Share

BAB 4 Terngiang Pesan Si Pelakor

"Bunda, hari ini Aziel mau makan ayam goreng crispy, boleh?" pinta Aziel kecil dengan suaranya yang manis, tentu tak sampai hati Zeta mengabaikan permintaan sang putra tersayang.

"Boleh Sayang, pokoknya kamu belajar aja yang bener di sekolah, Bunda masakin ayam goreng crispy untuk makan siang El nanti," ujar Zeta.

"Bener ya, Bund!" ucap Aziel dengan semangat menggebu, lantas ia melambaikan tangannya untuk berpisah dengan bunda tercinta dan masuk ke dalam gedung sekolahnya.

"El, tungguin Acha!" seru seorang gadis kecil yang seumuran dengan Aziel, gadis itu berlari tergopoh-gopoh mengejar langkah Aziel.

"Ish! Acha ngapain sih nempelin Aziel mulu? risih tau!" gerutu Aziel dengan memasang wajah ngambeknya.

"Eitsss ... durhaka kamu bilang kaya gitu El ke Acha!" ucap Acha menghakimi sikap dingin Aziel.

"Durhaka? kan Acha bukan bundanya Aziel, kenapa bisa durhaka?" tanya Aziel dengan polosnya, membuat Mia yang melihat kejadian itu hanya menggelengkan kepalanya heran.

Kedua sahabatnya itu tak pernah akur dan selalu melakukan hal yang konyol, sepertinya hanya dirinya lah yang waras di pertemanan ini.

"Karena Acha itu calon istri masa depan El, makanya El tuh ga boleh kasar, apalagi cuekin Acha!" tutur Acha dengan sangat percaya diri.

"Ish, ogah!" ucap Aziel dengan sarkas, membuat Acha benar-benar syok dibuatnya. Kenapa susah sekali mendapatkan hati Aziel sih?

****

"Selamat pagi Bu Zeta," sapa seorang pegawai wanita yang tengah berjaga di butik milik Zeta.

"Selamat pagi, pesanan gaun pengantin yang kemarin sudah di-ambil?" tanya Zeta, ia sembari melihat-lihat stok kain yang ada di penyimpanan butiknya.

"Oh, sudah Bu, pengantinnya sangat puas dengan desain gaun yang Ibu buat katanya," jawab sang pegawai wanita itu dengan senyuman.

"Alhamdulillah kalau begitu, saya ke lantai atas dulu ya, kamu berjaga saja di sini," ujar wanita cantik berusia 27 tahun itu, ia melangkahkan kakinya naik ke lantai dua gedung ini.

Zeta selain seorang ibu rumah tangga, ia juga memiliki sebuah butik yang cukup besar dan terkenal. Butik itu adalah peninggalan mendiang sang ibu yang telah diwariskan kepadanya.

Sedari kecil Zeta memang sudah tertarik dalam dunia fashion, ia melanjutkan kuliahnya di bidang yang serupa. Kemudian ia melanjutkan bisnis ibunya ini, hal itu didukung penuh oleh Bima.

Butik yang dulunya tengah di ambang kebangkrutan, kini menjadi salah satu butik yang ternama di kota besar itu. Semua berkat usaha dan kerja keras Zeta, dan tentu saja dukungan dari sang suami yang selalu menyemangati dan mensupport Zeta.

Entah bagaimana hubungan manis tanpa celah itu, kini tengah di ambang keretakan dan tak jelas akhirnya akan seperti apa dan bagaimana.

Kini terlihat Zeta tengah berada di ruang kerjanya, wanita itu terlihat sedang fokus menggerakkan pensilnya di atas kertas, perlahan tangannya mulai menumpahkan imajinasinya dalam bentuk gambar desain sebuah baju.

Di tengah keseriusannya, ia malah teringat oleh pesan yang ia baca di handphone milik Bima. Kini pikiran fokusnya malah buyar dan memikirkan yang tidak-tidak.

"Ga bisa! aku ga bisa kaya gini terus! bisa gila aku!" monolog Zeta pada dirinya sendiri.

"Gila kenapa, Bu?" tanya seorang karyawan wanita, di tangannya terlihat tengah memegang secangkir teh lemon untuk Zeta.

"Ah ... enggak Li, aku cuma lagi pusing aja, ga ada inspirasi lagi nih," dusta Zeta sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Hooo ... andai saya berbakat kaya Ibu, pasti saya bantu, hehe ...." ucap Lia dengan tertawa menampilkan deretan giginya.

"Sebenarnya bisa saja Li, otodidak pun juga bisa kalau kamu memang mau belajar," ujar Zeta memberikan motivasi pada Lia, namun tampaknya Lia sendiri yang tak berminat dari hati untuk menjadi seorang perancang baju.

