LOGIN“Aku hanya hilang ingatan seperti yang kau bilang, tak perlu berpikir macam-macam,” sangkal Rael. Ia khawatir Tian menyadari bahwa sebenarnya Raka-lah yang kini berada di tubuh Rael. Ia sendiri sudah cukup banyak masalah dan tidak ingin menambah beban lagi, terlebih nasib Tian dan Rael sama-sama sengsara.
Tian menatap tak percaya. Rael terlihat terlalu asing jika hanya dibilang hilang ingatan, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Satu yang pasti, mereka berdua masih berada di ladang penuh penyiksaan itu. “Lalu, kau ada rencana apa untuk bisa mengadukan perbuatan Nyonya pada Raja?” tanya Tian yang menganggap serius perkataan Rael tadi. Meski terkesan tidak mungkin, entah kenapa ia ingin mendengar rencana Rael yang terlihat antusias—jarang sekali Rael bersikap seperti itu. "Apa kau tahu cara untuk kabur?” tanya Rael. Mungkin saja ia bisa pergi setelah berhasil melarikan diri dan menuju istana untuk mengadu. Jika ia terus berada di sana, mana mungkin pihak istana tahu keadaan mereka sekarang. Namun melihat penjagaan yang ketat, ia sendiri tidak yakin bisa keluar karena tak tahu daerah sekitar tempat itu. “Kalau aku tahu, sudah kulakukan dari dulu. Belum ada cara aman sejauh ini,” jelas Tian yang sangat tidak menyarankan untuk kabur dari sana, karena sejauh ini belum ada satu pun yang berhasil melakukannya. Melihat gejala yang dialami Rael, Tian merasa mungkin saja ia akan melakukan ide gila itu. Apalagi tadi Rael hampir saja menyerang pengawal yang sedang bertugas—hal berbahaya yang tampaknya sama sekali tidak ia takuti. “Sulit juga... lalu kalau kita menarik perhatian seperti itu, mereka akan dibawa ke mana?” tanya Rael, melihat keributan yang terjadi antara para pekerja. Seorang pekerja ditarik keluar ladang dengan paksa. “Ladang batu, aku kan sudah bilang kemarin,” jelas Tian. Ia sudah tidak mengerti lagi harus berkata apa; Rael tetap saja sulit memahami posisi mereka saat ini. Hilang ingatan bukanlah masalah bagi Tian. Yang jadi masalah adalah jika Rael sampai membuat keributan, mungkin akan ada banyak orang yang ikut dihukum. Melihat sikap Nyonya rumah yang entah sengaja atau tidak, sebenarnya target utama sang Nyonya adalah menyiksa Rael. “Sulit juga, ya.” Rael diam sejenak, memikirkan cara dan menimbang hal terbaik agar ia tidak dianiaya. Rael terdiam cukup lama. Kata-kata Tian memang benar—kabur sekarang sama saja bunuh diri. Ia memikirkan kembali ucapannya tadi, mencoba menimbang jalan lain. “Kalau begitu, kita harus lebih dulu tahu siapa saja orang kepercayaan Nyonya,” gumamnya pelan. “Kalau ada yang bisa kita dekati, mungkin saja ada jalan untuk menyampaikan kabar keluar.” Tian menghela napas panjang. Ia tahu Rael tidak akan berhenti memikirkan cara. “Kau terlalu gegabah. Orang-orang yang dekat dengan Nyonya justru yang paling berbahaya. Mereka tak akan segan menjual kita demi imbalan.” “Tapi tetap saja harus ada celah,” Rael menekankan. Matanya mengikuti para pekerja yang digiring ke ladang batu. Wajah mereka penuh ketakutan, sebagian sudah tidak pernah kembali. “Aku tak mau hanya menunggu giliran seperti mereka.” “Sudahlah, jangan berbuat macam-macam. Kita selesaikan saja pekerjaan ini,” kata Tian sambil mencangkul tanah kering yang penuh retakan. Setelah itu, ia menebarkan benih begitu saja di atas tanah. Rael menghentikan gerakannya dan menatap bingung. “Apa yang kau lakukan? Itu bukan cara menanam. Tanahnya keras, tidak ada air, dan benih dibiarkan di permukaan begitu saja. Mana mungkin bisa tumbuh?” Tian berhenti sebentar, lalu menoleh dengan wajah datar. “Aku tidak tahu caranya. Semua orang di sini melakukannya seperti ini. Dari dulu kami hanya diperintah mencangkul dan menebar benih. Tidak pernah ada yang mengajari bagaimana menanam dengan benar.” Rael melirik ke sekeliling. Pemandangan yang sama terlihat di seluruh ladang—orang-orang bekerja asal-asalan. Ada yang sekadar menusuk tanah dengan cangkul, lalu melempar benih