“Bagaimana dengan Tuan Ardin, beliau akan merasa sedih dan penyakit jantungnya?” tanya Mbok Asih merasa kasihan.“Aku tahu Mbok makanya kami akan memutuskan berpisah setelah Papa pulang dan merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ke dua. Rasanya sudah cukup aku bertahan sedangkan Mas Ardan juga masih mencintai Mbak Delia,” jawab Aluna dengan suara sedikit bergetar.Mbok Asih tidak bisa berkata-kata lagi, antara bahagia dan sedih dengan keputusan yang Aluna ambil. Bahagia karena Aluna bisa mengambil keputusan yang menurutnya tepat dan sedih karena Aluna tidak akan tinggal di rumah itu lagi. ***Ardan kembali ke kantor dengan wajah yang masih terlihat kesal. Untuk menghilangkan pikiran tentang Aluna dia pun kembali bekerja, memeriksa laporan. Ada saja yang terkena amukan Ardan sehingga para karyawan takut dengannya.Dia melempar pulpennya tak menentu, bukannya menghilang tatapi malah semakin mengingatnya. “Ah sial!” rutuk Ardan kesal. Dia semakin mengingat wajah Aluna.Ardan lalu m
“Halo, maaf Sayang, aku tadi banyak pekerjaan dan sekarang kepalaku pusing jadi aku pulang.”“Sekarang kamu di mana? Di rumah atau apartemenmu?”“Aku sekarang ada di apartemen, kamu ke sini saja, aku tunggu.”“Baiklah Sayang aku langsung ke sana sekalian aku belum makan siang dari tadi nungguin kamu enggak datang-datang.”“Oke, aku akan menebus kesalahanku sesuai dengan keinginanmu, sekarang kamu puas?”“Oke, I love you.”“Iya.”Pria tampan itu sebenarnya malas untuk bertemu tapi dia pun tidak mau berdebat panjang apalagi jika wanita itu mengadu kepada Rini. Lebih baik dia mengalah dan membiarkan keadaannya seperti itu. Ardan sudah berada di depan pintu apartemennya. Setelah membuka pintunya pria tampan itu langsung menghempaskan tubuhnya di sofa empuk sembari memijit-mijit keningnya yang masih terasa pusing.“Ya Tuhan, apa yang terjadi kepadaku? Kenapa semenjak ada Rayhan aku sangat kesal jika dia menatap lain kepada Aluna? Sangat menyebalkan,” gerutunya kesal. Ardan membuka sepatu
Rayhan tersenyum kecil saat ponselnya berdering. Foto yang dia unggah ke Story WA dua menit yang lalu dalam posisi Rayhan sedang menikmati makannya di meja makan sudah dilihat oleh Ardan dan tebakannya sangat tepat karena pria tampan itu langsung menghubunginya. Dengan santai Rayhan pun menerima panggilan itu.“Sudah aku duga dia akan panas melihat aku sedang ada di rumahnya,” ucap Rayhan dalam hati sambil tersenyum. “Ya Halo, ada apa Aar”“Ngapain kamu ke rumah?” “Kenapa memangnya? Rumahku kan bersebelahan dengan rumahmu, kan? Ada yang salah?” “Iya aku tahu, tapi kenapa kamu nongkrong di rumahku bukan di rumah kamu sendiri?” “Oh itu, tadi saat pulang kantor enggak sengaja berpapasan dengan Aluna dia mau pergi ke supermarket, nah dia mau jalan kaki ya udah deh aku tawari untuk mengantarnya. Sebagai ucapan terima kasih dia mengundang aku untuk makan. Aku ya enggak keberatan dong, soalnya di rumah juga belum masak, enggak apa-apa kan?” “Apa kamu bilang? Tunggu aku juga mau pulan
Wajah Ardan semakin memerah menahan amarah yang sudah ada di ubun-ubun kepalanya, tapi kenapa harus marah bukankah yang dikatakan oleh Rayhan memang benar? Ardan tidak menyukai Aluna dan ingin segera mengakhiri pernikahannya. Wanita yang tidak sempurna bagi Ardan tapi terlihat sempurna di mata Rayhan.Pria tampan itu memutuskan untuk tidur di kamarnya, dia sudah malas pulang ke apartemen miliknya sendiri. Padahal di sana Delia sudah siap menyambut sang kekasih dengan caranya sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam tetapi Ardan belum bisa menutup matanya, dia masih terniang-niang ucapan Rayhan. Merasa gerah dia pun keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Pria tampan itu pergi ke dapur. Rasa tenggorokan yang terasa kering sehingga dirinya mengambil botol minuman dingin di dalam kulkas, lalu meminumnya. Setelah selesai, Ardan bermaksud untuk pergi ke kamar Aluna, tapi dia terkejut karena pintu kamar istrinya berbunyi. Dengan cepat Ardan bersembunyi di bawah tangga d
