“Gue hapus ya fotonya,” ucap Jevan.
Rara menggeleng, foto yang dikirimkan Bu Windia memang mengerikan. Foto tangan yang digores sehingga mengeluarkan darah, membuat gadis itu ketakutan. Entah apa maksudnya, Rara juga tak memahami pikiran ibu kandungnya.
“Lo yakin?” tanya Jevan.
“Gue rasa…gue bakal minta Naren selidikin dulu maksudnya,” kata Rara.
Jevan menghela napas, “Janji sama gue. Jangan buka pesan dari nyokap lo.”
Rara mengangguk yakin.
“Nyokap lo kirim alamat rumah, apa ini alamat rumahnya?” tanya Jevan masih membaca pesan dari Bu Windia.
“Lo mau kesana?” tanya Jevan lagi karena Rara tak menanggapi apapun.
“Gue gak yakin, Jev,” jawab Rara takut.
“Oke. Kita pulang aja ya. Hp lo matiin aja,” kata Jevan melayangkan senyumnya, berharap dapat menenangkan Rara. Jevan mengembalikan ponsel ke pemiliknya.
+++
“Makasih udah mengantar, Nona,” kata Naren sopan sembari menatap Jevan. Jevan baru saja sel
Terima kasih ~ Mohon dukungannya ~
Rara tersenyum kecut begitu masuk ke kelasnya. Rasanya tak nyaman saat ia menuju ke kelasnya, tatapan tak suka dan tatapan aneh menyerangnya. Raihan dengan seenaknya mengantar Rara ke kelas, meskipun gadis itu menolak. Ia jadi takut dianggap munafik oleh siswa lain. Raihan juga sempat meminta maaf kalau tadi perkataannya menyinggung Rara. “Kenapa lo?” tanya Sandra yang baru sampai di kelas. “Tadi lo sama Kak Raihan ya? Pas gue kesini anak lain pada ngomongin lo,” kata Sandra sembari mengambil posisi duduk di depan Rara. “Emang salah ya? Kok gue ngerasa makin gak disukai sama anak lain?” keluh Rara. “Biarin aja. Mereka tuh iri sama lo. Mereka gak bisa meraih Kak Raihan yang anak populer,” ujar Sandra sembari menepuk pundak Rara. “Tapi, gu-“ “Selamat pagi, Ra,” sapa Lia ceria. Rara menatap Lia yang berdiri di sampingnya, gadis itu tampak ramah. Sandra merasa Lia mengkodenya untuk pergi, akhirnya Sandra ke bangkunya, memberi ruang
Rara menatap Jevan bingung. Raihan langsung menatap Jevan tajam. Sandra melirik Raihan diam - diam, ia juga sadar kelakuan Raihan yang menahan tawanya. “Maksud lo?” tanya Raihan. “Kakak gak sadar diri ya? Jelas – jelas gue lihat lo tadi nahan ketawa pas Rara diejek sama temen gak guna Kakak,” jawab Jevan berani. “Jev…” Rara memanggil lelaki itu pelan. “Lo diam dulu, Ra,” bisik Sandra ke Rara. Sandra mendukung keberanian Jevan. Harus ada yang bertindak, sebelum Rara merasa tindakan Raihan bukan masalah. “Gu-gue enggak gitu,” elak Raihan, ia menatap Rara. “Gue gak nahan ketawa, Ra. Jelas – jelas gue kesel sama Nico.” Nico berkomentar, “Gue emang salah dan Raihan bela Rara. Lo gak usah sok tau anak baru.” “Lo gak suka kalau temen gue deket sama Rara? Emang lo siapa?” kali ini, Bagas, salah satu teman Raihan, mengeluarkan suaranya. “Kak, disini konteksnya Kak Raihan yang seneng waktu lihat Rara disudutkan sama Kak Nico,” ka
Rara mengangguk ragu,”Per-percaya.” Setelah Rara mengatakan jawabannya, ia segera mengalihkan pandangannya dari Naren. Naren menghela napas panjang, “Bahkan jawaban Nona ragu – ragu.” “Lo kasih tau dulu. Biar gue paham,” pinta Rara. “Raihan itu cuma mau harta lo, Ra. Dia hanya memanfaatkan lo. Setelah gue cari tau, keluarga Raihan adalah orang yang suka memanipulasi orang. Sayangnya, mereka bisa menutupi semua kejahatan,” tutur Naren. Masa bodoh dengan perkataan Naren pada Raihan tentang tidak akan memberitahu pada Rara. Lagipula, menurut Naren, Rara makin sulit diatur kalau terus dibiarkan. “Kak Raihan sama sekali gak minta uang atau apapun ke gue,” tanggap Rara. “Astaga Non…dia belum melakukan aksinya,” kata Naren kesal sendiri. “Masa sih?” tanya Rara. “Sifat Nona sekarang berubah ya. Dulu, meski Nona suka protes ujung – ujungnya tetap menurut. Sekarang, entah karena Raihan, tapi Nona tidak mudah diatur lagi,” komentar Naren
