Kalian tahu apa yang paling aku benci dari Pak Roan? Dia adalah orang narsis yang sok bersih. Padahal yang sering membereskan kamarnya adalah aku. Kadang sampai bingung apakah aku sekretaris atau babunya.
Dan sekarang dia berkomentar tentang apartemenku yang dihasilkan dengan banting tulang? Sungguh, aku ingin mematahkan bibirnya yang limis itu."Semalam kita... sibuk resepsi. Benar, kemarin dari pagi sampai malam kita sibuk acara, jadi hari ini kamu libur saja."Roan menghentikanku yang akan pergi ke Penthouse. Dia melepaskan tanganku. Terlihat gugup dan pandangannya mengarah ke tempat lain."Kenapa, Pak? Tumben, biasanya kalau kita dinas ke luar negeri juga nggak pernah dikasih libur.""Itu beda, pokoknya turuti saja. Kalau sampai kau sakit, aku yang repot."Tubuhku memang sakit, tapi kalau tidak dikerjakan sekarang maka dua hari tidak akan selesai. Belum lagi nanti sore perabotanku datang.Kalau cuma sakit seperti ini mah tidak apa-apa, aku pernah demam tinggi tapi tetap masuk kantor. Itu karena Pak Roan akan mengomel jika aku tidak mengerjakan tugas tepat waktu.Ada kalimatnya yang paling aku ingat hingga sekarang, yakni dia membandingkanku dengan orang lulusan luar negeri.Katanya aku tidak berguna, bodoh dan tidak bisa melakukan apapun dibandingkan mereka. Itu sangat melukai harga diriku.Asal dia tahu, aku pemilik nilai UN tertinggi se-provinsi Jawa ketika SMP. Menjadi lulusan terbaik ketika SMA. Masuk UI dan dapat beasiswa penuh.Namun, Roan terus merendahkanku hanya karena kurang lancar bahasa asing. Menyuruhku lanjut S2 kalau masih mau bekerja di Nathanael Grup. Katanya dia tidak mau membayar orang bodoh.Sejak saat itu aku berubah, bekerja lebih keras dari siapapun. Tidak mau diremehkan hanya karena bukan lulusan luar negeri. Akhirnya aku lulus S2 dan berhasil menguasai bahasa asing.Bahasa Inggris, Jepang, Mandarin dan Arab. Aku membuktikan bahwa walaupun bukan lulusan luar negeri, aku bisa mengungguli mereka semua. Hingga Roan memberikan posisi sekretaris utama."Kalau nggak dikerjain sekarang, nanti nggak selesai, Pak."Aku terlatih untuk tepat waktu dan mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya. Tidak suka menunda-nunda apalagi hanya karena habis pecah perawan."Biarkan orang lain yang mengisi perabot, hubungi Mirna."Mirna adalah sekretaris Roan yang lain, walaupun lulusan luar negeri, tapi dia tidak cekatan dan sering berbuat salah. Maka dari itu Pak Roan jarang menyuruhnya."Tapi Pak--""Kamu mau membantah?""Nggak, Pak."Aku segera menghubungi Mirna, menyuruhnya ke Penthouse untuk mengurus perabotan."Sudah, Pak.""Ambilkan aku minum," perintahnya lagi."Baik, Pak."Aku segera ke dapur dan membuatkan teh. Menghidangkan bersama kukis. Aku menaruhnya di meja kecil lesehan.Suasana sangat canggung, Roan diam saja sembari menikmati tehnya. