ホーム / Rumah Tangga / Balas Dendam Seorang Istri / Bab 6 – Ruang yang Tak Lagi Sama

共有

Bab 6 – Ruang yang Tak Lagi Sama

作者: faafa
last update 最終更新日: 2025-05-27 19:57:29

Langit sore menggantung kelabu di balik jendela kaca gedung tinggi tempat proyek besar itu dijalankan. Ruang rapat kini sudah kosong, hanya tersisa satu sosok wanita yang masih duduk diam menatap layar laptopnya—Nayla.

Tangannya bergerak pelan, memencet huruf demi huruf di keyboard, namun pikirannya justru melayang ke wajah seseorang yang tadi duduk tak jauh darinya. Wajah yang dulu ia kenal sangat dekat. Wajah yang dulu bisa membuatnya tersenyum dalam hening, dan kini hanya menghadirkan gelombang sunyi yang membakar dari dalam.

“Reyhan…”

Ia menyebut nama itu dalam hati, bukan dengan rindu, tapi dengan rasa yang jauh lebih dingin. Seperti menyebut nama seseorang yang pernah tinggal dalam hidupnya, lalu diusir tanpa ampun.

Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang entah kenapa selalu berdetak lebih kencang setiap kali pria itu hadir dalam ruang yang sama. Bukan karena cinta yang masih tertinggal. Tidak. Ini bukan cinta. Ini luka yang belum sepenuhnya sembuh, tapi tidak juga berdarah lagi.

Beberapa hari terakhir, Nayla tahu benar bagaimana Reyhan terus mencuri pandang padanya. Diam-diam mengamati, seolah ingin bicara, tapi tak mampu. Dan ia tahu, Reyhan mulai menyadari bahwa wanita di hadapannya kini bukan Nayla yang dulu. Ia bukan lagi perempuan yang rela dilukai demi mempertahankan hubungan. Ia telah berubah. Dan Reyhan mulai gentar dengan perubahan itu.

“Sudah pulang?”

Suara wanita dari arah pintu menyadarkan Nayla. Salah satu staf proyek menyapanya sebelum pamit.

Nayla mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, sebentar lagi.”

Setelah ruangan benar-benar sepi, Nayla menutup laptopnya. Ia berdiri dan berjalan pelan menuju jendela, memandangi kota yang dulu menjadi saksi hancurnya hidupnya. Tapi kini, kota itu menyaksikan kelahirannya kembali.

Kilasan-kilasan malam penuh tangis, panggilan tak terjawab, dan janji-janji manis Reyhan yang tak pernah ditepati berkelebat di benaknya. Dulu ia memohon, memaksa diri untuk mengerti, mengemis cinta yang mulai memudar. Tapi pada akhirnya, ia ditinggalkan. Diganti bagaikan barang sekali pakai.

“Rania menang saat itu.”

Nayla berbisik lirih pada dirinya sendiri.

“Tapi sekarang, aku tidak sedang bertanding lagi. Aku tidak butuh menang. Aku hanya ingin bebas.”

Ia membuka ponselnya dan membaca ulang pesan dari klien baru yang tertarik bekerja sama dengannya di luar proyek ini. Peluang baru. Jalan baru. Bukti bahwa hidup tidak berhenti hanya karena seseorang berhenti mencintai.

Saat Nayla melangkah keluar dari ruangan, ia tak tahu bahwa dari ujung koridor yang gelap, sepasang mata memperhatikannya. Reyhan berdiri dalam bayang, tak bergerak. Menyaksikan Nayla pergi tanpa melihat ke arahnya, tanpa melirik sedikit pun. Seolah keberadaannya sudah tak berarti.

Dan entah kenapa, rasa itu menyakitkan. Lebih menyakitkan daripada saat ia memutuskan meninggalkan Nayla dulu.

* * *

Langkah Nayla menyusuri lorong gedung terasa mantap. Sepasang heels-nya memantul di lantai marmer, ritmenya tenang tapi berisi. Di balik tiap langkahnya, ia menyusun ulang dirinya sendiri—potongan-potongan hati yang pernah hancur kini telah membentuk sosok yang tak lagi mudah goyah.

