Dunia Alina seolah terbelah menjadi dua.
Dunia di atas meja, dan dunia di bawah meja. Di atas meja, semuanya berjalan dengan kepura-puraan yang sopan. Revan, dengan sikap seorang tuan rumah yang sempurna, mengarahkan pelayan untuk menuangkan anggur. Leo, dengan senyum predatornya, mulai melontarkan serangan-serangan verbal pertamanya, yang dibungkus dengan kalimat-kalimat manis. "Jadi, Revan," kata Leo, sambil memutar-mutar gelas anggurnya. "Aku cukup kaget waktu dengar kau yang mengakuisisi proyek Bintan ini. Dan lebih kaget lagi waktu tahu kau menggandeng firma... siapa tadi namanya?" Ia sengaja berhenti, melirik Alina dengan tatapan merendahkan. "Ah, ya. Cipta Ruang Estetika." "Bukan pilihan yang biasa untuk pemain sebesar Adhitama Corp," lanjutnya. Revan hanya tersenyum tipis. "Aku suka mengambil risiko pada talenta yang punya potensi." 'Potensi, ya?' balas Leo, matanya kini tertuju lurus pada Alina. 'Aku ingat sekali potensi Alina. Desain-desainnya selalu indah, sangat puitis. Seperti konsep shelter apung untuk korban banjir itu, kan? Ide yang sangat mulia, tapi sayangnya melupakan satu detail kecil: biaya.' Sebuah tamparan yang halus, tapi terasa begitu keras di pipi Alina. Ia membuka mulut, ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa idealismenya adalah kekuatannya. Tapi saat itulah, dunia di bawah meja dimulai. Alina merasakan sesuatu yang hangat dan kokoh tiba-tiba menyentuh lututnya. Ia tersentak kaget, tubuhnya menegang seketika. Sebuah sengatan listrik yang aneh menjalar dari titik sentuhan itu, naik ke perutnya, dan membuat napasnya tercekat sesaat. Itu tangan Revan. Sentuhan itu bukan sebuah usapan lembut. Bukan juga sebuah kecelakaan yang tak disengaja. Ini adalah sebuah penekanan yang tegas. Jari-jari Revan mencengkeram lututnya dengan posesif, seolah sedang memegang sebuah properti berharga. Sebuah sinyal. Tapi sinyal untuk apa? Tenang? Jangan berbuat bodoh? Aku di sini? Atau... dia milikku? Otak Alina menjadi kosong. Semua argumen cerdas yang sudah ia siapkan untuk melawan Leo lenyap begitu saja, tergantikan oleh sensasi aneh dari sentuhan tangan pria itu. "Kau diam saja, Alina?" tanya Leo lagi, menikmati kebingungan di wajah Alina. "Biasanya kau yang paling vokal kalau sudah bicara soal desain." Alina menelan ludah, mencoba menemukan suaranya. "Aku... sedang mendengarkan sudut pandang dari seorang 'senior'," jawabnya, mencoba menyisipkan sedikit sarkasme, meski suaranya terdengar sedikit bergetar. Sisa makan malam itu menjadi sebuah siksaan yang aneh. Di atas meja, perang sindiran terus berlanjut. Leo terus mencoba memojokkan Alina, dan Revan sesekali menangkisnya dengan jawaban-jawaban formal yang dingin. Tapi Alina melihatnya—saat Leo menyebut kata 'idealis', mata Revan menyipit sepersekian detik. Sebuah kilat tatapan yang tidak akan disadari oleh siapa pun, kecuali oleh orang yang duduk tepat di sebelahnya. Tapi di bawah meja, ada perang lain yang sedang terjadi. Tangan Revan tidak pernah lepas dari lututnya. Kadang, ibu jarinya bergerak pelan, seolah sedang menguji reaksinya. Setiap kali Alina merasa akan kehilangan kontrol, cengkeraman tangan itu sedikit mengencang, seolah menjadi jangkar yang menahannya agar tidak hanyut dalam amarah. Ini gila. Ini benar-benar gila. Bagaimana bisa sebuah sentuhan yang begitu mengontrol, di saat yang bersamaan juga terasa seperti sebuah dukungan yang aneh? Setelah makan malam yang terasa seperti berlangsung selamanya itu selesai, mereka akhirnya kembali ke kamar hotel. Perjalanan di