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan."Soal semalam...." Roan mulai berbicara.Aku menelan ludah, apa dia mau membahas adegan gila semalam? Duh, jantungku tiba-tiba berdetak kencang seperti baru gajian tapi duit langsung habis.Apa yang terjadi semalam aku juga salah, bahkan aku ingat ketika mencakar punggung Roan. Apa aku akan dituntut karena itu? Bagaimana kalau Roan minta ganti rugi?"Semalam... teman-temanku salah karena membuatmu mabuk." Roan mengatakannya dengan cepat. Terlihat canggung."Ah, iya. Haha. Mereka yang salah," balasku. Aku juga ikut canggung menanggapinya."Kita korban," katanya lagi. Mengalihkan pandangan."Haha iya benar, Pak. Kita cuma korban."Roan meletakkan cangkir teh ke meja, dia terlihat bingung dan canggung. Badannya terus bergerak tidak nyaman. Kami sama-sama tidak nyaman dan terus kepikiran kejadian semalam, saat tubuh kami menyatu.bersambung"Aku mau lihat kamarmu," katanya langsung berdiri."Oh iya, Pak. Silakan." Aku segera mengikutinya masuk ke kamarku, dia melihat-lihat kamar yang tidak terlalu besar itu. Ada ranjang, lemari pakaian dan meja rias. Boneka Pikachu kesayangan ada di pojok ranjang. Roan duduk di ranjang, mencoba keempukan kasur apakah sudah sesuai standarnya. Mungkin, karena aku terlalu sering melihat standar Roan. Ketika memilih barang, aku jadi pemilih juga. "Ini kasur mahal, Pak. Garansinya 5 tahun." Aku ikut duduk di ranjang, bersebelahan dengannya. Mencoba ranjang yang baru aku tempati sekali. "Hmm... lumayan juga," jawabnya setuju. Dia menoleh, tak sengaja bertatapan denganku. Tiba-tiba ingatan semalam muncul kembali. Di ranjang kami.... melakukan itu. Jantungku mendadak berdebar kencang. Aku jadi ingat cerita teman sekantor, katanya saat dia menjadi pengantin baru, tidak peduli baru pecah perawan, pagi harinya sudah tancap gas lagi. Jujur aku akui rasanya memang enak, kalau kami tancap gas l
Kami saling diam sepanjang perjalanan ke rumah keluarga Nathanael, aku menguap beberapa kali. Tadi malam aku tidak ingat tidur jam berapa, terakhir kali mengobrol dengan teman-teman Roan jam 11 malam. Kemungkinan aku tidur jam satu atau jam dua. Aku lupa. Sekarang aku ingin sekali bisa tidur siang. Aku cukup bersyukur karena Pak Roan meminta istirahat, mungkin saja hari ini aku benar-benar bisa istirahat. Mobil memasuki halaman rumah, luas dengan taman yang terawat. Rumah orang kaya ini sering aku masuki sampai bosan. Hanya dua hari tinggal di sini, semoga saja aku bisa beradaptasi.Sepertinya pikiranku terlalu positif, di rumah keluarga Nathanael. Aku disambut Nyonya Rosa dan Angel. Gadis bermata biru itu blasteran Indonesia-Inggris. Suka dengan Roan sejak dulu, katanya mereka teman masa kecil. "Putraku sudah kembali," ucap Nyonya Rosa cipika-cipiki dengan Roan seolah putranya itu pulang dari luar negeri. "Sudah lama kita nggak ketemu," kata Angel. Memeluk Roan. Dia melirikku semb
Aku menyipitkan mata dengan bibir yang otomatis naik satu, ekspresi nyinyir yang jarang ditunjukkan di depan orang lain apalagi Roan. Roan kembali menoleh, gugup melihatku yang seperti orang marah. "Kenapa? Benar 'kan dari pada bohong mending hamil beneran." "Nggak usah ngadi-ngadi deh, Pak." Aku sudah mulai mengikhlaskan perawanku untuknya, tidak mungkin mau menyerahkan rahimku juga. Apalagi hidupku. Iuhhh.Selama hidup aku belum pernah bahagia, sekarang usahaku tinggal dikit lagi. Sampai aku bisa lepas dari pernikahan palsu ini, punya apartemen dan tabungan. Aku bercita-cita liburan ke Bali dan makan banyak lobster di pinggir pantai.Aku tidak mau rencanaku kacau karena Pak Roan menitipkan embrio di dalam tubuhku, darahku akan ikut terseret juga dan pasti impianku hancur. Aku akan terjebak hubungan rumit dengan keluarga Nathanael selamanya. Oh no banget.Aku ingin menikah di usia 27 tahun, tapi sebelum itu aku ingin mencoba banyak hal menyenangkan seperti terjun payung, mendaki
