Jakarta, 9 Oktober 2001 "Kamu sinting, ya, Bram?! Aku mana berani? Keluargamu kan bukan orang sembarangan! Kalau sampai mereka tahu bapakku menjadikan kamu sopir pribadinya, bisa mampus lah!" umpat Stanley sambil mendorong bahu Bram. Siang itu mereka tak sengaja berpapasan di depan pintu masuk gedung milik Cakrawangsa Persada. Bram baru selesai melakukan sesi wawancara. Sedangkan Stanley hendak menemui ayahnya untuk suatu keperluan.Stanley nyaris tidak mengenali Bram. Penampilannya sudah berubah. Bram memangkas rambut gondrongnya dengan gaya klasik belah pinggir. Anting-anting yang biasa menghiasi telinga dan cuping kiri hidungnya pun sudah tidak terlihat. Pemuda itu mengenakan pakaian rapi ala para pencari kerja. Kemeja dan celana bahan fit body membungkus tubuhnya. Bukan lagi celana jeans belel yang sobek di bagian lutut. Yang dipadu plus jaket kulit atau kemeja flanel kebesaran.Tampaknya, takdir mempertemukan kembali dua orang pemuda itu. Mereka tidak berjumpa sejak lulus seko
Jakarta, 8 Februari 2018 "Kalau sudah selesai makan malam, ke sini ya. Ibu mau bicara," pinta Bu Rima ketika Andra menjawab panggilan di telepon genggamnya. "Ada apa ya, Bu? Saya ke sana sekarang aja, ya?" "Ya, sudah." Gadis itu bangkit dari kasur tanpa dipan yang baru saja dia ganti spreinya. Dia mengikat rambutnya menjadi satu ke belakang. Sambil bersidekap Andra beranjak meninggalkan kamar. Malam itu dia mengenakan celana dan kaos lengan panjang. Di luar hujan belum reda sejak sore. Udara Jakarta terasa lindap. Membuat orang ingin bergelung di dalam selimut. Untung saja Bram sedang sibuk menghubungi seorang suplier dari Italia menjelang pukul 18.00 tadi. Andra jadi bisa menyelinap diam-diam untuk pulang lebih dulu. Kalau tidak, mungkin saat ini dia baru keluar dari kantor. Bu Rima sendiri yang membuka pintu setelah Andra mengucap salam. Aroma bunga lili tercium dari tubuh perempuan berusia awal 50 an itu. Bu Rima baru selesai mandi rupanya. "Yuk, sini ngobrol di dalam," ajak
Surabaya, 13 Februari 2018 "Papa Bram!" seru Akira. Bocah lelaki berusia 4 tahun itu berlari menghampiri lelaki yang baru saja memasuki pekarangan. Sepasang kaki mungil beralaskan sandal jepit itu menapaki hamparan berlapis kerikil dengan lincah. Bram merentangkan kedua tangannya. Ketika bocah itu mendekat, dengan sigap dia menangkapnya. "Jagoan Papa kenapa belum tidur?" tanya Bram sambil bergantian mencium dan mencubit kedua pipi yang membulat itu. "Kira belum ngantuk, Pa," Akira melingkarkan lengannya di leher Bram selagi lelaki itu melangkah menuju teras. "Coba tebak Papa bawa apa?" Bram menyerahkan salah satu tas belanja yang dibawanya kepada anak itu. "Asyik! Terima kasih, Pa. Ini Ultraman?" sorak Akira gembira seraya mengambil oleh-olehnya. "Apa, ya? Coba Kira lihat sendiri nanti." Seorang perempuan ayu berkulit putih berusia 30-an berdiri di sana. Matanya berbinar menatap kedua lelaki berbeda generasi itu. Disambutnya beberapa buah tangan yang diulurkan Bram. "Aku sangk
Jakarta, 15 Maret 2018 “Bikin minum buat siapa, Ken?” tanya Gilang ketika seorang perempuan melewati mejanya. Gadis itu memakai kemeja pas badan dan dengan rok di atas lutut. Dia sedang membawa sebuah cangkir keramik beserta cawannya. Tapak tapak high heels nya menghasilkan suara mengetuk-ngetuk di lantai. Beberapa penghuni ruang procurement menoleh dibuatnyya. “Buat Pak Bram, Mas,” sahutnya semringah. “Kok Pak Bram aja yang dibikinin? Saya juga mau,” goda Gilang. “Iya, Ken. Mas Kevin juga mau. Kalau Mas Ranggi mau nggak?” Kevin ikut-ikutan menimpali. “Lain kali, ya, Mas.” Niken menjawab sebelum mendorong pintu ruangan Bram. “Dasar kalian! Ingat anak istri di rumah. Jangan pada ganjen! Tuh, lihat! Ranggi yang masih bujangan aja kalem,” cibir Alena. Perempuan itu tak habis pikir melihat kelakukan teman-temannya. Anak baru bernama Niken Andriani itu memang menarik. Wajahnya tirus dengan hidung bangir. Kulit putih bersih. Rambutnya bergaya ombre warna pirang sebatas leher. Tubuhny
