Ivy menyerahkan tas khusus yang digunakan untuk menyimpan stok asi perah miliknya ke Rose. Karena sudah ditunggu oleh laki-laki yang kemarin mengantarkan pompa ASI. Ivy ditugaskan untuk menyetoknya lagi. Walau perlakuan spesial didapatkan dari sosok laki-laki penolong itu, tetap saja ada ruang hampa di hati Ivy. Setiap kali dia memerah ASI, tetap saja sambil berlinang air mata. Kehilangan dua orang yang selama ini berusaha Ivy perjuangkan, bukanlah hal mudah. Sekarang, Ivy sebatang kara dan berada di antara orang asing. Ranjang yang ditidurinya begitu empuk, dengan suasana kamar melebihi milik Ivy di masa lalu. Namun, tak akan bisa menggantikan kenangan indah bersama Alden dan Elisabeth.Ivy meletakkan botol berisi ASI perah. Sampai pukul sembilan pagi ini, dia berhasil mengumpulkan tiga botol dengan isi 50ml. Mungkin belum termasuk banyak. Setidaknya sudah mampu mengurangi rasa nyeri akibat bengkak karena isinya terlalu penuh. Ivy sedang menunggu dokter berkunjung. Ada beberapa
Telinga Ivy seakan-akan tidak mendengar apa pun yang diucapkan oleh majikan barunya. Bayi dalam dekapan terasa seperti dia yang melahirkannya. Dia masih dalam fase terkena *post partum syndrome* Ivy masih terlalu muda. Usianya belum menginjak angka dua puluh tahun saat ini. Akan tetapi, semua cobaan bertubi-tubi itu dijalaninya seorang diri. Kesedihan yang memicu sikap *mellow* pada gadis yang baru menyandang gelar sebagai ibu muda itu.Marion mengernyit melihat tatapan mata Ivy ke bayi Lake. Ditepuknya pelan bahu si baby sitter baru itu. "Kau mendengar semua ucapanku?"Ivy yang tersentak memasang wajah bingung. "Ma-maafkan aku, Nyonya. Aku ... terbawa perasaan ketika melihat bayi tampan ini." Mata bayi Lake itu berwarna biru. Mengingatkan Ivy pada laki-laki yang menghabiskan malam panas bersama. Laki-laki yang entah siapa dan di mana keberadaannya setelah malam itu.Marion tersenyum. "Kau pasti langsung ingat dengan bayimu, kan?" "Iya. Apalagi ketika melihat matanya.""Itu mata ya
Sejak dibawa pindah ke mansion milik Jacob Leight, hidup Ivy berangsur membaik. Tubuhnya sudah mulai berisi karena asupan gizi dan nutrisi yang dipantau dokter. Bayi Lake pun ikut mengalami kenaikan berat badan sejak rutin disusui Ivy. Sehingga niatan Jacob untuk mengadakan pesta, bisa segera terlaksana. Satu minggu setelah Ivy menjadi baby sitter Lake, dia mengisi waktu senggang dengan membaca buku di dalam perpustakaan milik keluarga Jacob. Tentu saja atas seizin kedua majikannya itu.Ivy tidak mengatakan keinginannya untuk kembali berkuliah. Karena diterima dengan baik di kediaman keluarga ini saja, Ivy sudah merasa bersyukur. Walau dia dilarang keras untuk keluar rumah dan tak bisa memastikan apakah benar bayinya dikubur di makam yang ditangisi Ivy kemarin.Ivy baru selesai membaca buku tentang teori ekonomi mikro. Disimpannya kembali buku itu di tempatnya semula. Ivy keluar dari perpustakaan. Di ujung koridor, dilihatnya Marion sedang dipeluk Jacob.Ivy tertegun melihat kemesra
Ivy menjalani hari seperti biasa. Seisi mansion memperlakukannya seperti keluarga. Bukan pendatang baru yang dianggap seperti anak bawang.Tibalah saat pesta penyambutan kelahiran bayi Lake. Memang Ivy tak berani bertanya kenapa dirinya tak boleh mendampingi di depan umum. Keluarga Leight menerimanya saja, Ivy sudah bersyukur.Di saat semua pelayan sedang sibuk memeriksa perlengkapan pesta itu, Ivy malah tengah menyusui bayi Lake.Pintu penghubung yang terbuka membuat Ivy spontan menoleh. "Selamat pagi, Nyonya Marion.""Pagi, Ivy. Jangan lupa untuk menyetok ASI untuk seharian ini, ya." Marion yang sudah membersihkan diri tampak begitu cantik, walau tanpa polesan make up."Baik, Nyonya. Setelah mengurus keperluan bayi Lake, aku akan menyetoknya." "Aku sudah menyiapkan gaun pesta untukmu. Kau boleh berada di acara. Hanya sebagai baby sitter, bukan ibu susu. Mengerti?" Marion mengelus pipi Lake.Mata kehijauan itu langsung berbinar-binar. "Be-benarkah, Nyonya membolehkanku hadir di acar