dalam lift terasa begitu sunyi dan menyesakkan. Begitu pintu suite tertutup di belakang mereka, keheningan di dalam ruangan terasa seratus kali lebih menyesakkan. Alina melempar tas tangannya ke atas sofa, suaranya terdengar keras di tengah kesunyian itu. Ia butuh suara, apa pun, untuk memecah ketegangan ini sebelum ia meledak. Baru setelah itu, ia berbalik... Ia berbalik, menatap Revan dengan napas yang memburu. Semua emosi yang ia tahan di meja makan tadi kini meledak. "Apa maksudmu dengan tanganmu tadi?!" tanyanya, suaranya terdengar lebih keras dari yang ia duga. Revan menatapnya dengan tenang. Ia berjalan santai menuju lemari, melepas dasinya dengan satu gerakan luwes, seolah pertanyaan Alina adalah gangguan kecil yang tidak penting. "Maksudku?" ulangnya, tanpa menoleh. 'Aku hanya memastikan 'aset'-ku tidak goyah saat bertemu kompetitor.' Ia berhenti sejenak, melipat dasi yang baru saja ia lepas dengan rapi, dan meletakkannya di atas meja—sebuah gerakan yang tenang, seolah sedang merapikan masalah kecil. Baru setelah itu ia menoleh ke arah Alina, matanya yang dingin menatap lurus ke dalam jiwa Alina. 'Aku tidak suka investasi yang labil.'Dan begitulah akhir dari drama babak pertama.Satu bantingan pintu yang keras.Setelah itu? Hening. Tapi ini bukan hening yang biasa. Ini adalah hening yang punya bobot, yang terasa menekan bahu, yang membuat udara di dalam suite mewah itu terasa sulit untuk dihirup.Alina masih berdiri mematung di balik pintu kamarnya, tangannya yang gemetar masih mencengkeram gagang pintu. Jantungnya berdebar begitu kencang, memompa campuran antara rasa takut dan adrenalin ke seluruh tubuhnya.Ia mendengar langkah kaki Revan yang menjauh dari pintu utama, lalu berhenti.Dengan napas yang tertahan, Alina memberanikan diri. Ia membuka pelan pintu kamarnya.Revan berdiri di tengah ruangan, memunggunginya. Bahunya terlihat tegang.Saat pria itu berbalik, tatapan mereka bertemu.Dan di sanalah Alina melihatnya. Wajahnya yang pucat, tangannya yang sedikit gemetar. Revan, yang seolah bisa membaca setiap detail kecil, pasti menyadari bahwa pertahanannya telah runtuh.Alina sudah siap untuk apa pun. Siap
Perjalanan kembali ke suite hotel di dalam lift terasa begitu berbeda.Jika tadi pagi lift ini terasa seperti sebuah kotak sempit yang menyesakkan, kini lift yang sama terasa seperti podium kemenangan yang sunyi.Alina tidak berkata apa-apa. Revan pun diam.Tapi keheningan di antara mereka tidak lagi canggung. Ada sebuah pemahaman baru yang menggantung di udara. Sebuah pengakuan tanpa kata bahwa mereka baru saja melewati sebuah pertempuran bersama.Dan mereka menang.Begitu pintu suite tertutup di belakang mereka, Alina akhirnya bisa bernapas dengan lega. Adrenalin yang sejak tadi membuatnya berdiri tegak kini mulai surut, meninggalkan perasaan lelah yang memuaskan.Ia melepaskan sepatunya yang berhak tinggi dan berjalan ke arah jendela, menatap lampu kota Singapura yang kini terasa lebih ramah."Kerja bagus," sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan.Alina menoleh.Revan berdiri di
