Hari pun berganti.
"Allahu Akbar Allahu Akbar!"Suara kumandang adzan Subuh seketika membangunkan Yumna yang sebelumnya tertidur pulas. Dan dia langsung menyadari bahwa dia telah melewatkan malam tanpa berhubungan badan dengan suaminya.Selain itu, tidak ada kehadiran Ustad Yunus di sampingnya."Apa aku semalam ketiduran?" gumamnya sembari menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima.Yumna segera beranjak dari tempat tidurnya, lalu berjalan menuju kamar mandi.Dia berpikir suaminya pasti ada di dalam sana sedang mandi atau mengambil air wudhu."Maaass ...."Yumna perlahan membuka pintu dan melebarkannya, tapi ternyata tidak ada Ustad Yunus di dalam sana."Lho ... Kemana Mas Boy? Apa dia semalam nggak masuk kamar?"Yumna menggaruk rambutnya yang tiba-tiba terasa gatal. Dia pun memutuskan untuk keluar dari kamar untuk mencari suaminya."Mas Boy!!" panggil Yumna dengan suara agak keras.Ceklek~Pintu kamar sebelah perlahan terbuka, dan keluarlah Umi Mae dari dalam sana yang memakai mukenah. Tapi dia langsung membulatkan matanya ketika melihat penampilan menantunya yang begitu seksi."Astaghfirullah, Nak! Apa yang kamu pakai? Dan kenapa keluar kamar dengan pakaian seperti ini??"Yumna langsung menatap tubuhnya sendiri, dan sontak dia terkejut juga. "Ya ampun Umi maaf ... aku lupa!"Buru-buru dia pun masuk lagi ke dalam kamar, dan beberapa detik kemudian kembali dengan sudah memakai handuk kimono."Kamu kenapa, Nak? Apa laper?" tanya Umi Mae dengan raut heran.Dia perlahan mendekat lalu mengelus rambut panjang menantunya yang terlihat berantakan. Tampak jelas wajah Yumna seperti orang yang sedang kebingungan."Aku cari Mas Boy, Umi. Apa semalam dia nggak masuk kamar, ya?""Masuk kamar kok.""Tapi kok aku nggak tau, Umi? Jam berapa dia masuk kamar?""Jam 11 kayaknya deh.""Jam 11?!" Yumna terlihat terkejut, tapi seketika ada rona kesedihan yang tergambar diwajahnya. "Kenapa Mas Boy masuk kamar jam 11, Umi? Padahal 'kan dia tau dan Umi tau aku menunggu dikamar sehabis makan malam??""Semalam dia habis pergi, Nak, sama Pak RT. Mangkanya pulang malam. Umi sih sempat nanya ... terus Yunus bilang dia diminta untuk meruqiah adik iparnya Pak RT."'Meruqiah??' Yumna terlihat tak percaya dan makin kalut. 'Apakah meruqiah orang jauh lebih penting daripada bercinta dengan istri sendiri? Atau Mas nggak beneran meruqiah orang, tapi bertemu dengan Naya? Kenapa Mas tega banget sama aku.' Yumna membatin dalam hati dan tak terasa air matanya lolos membasahi pipi."Lho, Nakkk ... kenapa kamu malah nangis?!" Umi Mae langsung mengusap air mata menantunya, lalu menariknya membawa ke dalam dekapan. "Apa kamu kesal? Atau kecewa? Tolong maafkan Yunus ya, Nak?" Tanpa dijelaskan, Umi Mae seolah tahu perasaan Yumna."Terus ke mana Mas Boy sekarang, Umi?""Dia ada di masjid, Nak.""Ngapain, Umi?""Sholat Subuh, Nak. Yunus juga 'kan biasa jadi imam di masjid.""Hiiiikkkss ...." Tangis Yumna justru makin pecah. Dan itu betul-betul membuat Umi Mae cemas."Udah, Nak... jangan nangis," ucapnya seraya mengusap lembut punggung menantunya."Semalam Mas Boy pergi nggak pamit dulu sama aku, dan sekarang pun sama. Kenapa Mas Boy begitu sama aku, Umi? Apa salahku? Hiiikkss ...," tangisnya tersedu-sedu."Mungkin kamunya udah tidur, Nak. Jadi nggak enak bangunin kamunya," tebak Umi Mae yang berusaha menenangkan. "Udah nggak perlu berpikir yang aneh-aneh. Sekarang kamu mandi dan kita sholat subuh bareng, ya? Takutnya waktunya keburu habis."Yumna hanya mengangguk pelan. Setelah pelukan itu terlepas, perlahan dia melangkah lesu masuk ke dalam kamarnya.'Setidaknya kalau enggak bisa pamit ... Mas 'kan bisa chat aku. Tapi ini enggak. Mas seperti nggak menghargai aku.'Yumna menatap sendu ponsel miliknya yang tak berhasil menemukan apapun dari suaminya, entah chat atau telepon. Bahkan saat dirinya ingin meneleponnya—nomornya justru tidak aktif.