Tinggalkan komentar guys :)
Marina menoleh sedikit, tetap tersenyum. “Maaf, Opa. Tapi saya hanya meneruskan yang dulu diajarkan mendiang Oma. Saya punya tanggung jawab untuk menurunkannya juga pada menantu saya.”Sambil berkata demikian, Marina menunduk sopan pada ayah mertuanya, gerak tubuhnya tetap penuh hormat, tapi Isvara tahu, kalimatnya bukan untuk meminta izin. Itu penegasan.Isvara menunduk, merasakan tengkuknya mulai hangat. Namun, dia tidak bicara. Tangannya tetap bekerja, menyendok nasi, menyajikan semur lidah, dan meletakkannya ke atas piring Alvano dengan hati-hati. Isvara lalu duduk kembali, berusaha menjaga ekspresi setenang mungkin. Lalu melirik ke suaminya. “Kamu mau tambah–”Belum sempat kalimat itu selesai, suara halus tapi tegas dari seberang meja kembali memotong.“Isvara.”Dia menoleh cepat. Salah satu tante Alvano, yang berpakaian serba pastel dengan bros bermata zamrud di dadanya, menatap dengan senyum kecil.“Biasanya, kami memanggil suami dengan sapaan ‘Mas’, ‘Abang’, atau ... sesuatu
“Siapa?” Alvano menegakkan duduknya, sepenuhnya terjaga sekarang. “Staf hotel. Yang mengantarkan pakaian malam itu ke kamar Bapak. Kami cocokkan dari sistem shift dan kamera pengawas internal. Dia sempat berhenti di luar kamar selama beberapa menit, lalu pergi ke koridor barat yang CCTV-nya kebetulan mati,” jelas Jefri.Isvara mendekat pelan, duduk kembali di sisi ranjang sambil mengamati wajah Alvano yang semakin serius.“Namanya?” tanya Alvano, tenang namun dingin. Ketegangan tampak jelas di garis rahangnya yang mengeras.“Bayu Ardiansyah. Anak magang bagian frontliner. Tapi sepertinya ini bukan inisiatif pribadi. Ada transaksi masuk ke rekeningnya dua hari lalu. Jumlahnya cukup besar,” sahut Jefri.Alvano memejamkan mata, menarik napas dalam. “Dari siapa?”“Kami belum bisa pastikan. Rekening pengirim pakai nama samaran. Transaksinya juga dilapisi dengan akun perantara. Tapi ... saya yakin ini bukan kerja satu orang, Pak. Terlalu rapi. Terlalu cepat menyebar.”Alvano membuka mata,
Alvano mengangkat alis. “Apa?”“Hairpin aku. Bisa tolong bukain?” pinta Isvara.“Dengan senang hati, Nyonya Narendra.” Alvano tersenyum, bangkit, dan berjalan mendekat. Pria itu kini berdiri di belakang Isvara. Tangannya sempat terangkat, hendak langsung melepas jepit rambut kecil berlapis perak itu, tapi urung.Sebagai gantinya, Alvano menunduk lebih dekat, lalu tanpa peringatan, mengecup pelan ceruk leher Isvara yang terbuka.Ciumannya bukan sekadar iseng. Ada ketulusan yang dibungkus keusilan kecil. Namun, cukup membuat bulu kuduk Isvara meremang.“Van …,” tegur Isvara setengah berbisik. Tubuhnya refleks menegang sesaat.“Hm?” sahut Alvano dari belakang, sambil senyam-senyum. “Kan tadi kamu minta tolong bukain hairpin. Aku bantu ... sekaligus kasih bonus.”Isvara menghela napas, berusaha menahan tawa. “Kalau kayak gini caranya, besok-besok aku buka sendiri aja.”“Sayang banget. Padahal ini bagian favoritku,” balas Alvano sambil mulai melepas jepit rambut perak itu dengan hati-hati
Konferensi pers berakhir, begitu pula dengan pesta ulang tahun Giri. Musik tradisional yang sejak sore mengalun lembut kini telah dihentikan. Tinggal suara pelayan yang membereskan meja-meja panjang dan obrolan kecil dari keluarga yang mulai masuk ke kamar masing-masing.Rumah Giri yang bergaya kolonial itu malam ini benar-benar terasa seperti vila keluarga kerajaan. Ramai, hangat, dan penuh jejak tawa yang masih menggantung di sepanjang lorong-lorong panjangnya.Dewangga berjalan pelan di sisi Isvara, melewati koridor timur yang sunyi menuju area kamar tamu. Ya, Isvara memutuskan untuk menginap malam ini. Karena seluruh keluarga pun begitu.Langkah mereka melambat saat tiba di depan sebuah pintu kayu berukir klasik. Cahaya lampu gantung di lorong memantul hangat di permukaan lantai marmer yang mengilat.“Ayo masuk, Ra,” ujar Dewangga, memberi isyarat halus pada pelayan yang berjaga tak jauh dari sana untuk membuka pintu. “Nanti ada staf yang bawain pakaian ganti, peralatan mandi, se
Dewangga tidak langsung menjawab. Namun, raut wajahnya tampak ragu.“Media udah standby. Beberapa mungkin belum tahu wajah kamu secara langsung,” kata Dewangga akhirnya, kini berdiri sedikit di depan, setengah menghalangi langkah Isvara. “Kalau kamu muncul di sana, kemungkinan besar mereka bakal makin gaduh. Fotomu bisa tersebar sebelum Mas Al sempat buka suara.”Isvara terdiam. Benar juga. Dia tidak pernah muncul ke publik sebagai istri Alvano. Kalau tiba-tiba dia terekam kamera hari ini … semuanya bisa berubah. Lagi pula, dia belum tahu apa rencana suaminya.“Tunggu di taman aja ya,” kata Dewangga, lebih lembut. “Itu yang paling aman. Dekat paviliun, tapi tenang. Nanti aku yang kabari kalau Mas Al sudah selesai.”Isvara menatap sepupu Alvano itu sebentar. Sebenarnya dia masih ingin bersikeras, tapi suara Dewangga terdengar tulus. Dan logikanya pun sepakat–ini bukan waktu yang tepat untuk gegabah.“Oke,” ucap Isvara pelan. “Tapi nanti kamu kabarin ya kalau ada masalah?.”“Siap, Mbak s
“Hey everyone!” sapa Aruna ceria, melangkah anggun ke arah mereka seperti sedang berjalan di atas runway.Dewangga refleks membuang muka ke arah lain. Alvano hanya mendengus, tidak berniat membalas sapaan itu. Jelas sekali pria itu masih kesal karena kejadian malam sebelumnya. Mahadera cepat-cepat mundur, beralasan ingin mencari minuman. Sangat terlihat, dia sengaja menghindari konfrontasi.“Ayo, Cantik. Kita makan dulu, sekalian aku juga mau cari Jefri,” bisik Alvano, menggamit tangan Isvara, hendak mengajaknya pergi.“Tunggu,” sela Aruna sambil menahan lengan Isvara. “Mbak Isvara, nemenin aku sebentar ya?”Alvano langsung berbalik, siap menolak, tapi Isvara memberi isyarat halus dengan sentuhan di lengannya. Sebuah kode agar Alvano membiarkannya. Tatapan mereka bertemu sebentar, dan Alvano akhirnya mengangguk pelan, menyerah, lalu pergi meninggalkan mereka dengan langkah berat.Kini, hanya Isvara, Dewangga, dan Aruna yang masih berdiri di situ.Suasana hening beberapa detik. Tegang,