Gianyar, 23 November 2012 Suatu pagi di Pulau Dewata. Perempuan itu berbaring di atas kursi malas dari anyaman rotan. Tangannya sibuk membolak-balik sebuah novel. Tubuhnya yang sempurna berbalut mini dress biru terang. Rambutnya yang ikal berwarna coklat gelap berkilauan terurai sebatas bahu. Kontras dengan kulit putih bagai pualam. Lipstick merah menyala menambah karakter pada penampilannya. Topi bundar berwarna putih menaungi wajahnya yang mirip maneken hidup. Para pengunjung dan karyawan resort yang kebetulan melewatinya pasti menoleh bagai tersihir. Dua orang pemuda pertengahan dua puluhan mencuri pandang dari seberang kolam renang. Siapa yang akan melewatkan pesona yang ditawarkan di depan mata? Perempuan itu seperti keluar dari cover majalah kelas atas. Sayangnya, tidak ada yang menyadari sesuatu. Sebuah lebam tersembunyi di balik kaca mata hitamnya yang besar. Orang mengenalnya sebagai Imelda Cakrawangsa atau biasa dipanggil Imel. Tentu saja sebelum dia menikah dengan Narendr
Jakarta, 9 Oktober 2012 Suatu malam di lantai tujuh gedung Cakrawangsa Persada. Tiga orang lelaki keluar dari lift dan langsung menuju ke ruang procurement. Yang seorang bertubuh tinggi besar, berusia pertengahan empat puluhan. Dia memakai kemeja bercorak cerah dan celana pantalon putih. Kalung rantai di lehernya tampak berkilauan. Di belakangnya berjalan dua orang pemuda dengan postur serupa. Hanya saja dengan penampilan lebih kasual. Area procurement tampak remang-remang. Lampu yang masih menyala hanyalah yang berada di ruang kaca. Alunan Still Got The Blues dari Gary Moore samar terdengar dari sana. Sekarang sudah lima belas menit menuju pukul sepuluh. Sebagian besar karyawan di gedung ini pasti sudah berada di rumah masing-masing. “Masih punya harga diri kamu memilih bekerja di sini?!” cerca Rendra. Lelaki bergaya nyentrik itu menerobos ke ruangan Bram tanpa permisi. “Anda punya masalah dengan saya?” Bram mengernyit dan balik bertanya. Bram tahu apa yang menyebabkan Rendra b
New York, 22 Agustus 2011 "I want your baby, Bram," bisik Imel di telinga Bram. Membuat lelaki itu terhenyak. Detak jantungnya seakan berhenti. Tangan Imel masih mendekapnya dari belakang. Kulitnya yang sehalus sutra menempel di punggung Bram yang telanjang. Membuat darah lelaki itu bergejolak. Namun, permintaan yang terucap dari mulut perempuan itu memadamkan api yang tadinya mulai menyala kembali. "Kamu gila, Mel!" hentak Bram seraya melepaskan pelukan perempuan itu. Dengan bergegas, lelaki itu turun dari tempat tidur yang tampak tidak karuan. Lalu menyambar handuk di sandaran kursi dan melilitkannya di pinggang. "Kamu benar, Bram. Kamu sudah bikin aku gila." Imel tertawa getir melihat reaksi Bram. Sementara, lelaki itu melesat menuju kamar mandi tanpa berkata apa-apa lagi. Imel merasa dicampakkan. "Aku harus ke kampus pagi-pagi sekali!" seru Bram di antara gemercik air yang berjatuhan dari shower. "Jadi kamu ngusir aku?" balas Imel. Dia meletakkan lagi tubuhnya di kasur denga
Jakarta, 9 Oktober 2012 Entakan drum dan ritme gitar listrik dari Highway Star milik Deep Purple memenuhi pendengaran. Memacu adrenalin hingga jantung berdetak lebih cepat. Dari belakang kemudi, Bram melajukan sedan hitamnya seperti sedang syuting adegan kejar-kejaran di film action. Mobil second hand keluaran Eropa itu dibelinya dari seorang teman lama. Sepasang matanya yang sewarna malam menatap jauh ke depan. Sementara itu bayangan tiang-tiang lampu penerang jalan menyisir wajahnya. Seorang sopir taksi yang dilewatinya menggeleng sambil menggumam, "Pasti orang sinting itu sedang mencoba metode 'mendekatkan diri pada Tuhan'" Waktu menunjukkan pukul 22.40. Lalu lintas di Jalan S. Parman sedikit lengang. Bram tidak ingin mencelakai siapa pun. Akan tetapi, dia butuh meluapkan emosi. Kepalanya hampir pecah. Dadanya seakan mau meledak. “Benar-benar kurang ajar badut Mc D***d itu!” maki Bram dalam hati. Terbayang peristiwa beberapa saat lalu di ruangannya. Bukan tuduhan Rendra atas