Minggu ini, Amala masih menikmati masa santai. Dia mengajak Glen pergi keluar jalan-jalan untuk mengenalkan kota ini.
"Glen, apa kamu suka tinggal disini?" tanya Amala mengajak Glen duduk di taman. Glen tidak menjawab tetapi dia menggeleng."Kamu tidak suka ya?" Amala cemberut sambil menatap putranya.Glen meraih pipi Amala. "Jangan cemberut Mama. Itu akan membuatmu cepat tua dan tidak cantik lagi." Glen mengusap wajah Amala. Menunjukkan jika seolah dia adalah pria dewasa. Padahal dia masih anak-anak. "Meskipun aku tidak suka berada disini, aku akan tetap bersamamu. Jangan khawatir, aku sudah berjanji.""Benar?" Amala bertanya lagi, sekedar untuk meyakinkan.Glen mengangguk kemudian memeluk Mamanya dengan erat.Sebenarnya, Glen memang kurang suka keramaian. Jika dibanding Rumah sederhana Nenek Lusi yang berada di pinggiran kota, dia lebih suka tinggal di sana. Tetapi, karena Glen ini sangat mencintai Amala, dia akan patuh dan berjanji akan selalu bersamanya, apapun yang terjadi."Besok, Mama akan mulai mencari pekerjaan. Kamu bisa memilih untuk ikut atau tinggal bersama Nona Wang sementara.""Aku tidak mau kesepian, jadi tinggal bersama Nona Wang saja." jawab Glen tanpa ragu."Baik. Tapi kamu harus patuh dan jangan nakal.""Glen janji, Mama." anak itu memasang wajah lucunya.Amala sungguh merasa bersyukur memiliki Glen. Selain sangat tampan dan pengertian, pikirannya seperti orang dewasa.Dia bahkan tidak memikirkan lagi, siapa ayah dari putranya itu. Dia sudah tidak peduli hal itu.Sore setelah mengajak Glen pulang dari Taman, Amala duduk termenung di pinggir tempat tidur.Tadi Paman Yue menelpon, mengatakan jika belum mendapatkan pekerjaan untuk dirinya. Sepertinya, kali ini Amala harus berjuang lebih keras lagi untuk mendapatkan pekerjaan.Ketika Amala sedang termenung, Glen masuk bersama Killa Wang. Killa Wang berpamitan untuk pulang karena dia tadi datang untuk mengunjungi Glen, dan saat ini temannya menghubunginya berkali kali, memintanya untuk menjemput di sebuah Bar."Amala, aku pulang ya? Aku harus pergi untuk menjemput temanku. Sepertinya dia sedang ada masalah.""Ah, iya. Baiklah. Hati-hati."Baru saja Amala berkata demikian dan Killa Wang ingin melangkah, Killa Wang tiba-tiba berlari ke kamar mandi milik kamar Amala."Ah, perutku melilit. Aku pinjam kamar mandi sebentar,"Amala hanya menggelengkan kepala, sementara Glen tertawa. Tadi rupanya, Glen dan Killa Wang baru saja memakan Steak lumayan pedas.Setelah sekian lama berada di dalam kamar mandi, Killa Wang keluar. Wajahnya terlihat pucat.Tapi baru saja keluar, dia kembali masuk lagi.Amala mulai khawatir melihat kondisi Killa Wang."Apa perutmu baik-baik saja?" dia bertanya ketika Killa Wang sudah keluar lagi dari kamar mandi."Aduh, maaf Amala. Sepertinya ini gara-gara steak pedas tadi. Perutku jadi mulas." "Baiklah. Istirahat dulu. Aku akan mencari obat untuk mulas." Killa Wang menurut, lalu Amala pergi untuk memeriksa kotak obat. Dia menemukan obat untuk diare dan segera memberikan pada Killa Wang.Saat ini, ponsel Killa Wang berbunyi lagi."Astaga! Temanku butuh bantuan. Bagaimana ini?" dia nampak kebingungan. Dia harus pergi menyusul temannya, tapi perutnya sedang tidak bisa diajak kompromi.Melihat Killa