Mendadak, waktu seperti terhenti. Ingatannya kembali pada malam bersejarah itu. Di mana wajah jelita nan belia, bersemu kemerahan karena dikepung renjana. Di telinganya hanya terdengar lenguhan manja yang membuat hasrat kelelakian membara. Mereka menjadi satu, lalu lupa akan waktu. Ia bahkan masih ingat semuanya dengan detail. Serupa candu memabukkan, menipiskan nalar, tetapi begitu layak untuk didambakan."Sayang, kenapa kau malah melamun? Kakek memanggilmu sejak tadi," ucapan lembut mendayu, menyentak lamunan seorang lelaki yang mengenakan setelan tuksedo khusus.Laki-laki itu mengerjap. Situasi hangat mendebarkan jantung itu lenyap. Berganti dengan tatapan beberapa pasang mata anggota keluarga yang kebingungan. Senyuman tipis pun disunggingkan dari bibir *kiss able* itu. Penuh percaya diri, ia mendekat ke arah Jacob yang bersanding serasi dengan Marion Green. "Hai, Sepupu. Selamat. Maaf, aku tak datang saat istrimu melahirkan."Jacob memeluk tubuh atletis sang sepupu. "Aku tau ka
"Ivy."Suara itu membuat ketakutan di kepala Ivy sirna. Gegas dibukanya pintu. "Ma-maafkan aku, Nyonya. Aku tadi berada di kamar mandi.""Susui saja dia sebentar di sini. Dia mendadak bangun dan menangis tadi. Aku ... takut." Marion menyerahkan Lake yang sudah berhenti menangis. Dengan penuh kelembutan, tubuh mungil yang mengenakan jumpsuit merah itu berpindah ke dekapan Ivy. "Kenapa tidak menggunakan stok asi perah saja?"Marion menggeleng. "Di sana ada Kakek Ferdinand. Dia akan berkomentar pedas."Ivy sempat melihat sosok laki-laki berusia senja yang menjadi pusat perhatian semua tamu. Memang laki-laki itu punya kharismanya tersendiri. Hanya saja, kenapa Marion harus takut? "Anda gemetar, Nyonya. Apa butuh sesuatu? Mau aku buatkan teh atau panggil Tuan?" Ivy tampak cemas. Bayi Lake sendiri sudah tampak tenang dalam dekapan Ivy."Ak-aku ... entahlah. Ada rasa tak nyaman yang aku sendiri tidak bisa menjelaskannya, Ivy. Ingatanku sungguh buruk belakangan ini.""Ayo, kita ke kamar bay
Ivy pernah begitu dalam mencintai seseorang. Lalu keadaan berubah menjadi mengerikan. Dia hanya punya kekasih dan ayah saat itu. Hidupnya jungkir balik sejak mengambil pekerjaan paruh waktu yang berujung kehilangan keperawanan."Kau melamun lagi." Charlotte mencolek lengan Ivy. "Aku salah bertanya. Kau pasti pernah jatuh cinta lalu disakiti, kan? Melihatmu seperti ini, aku jadi takut jatuh cinta, Ivy."Ivy buru-buru tersenyum. "Jalan takdir orang tidak ada yang sama, Charlotte. Siapa tau kau bernasib baik, menemukan pangeran tampan berkuda putih yang begitu mencintaimu. Lihatlah, Nyonya Marion yang begitu beruntung.""Ya. Terkadang aku begitu iri melihat perlakuan Tuan Jacob padanya. Sampai-sampai aku pernah berdoa mendapatkan kloningan Tuan." Charlotte tertawa lepas.Ivy ikut tertawa. Ah, sejak berhasil beradaptasi di mansion ini, banyak tawa yang berhasil lolos dari bibir merah alami itu. Senyum pun begitu mudah terukir karena kebaikan hati seisi mansion. Dengan hal itu semua, Ivy p
Ocean membawa gundahnya tentang pertanyaan kapan melangsungkan pernikahan dengan Valerie dalam kesibukan bekerja. Ia hanya bisa mengatakan belum siap untuk berkomitmen dalam waktu dekat. Kalimat pamungkas yang selalu diucapkan oleh Ocean. Apalagi belakangan Ferdinand benar-benar melihatnya sibuk dengan urusan dunia putih dan hitam.Ocean memang dipersiapkan untuk menggantikan kepemimpinan Ferdinand di klan Alexavier. Namun, ada bayang-bayang Jacob di sana. Sehingga Ferdinand belum berani begitu terang-terangan menunjukkan sikap.Sejak pesta perayaan kelahiran Lake, Ivy semakin tertutup. Dia bisa bercanda ketika bercengkrama dengan para pelayan di mansion. Namun, Ivy mengunci rapat-rapat pintu hatinya. Ocean pun sama. Walau sudah jauh lebih tenang setelah mengetahui kalau gadis seratus dollarnya ditemukan, pekerjaan menyita waktu dan tenaganya. Tidak ada waktu untuk mengejar cinta perempuan.*Ivy tersenyum melihat tingkah laku bayi Lake yang sudah mulai bisa diajak bercanda. Di usia