“Liam, angkat teleponnya, cepat,” Dengan jengkel berguman. Suaranya terdengar agak mendesak dari dalam mushola, sambil mengusap wajahnya yang masih basah karena wudhu.Keya yang sedang duduk di dekat sofa, melirik layar ponsel suaminya. “Kak, Arfan telepon. Mau aku angkatin?”Liam yang masih meringkuk di kursi malas, selimut tipis melingkari pinggangnya, menggumam manja. “Nanti aja… kamu dulu yang ngobrol, aku masih males gerak.”Keya menghela napas, lalu menekan tombol terima. “Halo, Fan?”“Oh, Keya. Liam ada?” tanya Arfan cepat.“Sebentar, aku kasih ke dia.” Keya menyodorkan ponsel, tapi Liam malah menarik tangan Keya, memeluknya dari samping. “Ngapain buru-buru, Yang? Kamu kan baru duduk di sini. Temenin aku sebentar,” ujarnya sambil menempelkan dagu ke bahu istrinya. "Sini, cium aku duluh, baru aku bangun."“Kak, itu Arfan…” Keya mencoba memprotes, tapi Liam memejamkan mata. “Hmm… tapi peluk kamu lebih penting dari suara Arfan,” gumamnya.Arfan yang mendengar jelas dari seberang,
"Tapi ini bintang lima, Angga!" ucap Dania saat Angga sudah membelokkan mobilnya dan tak mungkin berbalik arah mengingat di jalan itu hanya ada jalur satu arah. Untuk memutar lagi amatlah jauh.Angga baru nyadar setelah mendengar ucapan Dania. Namun karena keinginnya yang sudah di ubun-ubun, dia tak menghiraukannya. "Hanya sebentar," gumannya pelan.Dania menatap Angga, bibirnya terkatup, tapi matanya tak bisa menyembunyikan senyum kecil. "Sebentar itu... maksudnya bayarnya nggak sama, Angga? Sama kan?"Angga melirik ke papan nama hotel bintang lima yang menyala di depannya. "Nggak usah basa-basi. Yang pasti aku udah kangen sama itu kamu."Dania mengangkat dagu sedikit, "Kangen apa?""Tanganmu, matamu, semuanya," jawab Angga tanpa ragu. "Termasuk rasanya saat kamu di pelukanku."Dania tidak menjawab. Tapi tubuhnya yang sejak tadi menempel di lengan Angga terasa hangat. Getaran itu memancing napasnya menjadi lebih cepat. Ia menunduk sedikit, lalu tersenyum kecil. "Kalau aku bilang te
"Kenapa kamu tiba-tiba saja berhenti, Angga?" tanya Dania bingung. "Kalau aku mau ngajak ke suat tempat gitu, mau?""Maksudnya?""Hmm, aku mau ajak kamu ketemu orangtuaku," ucap Angga sambil melirik sekilas.Dania spontan menoleh. "Serius? Kok tiba-tiba? Katanya tadi mau ngajak ke resort?" kerling Dania yang juga haus akan sentuhan Angga itu, sedikit kecewa tapi juga senang.Angga tersenyum tipis. "Ya nggak apa-apa. Biar kamu kenal mereka. Lagian aku juga pengin kenalin kamu dari kapan hari kan?""Iya, kamu pernah bilang kapan hari."Mobil berbelok ke sebuah jalan yang agak sepi. Ruko-ruko tua berjejer, beberapa catnya mengelupas, beberapa pintunya setengah terbuka menampakkan isi toko. Angga menghentikan mobil di depan bangunan dua lantai dengan bagian bawah penuh tumpukan besi tua, roda bekas, dan suara dentingan logam dari dalam."Itu usaha orangtuaku," jelas Angga sambil membuka pintu mobil. "Lantai atas buat tinggal."Dania menatap sebentar. "Kamu nggak pernah cerita kalau kelua
"Kok bisa kamu ke sini?" tanya Angga saat melihat sosok Dania berdiri di depan koridor tokonya.Dania menatap pria itu sambil tersenyum tipis, wajahnya seperti sedang menahan sesuatu. "Ya... iseng aja. Sekalian mau kasih kejutan ke kamu."Angga melirik ke arah kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang terlalu dekat. "Sendirian?""Iya."Angga mengangguk pelan, tapi matanya tetap menyapu wajah Dania. "Tiba-tiba aja datang. Ada perlu apa, Dan?"Dania mengangkat bahu, seolah santai. "Cuma pingin lihat aja. Sepertinya anakku kangen sama papanya." Ia sengaja melontarkan candaan itu sambil menatap tajam, membuat Angga sempat terdiam.Sejak pagi, Dania memang sudah memutari beberapa stan di sekitar toko Angga. Dia bertanya-tanya pada penjual di sebelah kiri-kanan, bahkan sampai yang di ujung lorong. Jawaban mereka sama: Angga orangnya baik, jarang ikut campur urusan orang, dan selalu membantu kalau ada tetangga stan yang kesulitan.Soal perempuan, semua menggeleng. "Nggak pernah lihat d
Keya menguap panjang sambil mengikat rambutnya. Aroma roti dari meja makan masih tersisa, tapi perutnya minta yang lebih berat. Langkahnya menuju dapur terasa ringan meski kantuk belum sepenuhnya hilang.“Bi, sudahmasak belum?” tanyanya sambil membuka kulkas.Bi Ira menoleh dari wastafel. “Sudah, Non. Tapi… tadi ponsel Mas Liam bunyi-bunyi terus. Namanya Arfan yang nelpon. Biarin atau Non mau kasih tahu?”Keya refleks menutup pintu kulkas. “Arfan?” Suaranya terdengar sedikit tegang. “Mana ponselnya?”Bi Ira menunjuk meja kerja di ruang belakang. Keya segera menghampiri, meraih ponsel itu, lalu menekan ikon panggilan balik.Nada tunggu hanya terdengar sebentar, lalu mati. Ia mencoba lagi. Sama saja.“Kenapa nggak diangkat sih…” gumamnya sambil mengetuk jari ke meja.Sementara itu, di tempat lain, Arfan masih berdiri depan pagar rumah Najla. Ponselnya tertinggal di mobil, tergeletak di kursi depan. Ia tak sadar seseorang berusaha menghubunginya.Neina menatapnya dengan sorot mata penuh
Pagi itu“Aduh, Kak… Kak! Lepasin dulu… aku mau ke dapur!” teriak Keya setengah tertawa, setengah kesal, ketika tubuh tingginya Liam melingkari pinggangnya dari belakang.Liam justru menempelkan dagu ke puncak kepalanya. “Enggak mau. Kamu masih hangat, enak dipeluk.”Keya mencoba memutar badannya, tapi pelukan itu terlalu erat. “Badan kamu kayak raksasa! Aku nggak bisa napas. Lepasin!"“Bukan aku yang terlalu besar, kamu aja yang terlalu mungil,” jawab Liam sambil menyunggingkan senyum malas, matanya setengah terpejam. Selain karena ngantuk, hatinya teramat berbunga mendengar apa yang diucapkan Keya semalam.Keya mendongak, melihat mata itu nyaris tertutup. “Kamu ngantuk banget, ya?”“Ya iyalah. Semalaman jagain Sheryn, terus kamu juga tidur duluan. Giliran sekarang aku mau ganti shift, malah kamu mau pergi.”"La, kamu kan bisa tidur nyenyak walau nggak ada aku, Kak.""Pokoknya ngak mau kalau kamu ngak temenin.""Aku lapar, nih."Liam meraih toples di meja roti yang selalu siap untuk K