Namun, saat melewati lorong tempat ruang administrasi berada, sesuatu di dalam dirinya terhenti. Di dinding sebelah kanan, masih terpajang foto dokumentasi kerja sama perusahaan—salah satunya adalah foto proyek besar dua tahun lalu. Nayla masih mengenakan blazer putih dalam foto itu, berdiri di samping Reyhan. Wajahnya tersenyum, penuh semangat. Dan Reyhan... menatapnya seperti dunia hanya ada mereka berdua.

Nayla terdiam beberapa detik. Waktu seolah berhenti.

Ia menatap dirinya di foto itu. Betapa polosnya ia dulu. Betapa yakinnya ia bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya. Tapi pada akhirnya, yang kalah adalah dirinya sendiri.

Perlahan, Nayla menunduk dan melanjutkan langkah. Ia tahu, ia tidak perlu membenci foto itu. Ia tidak perlu membenci masa lalu. Ia hanya perlu mengingatnya... agar tak terjebak di luka yang sama.

Sesampainya di basement parkiran, Nayla membuka pintu mobilnya dan duduk tanpa langsung menyalakan mesin. Malam mulai turun, dan sinar lampu parkiran memantulkan bayangan samar di kaca mobilnya.

Di sinilah semuanya dimulai kembali—di kota ini, di proyek ini, di hadapan pria yang pernah menghancurkannya dan sekarang tampaknya mulai dihantui oleh keputusannya sendiri.

Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

"Kamu terlihat berbeda, Nay. Tapi tetap... kamu yang paling sulit aku pahami."

Nayla menatap pesan itu lama. Hening. Tidak ada nama pengirim, tapi ia tahu siapa yang mengirimkannya.

Tangannya menggenggam ponsel lebih erat, tapi ia tak membalas. Tak akan.

“Sudah terlambat untuk memahamiku, Reyhan.”

Suaranya nyaris tak terdengar, seperti desah angin yang menyelinap di antara reretakan hati yang telah lama beku.

Ia menyalakan mobil, lalu melaju perlahan keluar dari basement. Meninggalkan gedung, meninggalkan bayang masa lalu. Tapi tidak dengan luka yang masih bernafas dalam diam.

* * *

Cahaya kota berkelebat di kaca mobil, menciptakan bayangan-bayangan bergerak di wajah Nayla. Tangan kirinya menggenggam kemudi dengan mantap, sementara tangan kanannya sesekali melonggarkan genggaman di pangkuan. Radio menyala, mengalun pelan lagu yang familiar—dan justru itu yang membuat napas Nayla tertahan sejenak.

Lagu itu...

Ia masih ingat. Malam itu hujan turun deras, ia berdiri di luar apartemen Reyhan, tubuhnya menggigil tak hanya karena dingin, tapi juga karena perasaan tak menentu yang menggumpal di dadanya.

"Aku cuma mau kita bicara, Rey."

"Sekarang bukan waktunya, Nayla. Jangan buat ini jadi rumit."

"Apa aku terlalu rumit hanya karena aku ingin kepastian dari hubungan kita?"

"Aku lelah, Nayla. Mungkin... ini memang sudah waktunya."

Kalimat itu. Patahannya. Tatapan kosong Reyhan. Dan suara pintu yang ditutup pelan tanpa penjelasan. Tanpa alasan. Tanpa perpisahan yang layak.

Malam itu adalah malam di mana Nayla berhenti menjadi dirinya yang lama. Malam di mana ia memilih untuk mencintai dirinya sendiri karena tak ada lagi yang sudi melakukannya.

Mobilnya berhenti di lampu merah. Dari kursi pengemudi, matanya kembali memandang ke luar, menatap pejalan kaki yang lalu-lalang di trotoar, dunia yang tetap berjalan seolah tak pernah tahu bahwa hatinya pernah ambruk di titik yang sangat gelap.

Kini ia telah kembali. Bukan untuk mengulang kisah. Bukan untuk meminta penjelasan. Tapi untuk menjadi saksi bahwa ia tak lagi menjadi korban dari kisah cinta yang setengah jalan.

