“Cas! Lihat ini! Max!” Beberapa jam setelah Max selesai bicara dengan Bebby, Jordan kembali menghadap. Kali ini wajahnya sudah terlihat lebih tenang. Mereka sibuk mengecek media sosial dan mendapati Monza menaikkan unggahan perihal keramaian para penikmat game mengenai karakter game yang serupa dengan milik Monza Play.“Mereka baik juga ya mau bikin postingan begini,” ujar Jordan dengan nada lega. Lucas, tentu saja, tidak percaya bahwa unggahan itu adalah inisiatif murni dari pihak kompetitor. Jelas, ia mencurigai Max melakukan sesuatu di belakang mereka. “Well, masalah selesai kan?” Max menaikkan kedua alisnya. “Nggak makan waktu lama.”“Yeah. Case closed, Max.”Dengan adanya unggahan dari Monza, sekaligus menutup hubungan Bebby dengan keluarga itu. Max sudah melayangkan ancamannya, karena jika mereka berani mengganggu Bebby, maka ia tidak akan tinggal diam.“Kalau gitu, aku ada keperluan pribadi. Aku pulang lebih awal, Lucas.” Max pamit. “Siap!”Max segera keluar dari ruangan
“Bos, sudah sampai.”Supir sekaligus ajudan Max yang baru saja ia dapatkan beberapa hari lalu itu berhenti di depan lobi sebuah hotel bernama Mulina Hotel.“Art, kau parkir dan segera nyusul makan di atas.” Max berpesan pada si supir, sebelum turun.“Baik, Bos.”Max dan Henry segera turun, sementara Arthur–sang supir pergi untuk mencari parkiran. Mereka melangkah menuju restoran dengan plang bertuliskan The Caffey.Sudah ada satu staf menunggu di sana untuk mengantar Max menemui orang yang membuat Henry penasaran setengah mati.“Selamat datang, Pak Maxmillian. Silakan lewat sini.” Staf restoran langsung membawa mereka ke area dalam. Max juga sudah membayar meja-meja yang dekat dengannya, agar tidak ada orang asing mendengarkan. “Max! Sudah datang!” seru wanita muda yang ternyata adalah Tristania Drajat. “Tania!” Max menyapa hangat kakak dari mantan kekasihnya itu. “Kenalkan, ini adalah Henry Liam, direktur pelaksana yang kutunjuk untuk mengurus segala sesuatu terkait perusahaan Tem
“Pak Henry, saya nggak berharap perusahaan saya ini akan diambil alih oleh perorangan.” Imam Drajat melihat sebelah mata pada kedatangan Henry. Setelah sepakat, Max dan Lucas memilih Henry yang sudah pernah menjadi pemilik sebuah badan usaha, walau mengalami kegagalan. Dari sana, ia banyak belajar dan bisa menerapkannya di perusahaan yang akan diakuisisi Max.“Apa ada hukum yang melarangnya, Pak Imam? Saya rasa, selama kami bisa mengeluarkan dana, perorangan atau badan hukum tidak ada masalah.” Henry terlihat cukup tenang. Ia sudah melatih cara bicara, seolah dialah yang memiliki seluruh uang yang ada di dalam rekening bank Max.Imam terlihat bimbang. Jelas, ada ketakutan kalau orang yang ada di hadapannya itu sedang berusaha menipunya. Melihat Imam tak kunjung melanjutkan percakapan, Henry pun membuka pertanyaan, “Apa yang mengganjal, Pak Imam? Apa ada ketakutan tertentu?”“Mohon maaf, Pak Henry. Jujur saja, untuk membayangkan perorangan membeli saham sejumlah itu, saya tidak perc
“Dad, Mom, apa kalian ada waktu sebentar?” Max melongokkan kepalanya ke dalam ruang kerja sang ayah.Sang ibu ada di sana untuk mengatur jadwal Mozart. Sejak dulu, Arienna sudah berperan sebagai sekretaris utamanya, yang bekerja dari rumah.Malam itu Max memutuskan untuk langsung memberitahu keluarganya terkait rencana mengakuisisi PT TembokTinggi.“Max! Kau baru pulang kerja, Nak?” sapa Mozart dengan riang. Ia segera meninggalkan meja kerjanya dan membawa Max ke sofa yang lebih santai. “Bagaimana harimu?”Max tersenyum singkat dan menceritakan beberapa hal yang penting. Termasuk rencana akuisisinya.Arienna tetap terlihat tidak setuju. “Max, Mom nggak yakin ini jalan baik.”“Ini benar-benar tidak sengaja, Mom.” Max menjelaskan lagi.“Pertama, Areston datang dan meminta bantuan. Itu pun aku nggak menggubrisnya. Lalu, beberapa hari lalu aku mendapat kabar bahwa mereka dinyatakan bangkrut.”Mozart menepuk tangan sang istri pelan dan berkata, “Kurasa ini baik, Sayang. Dengan Max mengambi
Max mengerutkan dahi, mendengar namanya disebut oleh orang yang tak dikenal. “Siapa orang itu?”Namun, alih-alih menghampiri, Max membiarkan sang sekretaris mengatur sesuai prosedur. Karena ia tidak bisa membiarkan orang lain masuk ke ruangannya.Setelah beberapa saat, telepon meja di ruangan Max berdering singkat. Ia menekan tombol speaker, agar tidak perlu mengangkat gagangnya. “Ya, Al?”“Tuan Max, Pak Anthony memaksa untuk bertemu. Dia tahu bapak sebagai asisten direktur.” Aletha menjelaskan. “Katanya dia mau bicara soal game.”“Game?” Max mengernyitkan keningnya. “Di ruangan mana? Saya ke sana.”“Di ruang ‘Tulip’, Pak.”Max mematikan sambungan telepon itu dan segera beranjak menuju ruang rapat yang disebutkan. Letaknya ada di ujung lorong setelah Max berbelok ke kanan.Baru saja ia masuk dan berencana menyapa dengan sopan, tetapi Anthony langsung menghampirinya. Pria paruh baya itu berceloteh panjang lebar soal game milik Max. Game tersebut memang cukup sukses, dinilai dari si pem
“Aku?”Max menatap Areston seolah memastikan ‘apa kau nggak salah sasaran minta tolong padaku?’“Kau mau aku menolong orang yang sudah menginjak-injak keberadaanku?” tanya Max dramatis. “Aku bahkan tak yakin, kalau saat itu kamu ada di sana, apa kamu akan memihakku atau bertingkah seperti mereka.”Areston membuka mulutnya, tetapi ia tak tahu apa yang harus dikatakan. Setelah tahu bisnis keluarganya kesulitan, ia langsung terbang kembali ke Asia. Sampai di Djayakarta, ia malah mendapati cerita bahwa Max bekerja di perusahaan besar.Yang membuatnya kalap adalah kenyataan bahwa Max seolah menutup mata atas kesusahan calon mertuanya di saat ia bergelimang uang. Areston tidak tahu menahu soal kejadian di acara ulang tahun sang adik.“Max ... demi pertemanan—“Max mengangkat telapak tangannya ke arah Areston, meminta untuk tidak melanjutkan ucapan tak bertanggung jawab itu. “Bahkan keluargamu saja tidak memandangku. Tidak memikirkan demi semua bantuan yang pernah kuberikan selama ini. Merek