayangkan hal itu dan berakibat pisah ranjangnya kalian berdua,” ucap Pak Wongso prihatin dengan kejadian yang menimpa Diana.

            “Semua sudah terjadi, Pak.”

            “Belum ada upaya dari Herman untuk menjemputmu pulang?”

            “Belum!”

            Pak Wongso menghela napasnya,”Sayang sekali suamimu lebih percaya Ibunya daripada istrinya sendiri.”

            “Ya, begitulah Pak! Mungkin dia terkena hasutan Ibunya yang memang tidak suka menantukan saya,” kata Diana memberitahu Pak Wongso ketidaksukaan mertuanya pada dirinya.

            “Ya, ya! Bapak mengerti. setiap rumah tangga pasti ada cobaannya. Hanya pasang suami istri yang setialah dapat mengarungi bahtera rumahtangga dengan saling memahami keinginan masing-masing, bukan mudah terprovokasi oleh pihak lain,” ucap Pak Wongso menyayangkan sikap Herman yang lebih memilih Ibunya daripada istrinya sendiri.

            Diana terdiam, begitu juga Pak Wongso. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing, sehingga terasa kesunyian di ruangan itu. Hingga akhirnya ;”Beralih ke masalah pekerjaan yang Bapak tawarkan melalui Ibumu kemarin, apakah kamu bersedia menerimanya?”

             Diana belum juga sempat menjawab, begitu Pak Wongso meneruskan ucapannya,”Bapak pikir lebih baik kamu menenangkan diri dengan mehonor di kecamatan ini, menjadi staf umum. Itu akan lebih baik daripada kamu selalu keluyuran yang membuat image kamu sebagai perempuan  menjadi kurang baik dalam pandangan masyarakat umum.”

            “Saya nggak bisa kerja kantoran, Pak!” kata Diana pelan.

            “Nanti akan diajari oleh staf senior lainnya yang menjadi atasanmu di kantor ini.” ungkap Pak sekcam menyakinkan Diana.

            Diana berpikir kembali. DIa membayangkan selama ini telah banyak membuang waktunya dengan keluyuran saja sehingga banyak waktu yang seharusnya bermanfaat menjadi sia-sia hanya karena dia ingin menenangkan dirinya yang tersakiti dalam pernikahannya.

            “Terus terang kalau masalah gaji, itu memang sedikit prihatin. Sebab honor yang nanti akan dapatkan setiap tiga bulan sekali, untuk membeli bedak saja tidak cukup. Tapi harapan kedepannya sangat bagus untuk kamu, siapa tahu ada pengangkatan pegawai negeri dari staf honorer seperti beberapa staf disini yang sudah terangkat,” terangnya menambahkan bahwa jika bernasib baik bisa diangkat menjadi pegawai negeri lewat jalur pengabdian sebagai honorer yang diajukan dan tetap menjalani tes sebagai syarat lulusnya.

            “Baik, Pak!” kata Diana tiba-tiba menyetujui penawaran kerja sebagai staf honorer di kantor kecamatan ini,”Kapan saya mulai bekerja?”

            “Kamu bisa mulai besok bekerja!” kata Pak sekcam menyalami Diana sebagai ucapan selamat bergabung di kantor kecamatan ini guna melayani kepentingan masyarakat dalam memenuhi hak administrasi kependudukannya.

            Diana meninggalkan ruangan Pak sekcam tersebut, menebus teriknya cahaya matahari siang yang mengenai kepalanya. Taklupa dia mampir ke rumah Sri, teman SMA dulu yang tinggalnya tidak jauh dari lokasi kecamatan. Sri membuka warung nasi, warung yang bila saat makan siang tiba dipenuhi oleh pegawai kecamatan, Puskes, KUA dan DANRAMIL yang makan siang di warungnya. Diana menikmati hari bebasnya sebelum besok mulai hari baru sebagai salah satu staf honorer yang bekerja di kecamatan.

            ==Bersambung bab 6==

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status