**Agar Yumna tak lagi sedih dengan kegagalan acaranya semalam, Umi Mae memutuskan untuk mengajaknya membuat nasi goreng kesukaan Ustad Yunus."Kalau nasi goreng ini sudah jadi ... nanti kamu antarkan ke masjid, ya, Nak? Bila perlu kamu sarapan saja di sana berdua dengan Yunus," ucap Umi Mae yang memerhatikan menantunya yang tengah menghaluskan bahan-bahan dengan cobek.Yumna memang aslinya pandai memasak, maka tak heran jika dia sama sekali tidak kaku dalam menghaluskan bumbu."Memangnya Mas Boy nggak pulang dulu ke rumah, Umi, buat sarapan?"Wajah Yumna kini terlihat jauh lebih baik. Meskipun masih ada kekecewaan di dalam dadanya."Biasanya enggak, Nak. Dia kalau udah ada dimasjid ya langsung kerja. Dulu Umi sering menitipkan sarapan kepada Sandi, tapi sekarang berhubung sudah ada kamu ... bagusnya kamu aja yang mengantarkannya. Nanti Umi minta tolong Sandi deh, ya, buat anterin kamu."Sandi ini merupakan keponakan dari Ustad Yunus, anak dari Mbaknya."Enggak usah, Umi," tolak Yumna. "Aku ke sana sendiri saja. Kan bisa naik taksi.""Ya udah." Umi Mae mengangguk, lalu tersenyum sambil mengelus pipi kanan menantunya. "Kamu yang sabar, ya, Nak... dan tolong maafkan Yunus kalau dia punya salah.""Iya, Umi," jawab Yumna sambil tersenyum.***Di tempat lain.Setelah melaksanakan sholat Subuh berjamaah, Ustad Yunus tampak sibuk dengan tugas-tugasnya di masjid.Mulai dari menyapu, mengepel, hingga mengelap kaca.Beruntung, selama dia sakit, ada Ustad Hamdan yang merupakan temannya mengambil alih tugas-tugasnya. Jadi, pekerjaan yang dia lakukan tidak terlalu berat karena masjid itu tidak terlalu kotor."Alhamdulillah ... akhirnya selesai juga," ucapnya dengan penuh rasa syukur sambil menghapus keringat di dahinya.Ustad Yunus kemudian memakai sandalnya keluar dari masjid, berniat menjemur kain lap dan pel di atas genteng.Namun, dia terkejut ketika tiba-tiba ada seseorang yang datang dan langsung memeluknya dari belakang."E-ehh!!"Yumna menahan rasa sakit dan mencoba menjelaskan, "Bukan, Umi. Ini bukan karena habis jatuh. Aku merasakan sakit perut yang luar biasa dan ada darah. Aku takut ada yang nggak beres dengan bayiku." Umi Mae merasa jantungnya berdebar kencang mendengar penjelasan Yumna. Dia segera memegang tangan Yumna dengan penuh kasih sayang. "Tenang, Nak. Kita akan segera sampai ke rumah sakit dan mereka akan merawatmu dengan baik. Semuanya akan baik-baik saja," Umi Mae mencoba memberikan dukungan dan ketenangan pada Yumna. Dalam perjalanan yang penuh kekhawatiran, Ustad Yunus mengemudikan mobil dengan hati-hati dan cepat. Dia berusaha tetap tenang dan fokus pada tujuan mereka, yaitu membawa Yumna ke rumah sakit dengan segera. Dalam hati, Ustad Yunus berdoa dengan penuh harap agar Yumna dan bayi mereka dalam keadaan yang aman. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu berada di samping Yumna, memberikan dukungan dan cinta yang tak terbatas. * * Sampai di rumah sakit, mereka
"Iya, Nay. Bunda malah punya buktinya kalau memang kamu nggak percaya," kata Bunda Noni dengan nada sedih. "Bukti aku memperk*sa Sandi, Bun?" "Iya." Bunda Noni merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Dengan hati yang berat, dia membuka rekaman CCTV yang masih dia simpan. "Ini adalah rekaman CCTV digudang rumah sakit, Nay." "Gudang rumah sakit?" Naya menatap layar ponsel itu dengan campuran kecemasan dan penasaran. Rekaman dimulai dengan suasana yang biasa di dalam gudang rumah sakit. Namun, ketika adegan yang menggambarkan tindakan tidak senonoh yang dilakukan oleh Naya kepada Sandi muncul di layar, Naya merasa dunianya hancur. Tidak! Dia tidak bisa percaya apa yang dia lihat. Tidak mungkin dia melakukan hal semengerikan itu. Dia merasa mual dan ingin menolak kenyataan yang ada di hadapannya. Namun, bukti yang jelas dan tak terbantahkan memperkuat semua yang Bunda Noni katakan. Naya merasa terjebak dalam kebenaran yang tidak bisa dia pungkiri. "Menjijikkan, Bun! Itu menjijikk