tanpa peduli. Ada juga yang hanya menebar dari jauh, seperti menaburkan pasir. “Tidak heran hasilnya selalu gagal,” gumam Rael, rasa kesalnya makin memuncak. “Bukan hanya karena tanahnya kering, tapi juga karena kalian semua dipaksa tanpa tahu apa yang kalian lakukan.” Tian terdiam, menunduk pada tanah di depannya. “Kami tidak punya pilihan. Yang penting kami terlihat bekerja. Kalau berhenti atau terlalu lama, cambuk menunggu. Kami tidak tahu cara lain, Rael. Itu saja kenyataannya.” Rael menghela napas berat. Ia merasa kasihan pada orang-orang di sana; mereka tidak mendapatkan keadilan dan hanya menerima pukulan bertubi-tubi yang jelas terlihat sangat menyakitkan. Ia tidak tahu apakah dirinya bisa membantu, tetapi ia sadar keberadaannya di sana pasti memiliki tujuan. Tak mungkin ia merasuki tubuh remaja lemah itu hanya untuk disiksa. “Aku harus melakukan sesuatu,” kata Rael yang tidak bisa diam saja melihat hal sia-sia yang dilakukan orang-orang di sana. Mereka sudah terbiasa dengan hukuman, dan hal itu jelas membuat Rael geram. Rael mendekat, mencoba memberi saran pelan. “Kalau kita gali parit kecil di antara petak, air bisa mengalir lebih rata. Tanah di ujung sana tidak akan kering.” “Apa yang kau bicarakan? Kita akan kena hukuman,” kata Tian, tidak setuju dengan ide Rael. Hal itu jelas akan menarik perhatian para pengawal, dan mereka pasti akan dicambuk jika melakukan kesalahan. “Tenang saja, hasil panen dari ideku ini pasti bagus. Kau tak akan membuang tenaga sia-sia,” kata Rael percaya diri, membuat Tian akhirnya mengikutinya. Ia sendiri merasa penasaran dengan hasil yang akan mereka dapatkan—benarkah akan bagus seperti yang dikatakan Rael, atau malah semakin parah. “Apa yang kalian lakukan?!” bentak seorang pengawal yang berdiri tak jauh dari mereka. Tatapannya tajam, cambuk di tangannya berayun pelan, seolah siap dilecutkan kapan saja.Tatapannya kemudian terpaku pada halaman buku yang masih terbuka. Nama keluarga Rael terpampang jelas. Halim menghela napas panjang.“Sepertinya dia sudah membaca terlalu banyak.”Mak Risa segera menyiapkan ramuan dan obat. Ia mengangkat kepala Rael dengan hati-hati dan menyentuh pipinya yang dingin.“Anak ini keras kepala… tapi aku bisa lihat matanya. Ia menyimpan beban jauh lebih besar dari yang ia akui,” gumam Mak Risa lirih.Halim mengangguk, wajahnya serius.“Kita harus mempercepat rencana itu.”Mak Risa menatap suaminya, cemas. “Kau yakin? Kerajaan sedang diawasi. Jika mereka tahu kita membantu…—”“Kita sudah terlibat sejak kita menolongnya,” jawab Halim mantap. “Dan jika anak ini benar, keluarga kerajaan mungkin menyembunyikan sesuatu yang besar.”Tangan Rael bergerak sedikit, napasnya bergetar. Mak Risa menatapnya lembut.“Kau tak sendiri lagi, Nak. Mulai sekarang, kami akan menjagamu.”Sore menjelang ketika Rael perlahan membuka mata. Pandangannya masih kabur, cahaya matahari
Halim menghela napas panjang sambil menggeleng pelan. Ia tahu Rael bukan tipe yang diam dan patuh begitu saja.Mak Risa yang memperhatikan interaksi mereka hanya tersenyum samar. Sebelum ahirnya mereka berdua berangkat Bersama ke istana, jarak yang di tempuh tidak jauh dengan menggunakan kuda, di rumah mereka juga hanya ada satu pelayan yang kadang datang kadang pula tidak, mereka tak mau memiliki banyak pekerja karena hal itu merepotkan. “Kau sebaiknya berhati-hati, Halim,” ucapnya lembut, kemudian berhenti sejenak, sebelum akhirnya dilanjukan, “Anak itu… pikirannya jauh lebih cepat dari usia tubuhnya.” “Justru itu yang membuatku khawatir,” jawabnya yang tidak terlalu khawatir.Rael mengamati pintu yang tertutup. Kesempatan kini berada di tangannya. Dengan semangat yang kembali menyala, ia mulai mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.Baiklah, saatnya mencari tahu siapa sebenarnya keluarga yang menampungku… dan seberapa dalam kekuatan mereka bisa membawaku ke Kerajaan itu.Rael
