Entah mimpi apa aku semalam, begitu bangun aku menerima video call Richard. Dia mengucapkan selamat pagi dengan suara yang membuat pikiranku berkelana. Aduh, Richard. Kamu membuatku tidak normal.
"Kenapa? Kok diam?" tanya Richard penasaran. "Emm... Nggak apa-apa. Baru bangun tidur, masih blank," dustaku. "Semalam nggak tidur?" Richard terlihat khawatir. "Tidur kok. Kamu aja yang nelpon pagi-pagi bikin orang nggak fokus," ledekku. "Oh, aku harus lebih sering telepon pagi-pagi nih kayaknya." "Kalau dekat kutonjok kamu," ancamku. "Berani? Ayo sini," tantang Richard. "Reseh ah!" Aku tertawa. "Ngomong-ngomong aku udah dapat informasi tentang Daniel." Richard bersandar malas di kepala tempat tidur. "Oh ya? Kok bisa? Cepat sekali? Di mana dia?" tanyaku antusias. "Kamu ngTidak sampai sepuluh menit Richard sudah tiba di depan gedung kantor Daniel. Mobilnya mengklakson dari tepi jalan. Aku yang sedang duduk merenung di undakan tangga langsung berlari menghampiri. Begitu duduk dalam mobil Richard segera merangkul dan mencium pipiku. "Kamu sendirian?" tanya Richard. "Tadi datangnya dengan Kak Sukma. Aku minta dia pulang duluan." "Oh, begitu. Bagus, Hazel. Jadi nggak ada yang bisa mengganggu kita." Richard tertawa. Aku tersipu mendengar kata-kata Richard. "Mau ke penthouse?" tanya Richard. "Nggak akan jadi masalah?" "Tenang aja. Kita masuk dari pintu belakang." "Ada ya?" Aku tercengang. "Ada." Richard tersenyum lebar. "Nanti kalau Bernard atau Bryan naik gimana?" "Aku udah sms Bryan. Dia menggantikanku di kantor." Ak
Jeritan memekakkan telinga itu dapat kukenali di manapun. Siapa lagi kalau bukan Wahyu? Sebagai teman aku tidak tega membiarkannya sendirian di stasiun. Bukan karena kasihan dianya, tapi kasihan orang-orang di stasiun yang diajak ngobrol Wahyu secara acak. "Hazeeeelll!! Akhirnyaaa kesampaian juga nginap di rumah lo!" Wahyu melonjak-lonjak kegirangan. "Lo lagi stres?" ledekku tanpa sungkan. Wahyu terbahak-bahak, "Pekerja kayak kita ini kapan nggak stresnya sih, Bro? Lembur tiap hari, ditolak cowok, diteror keluarga disuruh kawin, eh nikah." "Gue biasa aja tuh? Stres dibawa asyik aja." "Cih, lo mah enak udah punya pacar. Gue? Bayangan gue aja kadang-kadang kabur pergi." "Buruan naik." Aku mendorong Wahyu naik ke angkutan umum. Terserah dia mau bicara sampai kapan, yang penting sampai rumah dulu. "Kapan gue ketemu sama prince charming?" Wahy
Aku hampir lupa dengan ajakan Hendri. Sekarang lelaki ini berdiri di dalam rumah dengan tatapan bertanya, melihat kami berdua yang baru saja tertawa seperti orang gila. "Sorry, Hen. Temanku baru datang," kataku dengan mimik bersalah. "Oh, gitu ya? Tapi kita tetap bisa jalan kan?" Hendri tersenyum. Aku melirik Wahyu. Sahabatku itu tidak terkesan sama sekali dengan senyuman Hendri. "Sorry, lain kali aja ya?" kataku penuh penyesalan. "Ah, tapi aku udah susah payah ngumpulin teman-teman loh. Ikutlah kali ini. Temanmu juga boleh ikut," bujuk Hendri. "Gue nggak berminat. Baru aja sampai, masih capek," ketus Wahyu. Tidak kusangka Wahyu tidak mengalah! Aku menatapnya dengan mata berbinar, mengucapkan terima kasih secara tersembunyi. Wahyu mengedipkan sebelah mata. "Kenapa mendadak ingkar janji?" Hendri masih berusaha mempengaru
"Kita mau jalan ke mana nih? Nggak mungkin kan seharian di rumah aja?" tanya Wahyu. "Di rumah juga bagus. Lo bisa belajar melukis untuk menenangkan jiwa," ledekku. "NO WAY! Ayo ke mal! Kaki gue udah gatal mau jalan!" Wahyu berseru penuh semangat. Berhubung Wahyu adalah tamu di rumahku, maka aku menurutinya. Kami pergi ke sebuah pusat perbelanjaan yang bersebelahan dengan pusat kuliner dan taman raksasa. Hal pertama yang dicari Wahyu adalah junk food, makanan cepat saji. Aku ikut saja. Tidak ada salahnya makan kenyang sebelum bermain. Selesai makan Wahyu menyeretku mengelilingi mal. Dia adalah wanita muda yang senang belanja. Meskipun lemari pakaian di kostnya sudah penuh sesak tetap saja Wahyu senang membeli baju baru. "Bro, istirahat dulu dong," gerutuku. "Apa? Istirahat? Belum semua toko gue jelajahin, lo udah minta istirahat? Lemah amat kaki lo?" Wahyu m