Setelah mendengar penjelasan dari Soni, Yumna Akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia benar-benar merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Soni. Namun, Yumna sendiri tak memiliki bukti yang kuat jika benar pria itu berbohong. Apalagi Ustad Yunus pun ikut meyakinkannya kalau semua ucapan sang kakak ipar adalah benar. Jadi mau tidak mau, mungkin Yumna akan mencoba untuk menerima meskipun hanya sepenuh hati. *** Di tempat berbeda. Setelah menghubungi pihak rumah sakit, Bunda Noni diminta untuk membawa Naya ke sana, supaya bisa diperiksa secara jelas tentang kondisinya. Sandi sendiri memilih tidak ikut bersama mereka, karena memang itu atas permintaan Bunda Noni. Dia tidak mau Naya histeris lagi dan berefek pada kondisi mentalnya. Bunda Noni ingin yang terbaik untuk anaknya, ingin melihatnya sembuh. Setelah setengah jam diperiksa dan berkonsultasi kepada Dokternya Naya, akhirnya dokter itu memiliki jawaban yang akan dijelaskanny
"Bunda ... Bunda kenapa bawa dia ke sini??" Naya terkejut melihat kedatangan Sandi bersama Bunda Noni. Dia merasa ketakutan dan dengan refleks, dia membanting pintu. Braakkk!! "Astaghfirullahallazim, Nay! Apa yang terjadi?" Bunda Noni bingung dengan kejadian tersebut. Dia mencoba membuka pintu, namun pintu itu sudah dikunci dari dalam. "Pria asing itu... kenapa Bunda membawanya ke sini? Seharusnya Bunda membawanya langsung ke kantor polisi!" Naya mengungkapkan kekhawatirannya. Mendengar perkataan Naya, Bunda Noni menoleh ke arah Sandi, dan keduanya saling memandang. "Apa jangan-jangan yang dimaksud pria asing itu kamu, San? Tapi kenapa?" Bunda Noni bertanya bingung. "Aku nggak tau, Bun." Sandi menggelengkan kepala, juga bingung. "Tapi masa Naya nggak mengenalku?" "Itu dia masalahnya, San." Bunda Noni menghela napas, lalu mengetuk pintu kamarnya. "Naya sayang... Pria asing yang kamu maksud bukanlah orang jahat, tapi dia adalah suamimu, Yunus." "Bunda, ini aneh. Bunda pikir aku n
Meski diawal Sandi tak menginginkan hal ini terjadi, dan sempat berusaha untuk menolak. Tapi pada akhirnya, sebagai pria normal, dia berhasil luluh.Hasrat itu muncul saat terus menerus digoda, Sandi tak kuasa untuk menahan.**Keesokan harinya.Setelah melalui malam panjang penuh gairah, dengan perlahan-lahan Naya membuka matanya lalu menatap sekeliling ruangan.Sorot matanya pun berhenti pada Sandi yang tertidur pulas dengan bertelanjang dada di sampingnya, dan sontak membuat Naya membulatkan matanya, merasa terkejut."Kamu siapa? Kenapa kamu ada dikamarku?!" teriaknya yang langsung beranjak dari tempat tidur. Namun, kembali dia merasa terkejut mana kala melihat tubuhnya sendiri polos tanpa busana. "Astaghfirullahallazim!!""Ada apa, Nay? Kenapa kamu berisik sekali?" Sandi membuka matanya yang terasa berat, lalu menguceknya beberapa kali sembari menatap Naya. Perempuan itu terlihat panik, dia langsung berlari keluar kamar sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Sandi.Braakkkk!
"Eemmm ... mereka ada kok, Nak," jawab Umi Mae, tapi tampak ragu-ragu."Di mana, Umi?""Di rumah Mbaknya Yunus.""Maksud Umi di rumahnya Mbak Sari?""Iya, ada di sana.""Lho kok bisa mereka ada di sana? Memangnya mereka sempat kabur dari rumah, ya?""Bukan kabur dari rumah, tapi mereka sengaja Umi titipin. Karena 'kan waktu itu Yunus sakit, kamu nggak fokus sama mereka. Umi juga 'kan ikut nemenin kamu di rumah sakit," jelas Umi sedikit gugup."Oohh begitu. Syukurlah ...." Yumna merasa lega. "Aku sampai berpikir mereka digoreng sama Umi, buat dijadikan lauk.""Mana mungkin Umi tega seperti itu. Lagi pula mereka 'kan ayam-ayam kesayanganmu.""Umi benar. Terima kasih ya, Umi ...." Yumna langsung memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang. "Udah bantu ngurusin Cia dan Cio. Maaf juga, kalau aku sempat su'uzon bahwa Umi menggoreng mereka.""Enggak masalah, Nak. Umi mengerti kok, kekhawatiranmu." Umi Mae mengusap pipi Yumna dengan lembut dan tersenyum."Ya udah, sekarang aku mau pergi