“Nyonya saya mohon berhenti. Anda bisa terluka,” kata Naren tenang, ia berdiri tegap. “Menyingkir!” bentak Ibu Windia kesal. “Saya menolak,” balas Naren tegas. “Beraninya kamu!” Ibu Windia menusuk dada Naren dengan pecahan kaca vas bunga yang sejak tadi masih dipegang olehnya. “Tolong antarkan Nyonya Besar ke kediamannya. Saya akan segera melaporkan kejadian ini pada Tuan Besar,” kata Naren pada tiga orang satpam yang baru saja datang bersama Bi Ica. Ketiga satpam itu mendekati Ibu Windia, salah satu satpam hendak mengatakan sesuatu setelah melihat darah di baju Naren. Tetapi, Naren menggeleng pada satpam tersebut. Ibu Windia ditarik paksa oleh ketiga satpam, wanita itu melontarkan kata ancaman dari mulutnya. Tetapi, para satpam tidak menggubris ancaman wanita itu. Bi Ica mengikuti langkah ketiga satpam dan Ibu Windia, ia akan memastikan semuanya aman. “Naren…” panggil Rara pelan. Naren berbalik ke belakang. Rara menatap baju s
Pengawal itu sedikit melirik spion tengah, ia bingung. Rara yang sadar ditatap lewat spion tengah berusaha bersikap biasa. Ia berdehem pelan. “Nama kamu siapa?” tanya Rara cepat. “Saya Fajar, Non,” jawab pengawal itu. Rara tersenyum ramah, “Kamu tau beberapa hal tentang ayah aku? Sosok ayah aku gimana di mata kamu?” Fajar menelan ludahnya kasar, ia tak tau harus menjawab apa. Lelaki itu hanya ditugaskan oleh Naren untuk mengantar. Meskipun, Naren memberi pesan padanya untuk tak banyak bicara. “Kok diem?” tanya Rara sembari menepuk pundak Fajar dari belakang. Fajar tersenyum sopan, “Tuan Besar adalah sosok yang baik dan tegas di saat yang bersamaan.” Rara menyilangkan tangannya, “Sayang sama anak ga?” tanya Rara. “Hah?” Fajar menatap Rara bingung. Rara mengalihkan pandangannya, ia memilih menatap ke luar jendela, “Lupain aja.” Rara sadar hanya jawaban aman yang keluar dari mulut Fajar. Naren tidak ceroboh
Rara menutup mulutnya dengan tangannya. Gadis itu memilih tak mendengarkan pembicaraan Raihan dengan si penelopon lebih jauh. Rara meninggalkan kafe, untungnya meja Raihan dan Rara berada di sudut kafe. ‘Bodoh banget gue.’ Batin Rara kesal pada dirinya. ‘Harusnya gue percaya sama Jevan dengan Naren. Manusia gak berubah secepat itu.’ Rara mengacak rambutnya. Gadis itu tak peduli saat pejalan kaki menatapnya heran. Rara menatap lampu lalu lintas yang hijau. Rara menunduk, sibuk menatap ujung sepatunya, ‘Gue emang keras kepala.’ Pejalan kaki yang lain sudah mulai menyebrang karena lampu merah menyala. Rara menggigit bibir bawahnya, teringat jawaban keras kepalanya saat Jevan, Naren, dan Sandra mengingatkannya. Dibanding sedih, dirinya lebih kecewa dengan dirinya sendiri karena mudah mempercayai orang. “Maaf…” gumam Rara pelan. “Permintaan maaf diterima,” sahut seorang lelaki yang berdiri di sampingnya. Rara menoleh ke sebelahnya,
“Loh siapa nihh?” tanya Pak Haris, ayah Jarvis. Pak Haris memberikan jas kerja dan tasnya pada pelayan. Rara buru – buru berdiri kemudian menyalami pria di hadapannya itu. “Halo Om. Saya Rara.” Pak Haris menatap Jarvis sembari menaikan satu alisnya, “Saya Ayahnya Jarvis, panggil saja Om Haris.” “Dia temen aku, Yah,” kata Jarvis cepat saat sang ayah tersenyum licik. “Kirain…” balas Pak Haris kemudian ia menatap Rara, tampak berpikir. “Wajahnya gak asing.” “Anaknya Om Zarhan, Yah,” info Jarvis. “OH! Kamu anaknya Zarhan! Kamu baru pulang dari panti asuhan ya?” kata Pak Haris semangat. “Hehe iya,” Rara tersenyum canggung. Padahal, sejak kecil ia sudah tinggal di panti asuhan. Ternyata, Ayahnya pun menyembunyikan kebenaran dari pria di hadapannya. “Kamu cantik sekali. Pantas saja Jevan membawamu ke rumah,” puji Pak Haris. “Apa sih Yah! Ngarang ngomongnya!” kata Jevan kesal. “Diam dulu, Nak. Ayo duduk,” kata P
Rara memberikan cokelat pada Sandra. Sandra yang baru saja duduk di kursinya menatap Rara bingung. “Dalam rangka apa nih?” tanya Sandra sembari membuka cokelat itu. Rara duduk di kursi depan Sandra, kemudian tersenyum, “Tanda permintaan maaf atas sikap keras kepala gue.” Sandra tediam beberapa saat. Ia kemudian menampilkan senyumnya, “Santai aja, Ra. Gue anaknya mudah memaafkan. Makasih cokelatnya.” Rara membuka mulutnya karena Sandra memberikan sepotong cokelat, “Lo ikut ke perayaan Perusahaan Kidan?” Sandra mengunyah cokelatnya, “Itu dia! Gue hari ini mau nanya ke lo. Lo ikut gak?” “Waktu itu gue udah jawab ikut. Rencananya, gue berangkat sama bokap gue,” tanggap Rara. Bahu Sanda merosot, “Tadinya gue mau ajak lo bareng gue. Soalnya, bokap nyokap gue lagi di luar kota dan gak bisa datang. Jadi, gue perwakilan mereka.” “Gue minta maaf, San,” kata Rara merasa bersalah. Kalau tahu Sandra berangkat sendiri, ia ikut saja d