Wang kebingungan, tentu Amala tidak tega, kemudian dia berkata, "Beristirahatlah, aku bisa menjemput temanmu."Killa Wang mendongak, "Eh, jangan. Dia di Bar. Dan mungkin sedang ada masalah."Tapi Amala menyakinkan, apalagi kota ini dia juga sudah paham. Bar yang dimaksud oleh Killa, Amala juga tahu tempatnya.Setelah berunding, akhirnya Amala yang pergi untuk menjemput teman Killa setelah Killa menunjukan foto temannya yang bernama Ema itu.Seperti yang dikatakan Killa Wang, saat berada di Bar itu, dia melihat Ema sedang dipegang beberapa teman Pria dan Wanitanya, gadis itu sedang dipaksa minum alkohol oleh mereka.Sebenarnya saat ini Amala takut untuk mendekat, tetapi dia merasa kasihan dengan gadis itu. "Tolong lepaskan dia. Dia adikku, dan aku datang untuk menyusulnya." Amala mencoba berbicara baik-baik pada beberapa orang yang terlibat disana.Mereka menoleh pada Amala, kemudian berkata dengan sinis, "Dia kalah taruhan, tapi tidak mau minum seperti perjanjian kita. Mana bisa kami lepaskan?"Amala mengangkat alisnya, "Taruhan?" dia sambil melirik ke arah Ema. Ema langsung mengedipkan mata pada Amala, dia tahu jika Amala datang untuk menyusulnya karena Killa Wang telah mengatakan padanya."Kak. Aku tadi hanya bercanda. Tolong aku. Aku tidak bisa minum alkohol." Ema merengek padanya."Kalian, tolong lepaskan adikku. Dia tidak biasa minum. Jika terjadi apa-apa bagaimana?" Amala kembali mencoba berbicara pada mereka."Oh, tidak masalah jika dia tidak bisa, kamu bisa mewakilinya, minum ini dan kalian bisa pergi." satu orang dari mereka berkata demikian sambil menyodorkan satu gelas alkohol ke hadapan Amala.Amala membulatkan matanya, selama ini dia juga tidak pernah meminum alkohol. Bagaimana mungkin kali ini dia ingin menolong Ema?Tapi, mungkin karena Amala tidak ingin berdebat lebih lama dengan mereka, atau karena dia hanya melihat satu gelas alkohol saja di hadapannya, dia segera mengulurkan tangannya."Kak, jangan!" Ema ingin mencegah, tapi Amala sudah meneguk minuman itu.Mereka tertawa, lalu melepaskan Ema.Gadis itu segera meraih tangan Amala dan buru-buru membawa Amala keluar dari bar.Beberapa langkah keluar dari sana, Amala merasa tubuhnya seperti terbakar. 'Apa ini?'Kalau hanya segelas alkohol, kenapa bisa seperti ini?Amala mulai khawatir, dia menatap Ema yang juga terlihat khawatir."Kak, kamu baik-baik saja? Ayo cepat!" Ema tahu ada yang tidak beres dengan minuman yang ditengguk Amala tadi, dia ingin mereka segera pergi dari sana. Tapi baru saja hendak meninggalkan halaman Bar, kakak pria Ema datang dan menariknya."Dasar Nakal! Kamu selalu bikin orang tua khawatir!" dia menarik Ema.Ema tidak bisa membantah, hanya meminta Kakaknya untuk membawa serta Amala. Tapi sang kakak justru marah, menoleh pada Amala dan memakinya."Lain kali, jangan ajak adikku ke Bar lagi!" lalu pergi meninggalkan Amala seorang diri disana.Amala membeku, dia mengerti jika pria itu salah paham. Mengira jika dia yang telah mengajak Ema ke sini. Padahal tidak seperti itu.Sesaat, Amala menjadi panik sendiri. Rasa panas di dalam tubuhnya mulai menyebar. Tubuhnya jadi seperti tak bertenaga dan kepalanya sangat berat.'Jangan-jangan," Amala semakin panik saat menyadari sesuatu yang salah. Rasa