Lampu hijau menyala. Mobilnya melaju lagi.

Dalam diam, Nayla berbicara pada dirinya sendiri.

"Dulu aku mencintaimu dengan seluruh jiwa, Reyhan. Tapi sekarang, aku mencintai diriku lebih dari siapa pun."

Dan untuk pertama kalinya malam itu, sebuah senyum kecil mengembang di wajah Nayla. Bukan senyum yang penuh kemenangan, tapi senyum yang tulus—karena akhirnya, luka itu tak lagi membuatnya takut untuk berjalan maju.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Balas Dendam Seorang Istri    46 – Api dalam Sekam

    Langit sore terlihat kelabu ketika Reyhan memarkir mobilnya di pelataran rumah sakit. Suasana di luar tenang, tapi pikirannya justru sebaliknya. Selama dua hari terakhir, firasat buruk terus mengusiknya. Bukan tentang Nayla, tapi tentang sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya. Atau mungkin... tentang seseorang.Ia menuruni tangga menuju taman belakang tempat biasa Nayla duduk saat istirahat. Namun kali ini, tak ada sosok wanita itu di sana. Hanya bangku kosong dan sehelai dedaunan kering yang tertiup angin. Reyhan menarik napas, lalu duduk di ujung bangku. Pikirannya kembali ke kata-kata Pak Firdaus beberapa hari lalu:“Ada seseorang dari masa lalu Anda yang sebaiknya Anda waspadai. Orang itu tidak menginginkan Anda bahagia... dan dia mengenal Anda lebih dari siapa pun.”Awalnya, Reyhan mengira itu hanya peringatan paranoia. Tapi kini, setiap detail mulai terasa masuk akal. Rania perempuan yang selama ini tampak tenang dan tak tergoyahkan—tiba-tiba berubah. Terlalu tenang. Terla

  • Balas Dendam Seorang Istri    Bab 45 – Di Balik Senyuman Rania

    Heningnya pagi di rumah Reyhan seolah tak mampu menenangkan kegaduhan dalam diri Rania. Ia berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya perlahan. Wajahnya tampak tenang, bahkan nyaris lembut, tapi mata itu… mata yang menatap dirinya sendiri, penuh dengan luka lama yang belum sembuh.Di balik semua gaun mahal dan gelar istri dari seorang Reyhan Pratama, ada jiwa yang remuk namun memaksa diri terlihat utuh.Rania tak tidur semalaman. Setelah mendengar suara langkah Reyhan di ruang kerja, dia sengaja mendekat. Bukan untuk mengintiptapi memastikan sesuatu: bahwa Reyhan sedang mencari tahu. Dan benar saja, nada suara Reyhan yang pura-pura tenang itu tak bisa menipunya. Ia tahu, malam itu adalah awal dari titik balik permainan.Sambil mengenakan anting, Rania membuka laci kecil di meja riasnya. Ia mengeluarkan sebuah flashdisk, benda kecil yang menjadi saksi bisu dari tahun-tahun yang ia habiskan bukan sebagai istri, tapi sebagai alat. Alat untuk menutupi rahasia Reyhan. Alat untuk menjaga c

  • Balas Dendam Seorang Istri    Bab 44 – Kabut di Balik Cermin

    Reyhan menatap bayangannya sendiri di cermin. Matanya merah, bukan karena tangis, tapi karena malam-malam tanpa tidur. Akhir-akhir ini, ia merasa semua orang mengawasinya dari rekan kerja, supir pribadi, bahkan sekretaris yang dulu selalu ia abaikan. Ketika ia masuk ke ruang kerja pagi itu, sesuatu terasa… berbeda. Dokumen di mejanya tersusun rapi, tapi terlalu rapi. Bolpoin kesayangannya yang biasanya ia taruh sembarangan di laci hilang. Dan yang paling membuatnya menggigil: satu berkas transaksi penting ia temukan terbuka, seolah seseorang dengan sengaja ingin ia sadar bahwa mereka tahu apa yang ia sembunyikan. "Ini tidak mungkin kebetulan," gumamnya. Reyhan membuka laci tersembunyi di balik rak buku. Di dalamnya, ada dua flashdisk satu berisi dokumen asli tentang pencucian uang yang ia lakukan dengan investor luar negeri, satu lagi tentang transfer aset ke nama Rania. Semua ia jaga rapat-rapat. Tapi sekarang, bahkan ruang tersembunyi ini terasa… tak aman. Ia memencet nomor seor