“Aku ingin ke Kerajaan.”Halim sontak menoleh, seolah baru saja mendengar sesuatu yang mustahil. Ia mengira Rael tidak akan tertarik dengan Raja yang terkenal kejam, namun ternyata dugaan itu jauh meleset.“Kau ingin ke Kerajaan?” ulang Halim, memastikan. “Lalu apa yang akan kau lakukan di sana?”“Mengacau,” jawab Rael serius tanpa berkedip. Namun beberapa detik kemudian ia tergelak kecil, seakan ia sendiri tahu betapa gila kedengarannya. “Ayolah, Paman. Kau tahu aku disiksa. Tentu saja aku akan mengadu.”“Tapi apa kau yakin Raja akan percaya?” Halim mengerutkan alis, ragu.“Jelas Raja tidak akan percaya padaku,” balas Rael lugas. “Tapi aku akan urus itu nanti.”“Sepertinya kau tidak yakin,” Halim menimpali, mencoba membaca wajah Rael.“Tentu saja,” Rael mengangguk pelan, jujur pada ketidakpastiannya sendiri. “Karena aku belum pernah melihat Raja dan belum memahami sistem kerajaan. Jika diibaratkan berperang tanpa tahu medan… itu hanya akan membunuhku.”Halim tertegun, lalu tertawa pu
Pagi hari itu, Rael terbangun. Tubuhnya terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meski masih ada sedikit nyeri di beberapa bagian. Ia menatap langit-langit ruangan yang asing, lalu menggerakkan kepala perlahan untuk melihat sekeliling.Ruang itu sederhana—hanya sebuah dipan kayu, meja kecil dengan beberapa ramuan, dan jendela yang membiarkan sinar matahari masuk lembut. Dari aroma kayu dan suara ayam berkokok di luar, Rael tahu ia berada di rumah salah satu penduduk desa.“Syukurlah kau sadar…”Mak Risa muncul di ambang pintu sambil membawa mangkuk berisi air hangat. Senyum lega terpancar di wajahnya. “Bagaimana perasaanmu, Nak?”Rael mencoba duduk, meski sedikit goyah. “Lebih baik… dari semalam.”“Jangan memaksakan diri dulu,” ujar Mak Risa menahan bahunya pelan. “Kau masih perlu banyak istirahat.”Tak lama kemudian, Halim menyusul masuk. Wajahnya yang semalam penuh kecemasan kini tampak tenang. “Kau membuat kami khawatir, Rael. Kami menemukanku di hutan dalam keadaan pingsan.”“Apa
Mak Risa berjalan pelan mendekati suaminya yang masih duduk di sisi ranjang. Ia bisa melihat jelas kegelisahan di wajah Halim—alis yang berkerut dan tangan yang tak henti mengepal.“Kenapa kau terlihat begitu resah?” tanya Mak Risa perlahan, duduk di sebelahnya. “Apakah ada informasi penting yang kau dapat hari ini?”Halim menghela napas panjang, seolah menimbang apakah ia harus mengatakannya atau tidak. Namun pada akhirnya ia menatap istrinya dengan sungguh-sungguh.“Iya… aku mendapati keluarga itu benar-benar mencurigakan,” ucapnya lirih namun tegas. “Banyak hal yang mereka sembunyikan. Mulai dari ladang yang sengaja dibakar hingga bau kimia yang menguar di bekas gudang.”Mak Risa terpana. Jemarinya yang tadi ia letakkan di pangkuan kini saling menggenggam lebih erat.“Tapi…” Halim memalingkan wajahnya, suara berat menahan kekesalan, “raja sudah percaya sepenuhnya pada keluarga Devan. Mereka sudah lama menyumbang hasil panen dan membantu kerajaan. Sulit bagiku mengungkapkan kecurigaa
Cukup lama Halim berada di sana sehingga ia mulai menyadari sesuatu. Ada bau bahan kimia yang menusuk hidungnya, meninggalkan kecurigaan bahwa ada hal yang sengaja ditutupi. Namun, ia memilih mundur untuk sementara.“Baiklah, aku tidak akan ke sana,” ujarnya, pura-pura menurut sebelum melangkah menuju bagian lain dari area yang terbakar.Ia memeriksa ladang yang juga hangus dilalap api. Kali ini, aromanya berbeda—jelas, bau minyak tanah tercium kuat di setiap sudut. Halim mengernyit, tubuhnya menegang oleh dugaan yang semakin mendekati kebenaran.Apakah ladang ini sengaja dibakar? pikirnya. Kenapa bau minyak tanah ada di mana-mana?Ia melirik pekerja-pekerja yang sibuk merapikan puing. Tatapan mereka kosong, menyiratkan tekanan besar yang tak terlihat. Bertanya pada mereka hanya akan memancing jawaban yang sama: pura-pura tidak tahu.Halim menarik napas panjang.“Kalau aku bertanya pada mereka, tak akan ada yang berani bicara,” gumamnya pelan. “Sebaiknya aku tunggu Rael siuman. Mungki







