LOGINPagi itu, langit kota tampak mendung. Awan tebal menggantung seolah ikut menyimpan beban yang akan segera pecah di ruang sidang hari itu. Riana berdiri di depan cermin hotelnya, memakai blus putih dan rok hitam selutut. Wajahnya tampak pucat, tapi matanya penuh tekad. Ia sempat terdiam lama, memegangi kalung kecil pemberian ibunya, lalu berbisik pelan, "Aku kuat. Aku harus kuat." Adrian sudah menunggu di lobi, mengenakan setelan abu gelap. Di sampingnya, pengacara yang mereka percayai, pria yang berusia empat puluhan dengan tatapan tajam dan nada bicara tegas, sedang meninjau kembali berkas-berkas kasus. “Semua bukti digital dan hasil visum sudah lengkap,” ujar sang pengacara saat mereka bertiga berjalan menuju mobil. “Yang penting, kalian tetap tenang. Kita tidak sedang membuktikan harga diri, tapi mencari keadilan.” Riana hanya mengangguk. Tangan
Suasana Selaras Café sore itu berbeda dari biasanya. Lampu gantung berwarna keemasan menghiasi langit-langit, lilin-lilin kecil menyala di setiap meja, dan aroma kopi bercampur dengan wangi bunga melati yang disusun oleh Dara sendiri. Tak ada musik keras, hanya dentingan lembut piano dari musisi lokal yang memang sering tampil di café itu. Riana berdiri di dekat bar, memakai gaun sederhana warna gading. Wajahnya tampak bersinar, bukan karena riasan, tapi karena kebahagiaan yang jujur. Di tangannya, cincin perak pemberian Adrian memantulkan cahaya lilin. Dara tersenyum lebar saat menghampirinya. “Akhirnya ya, Ri. Setelah semua yang kamu lewati, kamu pantas bahagia seperti ini.” Riana tersenyum lembut. “Semua juga berkat kamu, Dar. Kalau bukan karena kamu dan Arga, aku mungkin nggak bisa sampai di titik ini.” Arga yang berdiri di sisi Dara menimpali dengan nada hangat, “Kamu itu pekerja keras, Riana. Aku dan Dara c
Malam itu di Selaras Café terasa lebih tenang dari biasanya. Setelah pengunjung terakhir pulang, hanya suara ombak dari kejauhan yang masih terdengar. Di meja dekat jendela, Riana dan Adrian masih duduk berdua. Gelas kopi mereka sudah dingin, tapi tak ada di antara keduanya yang ingin beranjak. Riana menatap cincin di jarinya, perak sederhana, tapi berkilau hangat di bawah cahaya lampu café yang temaram. Adrian menatapnya diam-diam, lalu berkata dengan suara pelan namun mantap.“Terima kasih… sudah menerimaku, Riana. Aku tahu perjalanan ini nggak mudah buat kamu. Tapi aku janji, aku bakal ada di setiap langkahmu.” Riana tersenyum kecil. Ada air mata yang menahan di sudut matanya, tapi bukan air mata kesedihan, melainkan lega, karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tak perlu bersembunyi di balik luka.“Aku nggak tahu harus bilang apa, Adrian,” bisiknya. “Aku masih takut… dengan masa lalu, dengan apa kata orang nanti—” “Aku nggak peduli kata orang,” potong Adrian lembut. “
Langit mulai berwarna jingga ketika Adrian, Riana dan kedua adiknya tiba di rumah Dara dan Arga. Rumah itu tampak hangat, dikelilingi sebuah taman dengan aroma laut yang samar terbawa angin sore. Suasana santai, pintu terbuka lebar, dan suara tawa kecil terdengar dari dalam. Dara langsung menyambut keduanya di depan pintu. “Riana! Adrian! Randu! Rina! ayo masuk. Udah ditungguin, nih.” Riana tersenyum sambil membawa sekotak kecil kue yang tadi dia buat di dapur cafe. Adrian hanya mengangguk sopan. Begitu masuk, aroma masakan Arga langsung terasa, entah apa yang dimasaknya, tapi harum rempahnya memenuhi ruangan. Tak lama, Arga keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi minuman dingin. “Riana, lama nggak ketemu, Randu, Rina kalian bisa nonton tv di dalam atau mau karaokean juga bisa.” sapa Arga hangat. “Jadi ini Adrian, ya?” Adrian berdiri, mengulurkan tangan dengan sopan. “Iya, saya Adrian. Senang bisa bertemu, Pak.” “Panggil aja Arga,” balasnya sambil menjabat tan
Cahaya matahari menembus tirai tipis di ruang tamu kontrakan Riana. Udara laut yang lembut mengalir masuk, membawa aroma asin dan sedikit wangi kopi yang baru diseduh. Rina dan Randu sudah bersiap untuk berangkat sekolah. Riana merapikan rambut Rina sambil tersenyum kecil. “Kalian berdua hati-hati di jalan, ya. Kakak harus ke kafe lebih pagi hari ini.” “Iya, Kakak,” jawab Randu sambil menggendong tas sekolahnya. “Oh iya, Kak… kemarin aku lihat Kak Adrian di jalan depan kafe. Dia sekarang kerja di situ juga, ya?” Riana tersenyum samar, sedikit gugup. “Nggak, dia cuma bantu Kakak beberapa waktu ini dan dia hanya teman kakak." Rina menatap Riana dengan mata polosnya. “Teman yang suka bikin Kak Riana senyum, ya?” Riana tersentak kecil, lalu tertawa pelan sambil mencubit lembut pipi adiknya. “Dasar, kamu ini ya… udah sana, nanti terlambat.” Begitu kedua adiknya berangkat, Riana berdiri sejenak di depan cermin kecil di ruang tamu. Ia menatap wajahnya yang mulai tampak segar, a
Sore berganti menuju senja. Langit di ufuk barat berubah warna dari jingga keemasan menjadi merah lembut, lalu perlahan memudar ke ungu keabu-abuan. Suara camar terdengar samar di kejauhan, menyatu dengan desir angin laut yang lembut menyentuh kulit. Riana dan Adrian berjalan keluar dari kafe setelah Dara menutup sebagian area outdoor. Dara hanya tersenyum melihat keduanya pergi, seolah mengerti bahwa mereka butuh waktu sendiri. Mereka melangkah menuju pantai yang letaknya hanya beberapa meter dari kafe. Pasirnya masih agak lembap setelah hujan tadi, meninggalkan aroma khas yang menenangkan. Ombak datang perlahan, memecah lembut di kaki mereka. Riana melepas sandal, membiarkan pasir halus menyentuh jari-jarinya. “Aku dulu sering ke sini waktu baru pindah ke kota ini,” katanya lirih. “Tempat ini satu-satunya yang bisa bikin aku tenang waktu semua orang masih menatap aku aneh.” Adrian menatapnya dari samping. “Sekarang nggak ada lagi yang boleh bikin kamu ngerasa sendirian.” Riana