"Ah Ndak lah Bu, riweh," ucap Lia, hal itu dibalas oleh gelengan kepala oleh Zeta.

"Halah, alesan aja kamu," timpal Zeta dan dibalas dengan ekspresi Lia yang malu-malu.

Sejenak Zeta bisa melupakan perasaan penatnya saat ini, ia bersyukur masih ada hal-hal yang bisa menguatkan dirinya untuk tetap terus tegar dan kuat.

Jika memang benar Bima bermain api di belakangnya, maka ia harus membulatkan tekadnya untuk berpisah, dan tentu saja dengan mendapatkan hak asuh Aziel.

Dia tak rela jika putranya suatu saat akan tinggal dengan ibu penggantinya, tak akan! dan jangan pernah hal itu terjadi!

****

"Bu Zeta mau jemput Aziel, ya?" tanya Lia saat melihat bosnya keluar dari ruang kerja.

"Iya, satu jam lagi El pulang, dan aku belum masak untuknya. Aku titip butik ya?" pinta Zeta pada karyawan kepercayaannya itu.

"Siap, Bu!" jawab Lia bersemangat.

Jarak antara rumah Zeta dan butik tak terlalu jauh, hanya sekitar 8 menit saja ia telah sampai di sebuah komplek perumahan miliknya dengan mengendarai mobil.

Wanita cantik itu dengan cekatan langsung mengeksekusi bahan masakan yang ada di kulkasnya. Sesuai permintaan sang putra, hari ini ia memasak ayam goreng crispy favorit Aziel.

Sekitar 30 menit, akhirnya selesai sudah tugas memasaknya. Kini ia kembali bersiap untuk menjemput sang putra yang sebentar lagi akan pulang dari sekolahnya.

Meski Zeta memiliki sebuah bisnis, namun ia cukup pintar mengontrol waktunya untuk keluarga. Maka dari itu, Aziel tak pernah kehilangan sosok orang tua meski kedua orang tuanya sama-sama bekerja.

Zeta selalu ada untuk Aziel, dan Bima juga tidak pernah menolak ajakan liburan bersama Aziel. Tak pernah terasa hampa sedikitpun hidup bocah kecil itu.

"Bunda!" panggil Aziel dengan sangat bersemangat.

"Gimana hari mu di sekolah, hmm?" tanya Zeta, pertanyaan yang tak pernah absen Zeta berikan pada sang putra semenjak ia masuk sekolah TK.

"Seru banget Bunda, tadi main ular tangga yang gede gitu, seru pokoknya!" ucap Aziel dengan riang.

"Assalamualaikum calon mama mertua!" sapa Acha.

"Wa'alaikumussalam calon menantu!" jawab Zeta dengan di-iringi gelak tawa.

"Ish ... Bunda, jangan panggil Acha kaya gitu, nanti dia ke Pd an" tukas Aziel dengan sebal.

"Lah? Tante Zeta aja setuju tuh! kok Aziel engga?" protes Acha, gemas sekali gadis kecil itu dengan tingkah dingin Aziel.

Bagi Acha, makin ditolak oleh Aziel, maka makin berdebar jantung kecilnya! pantang menyerah sebelum mendapatkan hati El, dan menjadi kekasih Aziel suatu saat nanti adalah tujuan hidup Acha!

"Enggak lah, Acha kan cerewet, nyebelin, suka ganggu, suka teriak-teriak, su-"

"Hey ... sudah-sudah, kok malah diperpanjang gitu debatnya, El gak boleh kasar gitu sama Acha!" tutur Zeta, hal itu membuat Aziel memanyunkan bibir mungilnya.

"Acha, hari ini mama kamu gak bisa jemput, Mama Sofia minta tante buat jemput kamu juga, ikut tante sama Aziel ya, Sayang? timpal Zeta lagi, tentu Acha tak akan menolak tiket emas itu.

"Oke Tante!" ucap gadis kecil itu dengan semangat 45.

Mereka bertiga memasuki sebuah mobil Honda Accord berwarna putih milik Zeta, rumah Sofia bisa dibilang cukup jauh jaraknya, sekitar 30 menit perjalanan.

Entah kenapa Sofia menyekolahkan anaknya sejauh itu, hingga 20 menit perjalanan anak-anak malah tertidur kelelahan. Zeta tetap fokus pada kemudinya.

Mobilnya terhenti karena lampu merah, bak disambar petir di siang hari hati Zeta saat ini. Netra coklatnya melihat penampakan sang suami dan Melda yang kini tengah satu mobil bersama.

Mobil itu lewat dengan begitu jelasnya, tepat di depan mobil Zeta yang tengah menunggu lampu merah. Genggaman tangannya pada stir mobil terkepal erat hingga urat-urat di tangannya terlihat mengeras.

"Mas Bima?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status