Langit sudah gelap ketika aku dan Wahyu kembali ke rumah. Untung lampu jalanan di sekitar komplek terang benderang sehingga kami melangkah dapat melangkah gagah berani. Kalau tidak dijamin kami pasti terbirit-birit melewati pohon karet yang berjejer di depan komplek. "Kayaknya gue harus sering-sering nginap di rumah lo, Bro. Enak banget bisa jalan berdua tanpa beban," celetuk Wahyu. "Sial. Kata-kata lo ambigu banget sih?? Cari pacar deh buruan!" Aku menyikut Wahyu. "Pangeran berkuda putih gue belum muncul, Bro!" seru Wahyu. "Heh, berisik! Pelanin suara! Lo pikir ini rumah kost elo yang penghuninya nggak pernah tidur?" Wahyu tertawa, "Kapan-kapan lo nginap di kost gue lagi, Bro. Ada yang nanyain elo tuh." "Cih, gue kan udah punya pacar." "Sombongnyaaa tuan putri satu ini. Coba gue jadian sama Bryan, seru kan? Bisa tukaran pasangan." Wahyu
"Gue nggak percaya akhirnya bisa dapat nomor si Bima." Wahyu berbaring terlentang sambil memainkan handphone dengan sayang. "Gue ngakak lihat mukanya, Bro! Elo sih nekat. Di tengah medan perang bisa-bisanya gaet cowok!" Aku tertawa. "Cowok ganteng nggak boleh disia-siakan Bro. Lagian orangnya nggak jahat kan?" "Nggak sih. Lempeng banget malah. Sayang dia ada di pihak lawan." "Yah, siapa tau berjodoh sama gue." Handphoneku berbunyi nyaring. Richard menelepon. Aku memberi kode pada Wahyu untuk hening sejenak. "Kasih tau Richard kalau elo didatangi utusan bapaknya!" seru Wahyu. "Nggak usah. Urusannya udah banyak. Kasihan kalau ditambah pusing hal kecil kayak gini." Wahyu mengangkat bahu. Aku menjawab panggilan video call tersebut... "Hai," sapaku dengan senyum manis di wajah.&nbs
Minggu menjelang siang setelah berpamitan dengan Elisabet, aku dan Wahyu melakukan perjalanan ke ibukota. Aku sengaja tidak memberitahu Richard. Sementara pagi-pagi Wahyu sudah mencoba berkirim pesan singkat dengan Bima. Hasilnya? Diabaikan! "Makanya, Bro, baru kenal jangan kelewat agresif. Gue aja ngeri baca sms lo." Aku mencibir. "Habisnya mau gimana lagi? Gue takut keburu diserobot orang, Bro!" Wahyu menyeringai. "Pakai jurus wanita lemah lembut dong. Cowok mana yang nggak bakal luluh kalau diperlakukan lemah lembut?" "Loh, emang selama lo lemah lembut sama Richard? Bukannya sikap lo nggak ada cewek-ceweknya?" ledek Wahyu. "Kurang asem lo! Jangan dibandingin! Richard tuh jodoh gue, mau diapain pun nggak bakal pergi." Aku merengut keki. "Ups, gue lupa. Sorry Bro. Gimana kemajuan kalian berdua? Udah begitu belum?" Wahyu berkedip genit. "
"Kamu yakin?" tanya Richard. Aku mengangguk, "Cuma menginap semalam. Kan nggak berbuat apa-apa juga." "Baiklah." Richard tersenyum bahagia. Setelah sekian lama aku tidak bertemu Bu Ani, mendengar celoteh dan kelatahannya, sikap yang nyeleneh. Ternyata aku merindukan Bu Ani. Mudah-mudahan hari ini Bu Ani berjualan. "Aku tau kamu kangen ngobrol sama Bu Ani," celetuk Richard. Aku menoleh dengan tatapan heran, "Kok tau?" "Untuk apa ke pantai kalau bukan sekalian cari dia?" Richard melirikku sekilas. "Aduh, tebakanmu tepat banget! Aku sampai mikir jangan-jangan sekarang kamu bisa baca pikiran orang!" Aku tertawa lega. "Kamu gampang ditebak, Sayang." "Ih, sebal." Aku merajuk. "Jangan lama-lama ngobrolnya ya? Aku belum kebagian waktu berduaan nih," pinta Richard. "Iya, n