Boardroom itu terasa dingin, bukan hanya karena pendingin ruangan yang disetel rendah, tapi juga karena atmosfer di dalamnya.Di satu sisi meja panjang yang mengilap, duduklah Leo Santoso, dengan senyum percaya diri yang seolah sudah memenangkan pertempuran bahkan sebelum dimulai.Di sisi lain, duduklah Alina. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia memaksakan punggungnya untuk tetap tegak. Di sampingnya, Revan duduk dengan tenang, wajahnya adalah topeng netralitas yang sempurna. Ia benar-benar memposisikan diri sebagai klien, sebagai juri.Selain mereka bertiga, ada dua orang lain di ruangan itu. Dua investor dari Singapura yang mewakili pihak penanam modal.Yang pertama adalah Mr. Chen, seorang pria paruh baya dengan pembawaan tenang dan tatapan mata yang bijak.Yang kedua adalah Ms. Yuo, seorang wanita muda yang terlihat sangat cerdas dan kritis, dengan kacamata berbingkai tipis dan tatapan yang seolah bisa memindai setiap kebohongan."Baik, terima kasih atas kehadirannya," Revan mem
Alina tidak bisa tidur nyenyak.Pikirannya terlalu pusing, terjebak di antara bayang-bayang Revan yang berbaring di sofa dan tulisan tangan di atas sticky note kuning itu.Pelajari musuhmu.Saat fajar pertama kali menyingsing di ufuk Singapura, Alina sudah duduk di sofa yang sama tempat Revan tidur semalam. Map tebal berwarna cokelat itu terbuka di atas pangkuannya.Ia membacanya.Bukan hanya membaca, tapi menelannya bulat-bulat.Ini bukan sekadar portofolio. Ini adalah sebuah pembedahan total terhadap Leo Santoso.Di dalamnya ada semua proyek yang pernah Leo tangani, lengkap dengan foto-foto indah, data bujet, dan daftar klien. Tapi bukan itu yang membuat Alina terpaku.Di antara data-data yang berkilauan itu, terselip analisis mendalam yang jelas-jelas bukan buatan Leo. Ada catatan-catatan kecil di pinggir halaman, ditulis dengan pulpen tinta hitam.Analisis tentang pilihan material Leo yang cenderung murah tapi dibungkus dengan fasad yang mewah. Analisis tentang bagaimana ia serin
Kalimat itu menggantung di udara, terasa penuh makna."...itu juga yang membuatnya tak ternilai."Setelah itu, keheningan mengambil alih. Tapi ini bukan keheningan yang dingin atau canggung. Ini adalah keheningan yang terasa rapuh, seolah sebuah gelas kristal baru saja diletakkan di tepian meja, dan keduanya menahan napas, takut jika satu gerakan yang salah akan membuatnya jatuh dan pecah berkeping-keping.Revan adalah orang pertama yang memecah kontak mata.Ia berdeham pelan, sebuah suara kecil yang terdengar begitu keras di tengah kesunyian. Lalu, ia berbalik dan berjalan ke arah jendela kaca yang besar, memunggungi Alina.Ia menatap kerlip lampu kota Singapura di bawah sana. Sebuah cara untuk membangun kembali dindingnya yang baru saja retak.Alina hanya bisa diam, mengamati punggung pria itu. Punggung yang selalu terlihat tegap dan kokoh, tapi entah kenapa, saat ini terlihat sedikit... berbeda.Apa aku sudah melangkah terlalu jauh?Pikiran itu melintas di benak Alina.Apa aku bar
Revan berdiri menjulang di hadapannya, tatapannya menuntut, tidak memberikan ruang untuk alasan."Tunjukkan padaku strategimu."Udara di dalam suite mewah itu terasa menipis. Ini adalah momen penentuan. Momen di mana Alina harus membuktikan bahwa klausul yang ia perjuangkan mati-matian semalam bukan hanya gertakan sambal.Alina menarik napas dalam-dalam.Ia menatap tumpukan coretan dan diagram di buku sketsanya. Data, studi kasus, analisis kompetitor. Semua ada di sana. Ia bisa saja menyajikan argumen yang sangat teknis, sangat logis, sangat… Revan.Tapi ia tahu, itu adalah permainan yang tidak akan pernah bisa ia menangkan. Melawan Revan dengan logika adalah seperti mencoba memadamkan api dengan bensin.Maka, ia melakukan sesuatu yang tidak terduga.Ia menutup buku sketsanya. Dengan satu gerakan pelan yang terasa begitu final.Revan mengangkat sebelah alisnya. Sebuah gestur kecil yang menunjukkan ketertarikan.Alina bangkit berdiri, menyejajarkan tatapan matanya dengan pria itu."Str