  • Balas Dendam Seorang Istri    Bab 43 – Saat Semua Topeng Terlepas

    Senja menyapa langit dengan warna jingga keabu-abuan ketika Nayla berdiri mematung di depan jendela besar, memandangi gemerlap lampu kota yang mulai menyala satu per satu. Di balik kaca, ia melihat bayangan dirinya seorang perempuan yang pernah patah, pernah dihancurkan oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya, dan kini berdiri dengan kepala tegak, menyusun skenario akhir dari semua luka yang telah ditinggalkan. Di balik punggungnya, suara lembut tapi tajam terdengar, “Kamu yakin ingin mengambil risiko ini, Nay?” Nayla tidak menoleh. Ia tahu suara itu milik Dinda, mantan sahabat Rania wanita yang dulunya sama-sama tertawa di samping Rania, sebelum dikhianati dan dijatuhkan dalam-dalam. Wanita yang kini memilih untuk berdiri bersamanya, dalam rencana balas dendam yang perlahan mulai memakan bentuk. “Dia sudah terlalu lama bermain dengan luka orang lain,” jawab Nayla lirih. “Sudah saatnya dia tahu seperti apa rasanya kehilangan, tapi bukan karena takdir... melainkan karena keso

  • Balas Dendam Seorang Istri    Bab 42 – Di Balik Mata Elang

    Reyhan menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi kantor. Pandangannya kosong, bola matanya merah karena kurang tidur. Dingin air yang mengalir dari keran tak mampu menenangkan getar dalam dadanya. Ini bukan lagi sekadar stres kerja ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, yang menggoyahkan fondasi hidupnya. Sudah tiga minggu terakhir hidupnya seolah berada dalam pusaran badai. Email anonim, foto-foto dari masa lalu, hingga suara yang terekam dalam rekaman rahasia semuanya datang seperti hantu yang tahu kapan harus menyerang saat ia sedang paling rapuh. Tak satu pun dari semua ini terlihat seperti ulah iseng. Ada rencana besar di balik semua kekacauan yang tiba-tiba hadir. Rania sudah mulai rewel. Pertanyaan-pertanyaan sinis darinya muncul setiap malam. Sekali saja Reyhan lengah, rumah tangga yang sudah retak itu akan benar-benar runtuh. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang Arvino, mantan penyelidik swasta yang dulu pernah menolongnya dalam kasus keluarga. "Vin,

  • Balas Dendam Seorang Istri    Bab 41 – Menyalakan Api di Tengah Kabut

    Kafe di sudut kota itu tampak sepi. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi langit mendung membuat dunia seolah masih belum bangun sepenuhnya. Hujan rintik-rintik menetes di balik kaca jendela besar yang menghadap ke jalan. Nayla duduk di sudut ruangan, mengenakan jaket abu-abu dan topi rajut gelap. Wajahnya tampak biasa saja bagi orang asing, tapi sorot matanya tajam, seperti seseorang yang tengah membaca teka-teki rumit dan sudah hampir menyelesaikannya. Tak lama, seorang pria mendekat dengan langkah santai. Rambutnya sedikit berantakan, membawa bau tembakau yang samar. Ia menarik kursi dan duduk di hadapannya tanpa banyak basa-basi. “Lama nggak ketemu, Nay,” ucap Arka, menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Kalau kamu yang ngajak ketemuan, pasti ada hal besar.” Nayla membuka tasnya, lalu mengeluarkan flashdisk kecil berwarna hitam. Ia meletakkannya di atas meja tanpa suara. “Isi di dalam itu cukup buat menghancurkan Reyhan dan Rania,” katanya datar. Arka mengangkat alis. “Kam

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status