ini, sama persis seperti rasa enam tahun yang lalu saat dia minum kopi bersama Nathalie di sebuah kafe.Mengingat hal itu, Amala menjadi ketakutan. Dia menoleh ke belakang, di dalam sana sekelompok teman Ema tadi masih terdengar tertawa, lalu melihat dua orang dari mereka tadi berjalan keluar.Amala ketakutan dan cepat lari dari sana.Brak!Amala hilang kendali dan menabrak seseorang di parkiran.Fic tidak menyadari perasaan yang tumbuh di antara mereka. Orang lain juga sama, tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di dalam hati Ellena. Namun, suatu saat Ellena tidak mampu menahan lagi dan mulai mengekspresikan perasaannya dengan lebih jelas. Fic hanya menganggap bahwa Ellena begitu karena belum dewasa dan belum mengerti perasaannya. Suatu hari, Ellena yang sudah bukan remaja lagi, mengungkapkan perasaan cinta yang selama ini terpendam.Fic merasa seolah tersambar petir dan sulit memahami apa yang sedang terjadi. "Mana mungkin?" batin Fic. "Aku hanya seorang kepala pelayan, dan usia kita terpaut jauh. Aku bahkan bisa jadi pamanmu, nona!" Namun, Ellena sama sekali tidak peduli dengan alasan tersebut. Ia nekad melakukan apapun untuk bisa bersama Fic. Perasaan Ellena semakin memuncak dan menghempas rasa ragu di hatinya. Fic kini terjebak dalam dilema, antara menerima perasaan Ellena atau tetap pada prinsipnya. Ketika akhirnya ia mulai merasakan getaran yang sama dalam hatinya, ia
"Diam!" Ellena bersikukuh, masih saja melanjutkan pekerjaannya. Lalu mengambil celana Fic dan meminta Fic untuk mengenakannya dengan sabar.Fic hanya bisa menurut. Ellena memakaikan kemeja putih pada Fic, mengancingkan baju itu."Ellena, aku bisa sendiri." menarik tangan Ellena hingga tubuh Ellena menabrak dadanya."Aku ingin melakukannya Fic. Dengan begitu, aku semakin bahagia." Ellena melepaskan tangan Fic, sekarang memasangkan dasi untuk Fic."Nona."Ellena masih belum selesai merapikan rambut, baju dan dasi Suaminya."Sudah rapi. Tinggal jas nya saja. Dipakai sekarang apa nanti saja?"Fic tak menjawab pertanyaan Ellena. Masih senantiasa menatap wajah Ellena."Fic.""Bisa menikahimu saja, sudah membuatku tak berhenti bersyukur. Jangan melakukan ini lagi. Itu membuatku merasa bersalah."Ellena dengan lembut menarik tengkuk Fic, menciumi wajahnya dengan penuh kasih sayang. "Aku ingin melakukan ini setiap pagi. Kau tidak boleh melarangku, atau aku akan mengadu pada Ayah. Kau sudah men
Fic menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, "Baiklah, Tuan. Jika Anda telah mempercayai saya, saya tidak ingin mengecewakan Anda. Tapi, bolehkah saya mencari pengganti diri saya sebagai Kepala Pelayan?""Ya. Tentu saja. Semua itu ku serahkan padamu. Siapapun yang kau pilih, aku yakin kau sudah memikirkannya dengan baik," jawab Glen dengan mata yang bersinar penuh keyakinan. Fic mengangguk mantap, memperkuat pernyataannya.Mereka kembali ke kamar masing-masing setelah obrolan itu selesai. Langkah mereka terasa lebih ringan, seolah sebuah keputusan besar telah berhasil dilewati bersama. Di balik pintu kamar, Fic tersenyum tipis, merasa yakin akan kebijaksanaan pilihan yang telah dipertimbangkan matang-matang.Malam mulai menggantikan siang. Fic melangkah perlahan, merangkak ke atas ranjang mengikuti Ellena yang sudah lebih dulu berbaring. Mata Fic tak henti memandangi wajah Ellena, tersenyum padanya dengan penuh kebahagiaan. Sejenak Fic merasa puas, menikmati momen itu. Setelah itu, p