Wanita paru baya itu terdiam sesaat lalu menatap lekat wajah putrinya itu. “Jika dia tidak menepati janjinya maka kita harus menyingkirkan dia,” jawab Bu Rini tegas. “Maksud Mama? Dengan melenyapkan dia?” tanya Sari meyakinkan agar tidak salah terka.Bu Rini tersenyum kecil membuat mata Sari melotot. “Aku nggak mau terlibat lebih jauh hanya karena harta warisan Papa kita sampai melakukan hal itu, aku enggak mau ikutan, Ma,” pinta Sari menggelengkan kepalanya dengan cepat.“Sayang, bukan kita yang akan melakukannya tapi kita akan mencari orang lain yang harus kita korbankan, mungkin keluarga kita sendiri atau orang lain? Kamu jangan berpikir macam-macam ini hanya perumpamaan saja dan mudah-mudahan Aluna menepatinya janjinya sehingga kita tidak perlu melakukan hal itu, kan?” jelas Bu Rini panjang lebar. Wanita paru baya itu menyentuh pipi halus Sari dan setelah itu pergi meninggalkan putrinya sendiri. Sari masih berdiri mematung sembari mencerna setiap perkataan ibunya. Dia sangat ta
“Tu—Tuan Ardin?” sapa Mbok Asih terkejut. Pria paru baya itu tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang masih terlihat putih dan rapi diusianya yang sudah menginjak hampir enam puluh tahun itu. “Siapa Mbok?” teriak Bu Rini dari ruang meja makan.Tuan Ardin menyuruh Mbok Asih diam. Mbok Asih mengangguk pelan tanda mengerti apa yang diinginkan oleh majikannya. Lalu segera mengambil koper besar milik majikannya itu. Tuan Ardin pun segera melangkah masuk dan menemui mereka yang sedang menikmati sarapan pagi.“Lun, cepetan ambil sayurnya lama amat sih, jangan sampai kesabaran saya habis deh, apa perlu kamu pakai sepatu roda?” ejek Bu Rini sembari terkekeh diikuti oleh Sari. Sedangkan Ardan masih tetap diam tanpa membela Aluna.Langkah tegap sudah hampir terdengar tapi mereka belum menyadari siapa yang datang. Bahkan pria paru baya itu sangat mendengar jelas apa yang dikatakan oleh istrinya tersebut. “Assalamualaikum,” sapa Tuan Ardin. Mereka kompak menoleh dengan raut wajah yang b
Pria paru baya itu menatap lekat wajah putranya. Seperti bercermin pada dirinya sendiri baik wajah dan sikapnya hampir sama saat dia masih berumur seperti Ardan. Ambisi dan keras kepala dan teledor.“Kamu tidak perlu khawatir dengan klien penting itu karena Papa sudah menyuruh Rayhan untuk mewakilkan kamu nanti,” sahut Tuan Ardin membuat mata Ardan melototi papanya sendiri. “Apa yang Papa lakukan, kenapa Papa lebih percaya dengan orang lain daripada Ardan, dia memang sahabat Ardan tapi tetap saja dia itu orang lain,” bantahnya dengan nada suara sedikit tinggi.“Turunkan nada bicaramu Ardan, seharusnya kamu introspeksi diri, selama Papa tinggalkan setahun lebih kenapa perusahaan kita mengalami kemunduran dan banyak pengeluaran yang aneh? Dengar Ardan meskipun Papa tidak seratus persen memegang perusahaan lagi bukan berarti Papa lepas tangan dengan perusahaan yang sudah membuat Papa seperti ini, perusahaan kita itu adalah hidup kita dan kita bisa makan dari sana dan kamu hampir saja .
Suasana kembali hening, tidak ada perdebatan setelah itu. Kini Ardan sedikit mengetahui kalau Aluna ikut berperan penting dalam perusahaan papanya. Sikap Ardan masih terlihat dingin. Aluna bisa melihatnya dia pun tidak ingin meminta lebih agar suaminya berubah. Tuan Ardin pun tidak ingin terlalu mencampuri urusan rumah tangga mereka meskipun beliau ingin melihat Ardan lebih bersikap lembut kepada istrinya sendiri. Bu Rini dan Sari tidak bisa lagi terlalu mengganggu Aluna karena kepala rumah tangganya pun sudah kembali ke rumah besar itu. ***Sepanjang jalan menuju kantor pria tampan itu terlihat masih kesal. Selain kenyataan nya Aluna berperan juga dalam perusahaan.“Kenapa sih Papa lebih percaya dengan orang lain daripada anaknya sendiri? Aluna dan Rayhan pasti menertawakan aku karena sangat bodoh. Ah sial!” hardiknya sembari memukul-mukul setir pengemudi.Lima belas menit berlalu akhirnya dia pun sampai di kantor. Gedung yang menjulang tinggi sudah memanjakan matanya. Ardan mend