"Ellena, ayo kemari, Nak." ajak Daniah ramah. Glen juga menoleh ke arah Fic dengan tatapan yang sama hangatnya, "Ayo Fic, ajak istrimu makan bersama kami."Fic mengangguk, menarik kursi untuk Ellena dan kemudian duduk di sebelahnya. Meskipun bukan pertama kalinya dia berada dalam situasi ini, bahkan seringkali dia makan bersama mereka di masa lalu, namun suasana kali ini terasa berbeda. Fic merasa canggung, jantungnya berdebar kencang. Dahulu, dia hanya duduk di sini sebagai kepala pelayan yang setia. Namun sekarang, perannya telah berganti. Menjadi seorang menantu keluarga ini.Dua orang di hadapannya adalah sosok yang ia segani dan hormati selama ini, tuan dan nyonyanya. Dan tak disangka, kini mereka telah menjadi mertuanya. Fic menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupan yang menjalar di seluruh tubuhnya.Daniah bergerak mengambil piring untuk Glen dan dirinya, lalu mengayunkan tangan ke arah piring Ellena dan Fic. Namun, tiba-tiba Fic menahan tangan Daniah. "Nyonya, biar saya
Lebih dari dua minggu sudah, Fic dan Ellena tinggal di villa puncak ini. Dan Pagi ini, Fic terlihat sibuk berkemas. Ellena duduk di samping tempat tidur dengan wajah murung dan bahunya yang terkulai. Semalam, Fic mencoba meyakinkan Ellena untuk pulang, bukan karena ia tidak ingin memenuhi keinginan Ellena untuk berlama-lama di sini, melainkan karena kekhawatiran terhadap rumah yang ditinggalkannya. Fic tak bisa menepis rasa cemas, terutama tentang kesepian yang pasti dirasakan Daniah tanpa Ellena sang putri.Setelah berbagai usaha Fic untuk merasuk, akhirnya Ellena mau pulang dengan imbalan janji berbulan madu ke Kampung halaman Ilham. Walaupun tampak masih belum sepenuhnya ikhlas, Ellena bertanya, "Jadi, setelah ini kita akan pergi ke Lampung, ya Fic?"Fic hanya mengangguk sambil mencium pucuk kepala Ellena, mengekspresikan rasa sayangnya padanya. Mereka berdua duduk di belakang mobil yang melaju perlahan meninggalkan Villa Puncak, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan manis
"Dasar sialan! Arg..!" bentak Keyan kesal, lalu meninju lengan Kimmy dan Khale bergantian. Tapi, perlahan ia ikut tertawa juga. Mereka masih terdengar tertawa bahagia, saling bercanda, sampai melangkah ke kamar masing-masing. "Besok, aku tidak mau lagi satu mobil dengan kalian! Mulai besok, kita akan membawa mobil masing-masing!" seru Keyan, wajahnya merah padam, sebelum menutup pintu kamarnya dengan keras.Sementara di sisi lain.Menuju Villa Puncak,Fic dengan lembut menuntun Ellena, melewati batu-batu hitam kecil yang tersusun apik di jalan setapak. Mereka berada di taman, tepat di luar Villa Puncak. Fic mengajak Ellena menuju bangku khusus yang lengkap dengan meja bundar berisi buah-buahan segar dan minuman yang menggoda. Fic mempersilahkan Ellena duduk, layaknya mempersilahkan seorang putri kerajaan. "Silahkan Tuan Putri," ucapnya sambil membungkukkan tubuh.Ellena tergelak dan menutup mulutnya dengan tangan. Ia duduk dan melihat sekitarnya, merasakan keindahan sore itu. "Ah Fic