Langit dipenuhi taburan bintang dengan bulan bersinar terang, angin berembus menerpa wajah Roan. Dia ada di balkon kamar. Melihat sekitar yang hanya diterangi lampu. Di bawahnya ada kolam renang. Cahayanya memantul menyilaukan. Sekarang sudah pukul sembilan malam, biasanya dia akan membaca buku sebelum tidur. Hangat di ranjang dengan selimut dan AC yang menyala. Sekarang di dalam kamarnya ada Rin. Melihatnya memakai baju tidur akan membuat mereka canggung. Padahal sebelumnya mereka sering dinas keluar negeri bersama. Tapi hubungan profesional tidak ada kecanggungan sama sekali, mereka bekerja seperti atasan dan karyawan seperti biasa. Tidak ada romansa kantor sedikitpun."Pak," panggil Rin. Pada akhirnya Roan menguatkan jantungnya untuk masuk ke dalam. Mereka harus melupakan kecanggungan supaya bisa kembali normal. "Iya," jawabnya sembari membuka pintu kaca. Rin sudah memakai baju tidur, di tangannya ada jas dan perlengkapan kantor."Pak, besok ke kantor mau pakai jas ini atau i
Bola mata Rin begitu bening sampai bisa membuat Roan tenggelam di dalamnya, wajahnya yang polos itu memerah. Dia mengedipkan mata beberapa kali lalu berdehem. Kakinya mundur. "Kamar orang kaya pasti kedap suara," sangkal Rin. "Kamarku emang kedap suara, tapi karena pipa bocor dan kamar mandi sering bermasalah jadi pindah ke sini." Rin pasti ingat bahwa setahun lalu Roan mengeluh karena kamarnya tidak nyaman. Rin sendiri yang menyarankan memakai kamar lain. Rin terlihat salah tingkah, mungkin dia sadar bahwa sudah terjebak dengan permainannya sendiri. Sekarang mau tidak mau mereka harus menjalankan malam panas untuk menutupi kebodohannya."Tinggal buat suara ah ih uh ih 'kan, Pak?" tanya Rin sok santai. Dia berhedem.Roan kembali berdiri dengan benar, kepalanya mengangguk. Matanya melirik ke bawah. Melihat ekspresi Rin. Wanita itu jauh lebih pendek darinya."Tunggu bentar," kata Rin. Dia melesat pergi. Roan menunggu di kamar, menguap memeriksa ponselnya yang diletakkan di atas nak
Ganti rugi duit terlalu ringan, bahkan Roan pikir itu tidak sebanding sama sekali. Rin harus melakukan yang lebih dari itu. Sebenarnya ia ingin mengulangi malam panas mereka, tapi rasanya malu mengatakannya dan seperti dia pria kurang ajar. "Ambil simpati Mama aja," jawab Roan. "Cuma itu?" Roan mengerutkan keningnya. Ia tahu bagaimana Mamanya sangat membenci Rin hingga mendatangkan Angel ke rumah ini. Dan sekarang dengan entengnya Rin bilang 'cuma'? "Aku nggak yakin kamu sanggup.""Itu gampang, Pak. Tapi hari ini kita beneran harus pergi dari sini. Aku beberes dulu." Rin mengambil tas, dia memasukkan baju-bajunya. Lalu menyuruh Roan tetap di kamar dan menyusulnya 10 menit kemudian. "Aku tugas dulu, Pak. Tunggu di situ." "Sebenarnya kamu mau ngapain?" Rin tak menjawab dan malah keluar dari kamar, karena penasaran Roan mengikuti dari belakang. Rupaya Rin mendatangi Mamanya dan berlutut di sana, Roan belum bisa mendengar ucapan Rin. Dia pun semakin mendekat. "Apa yang kamu lak
Roan tidak mengenal keluarga Rin, dulu ketika dia menanyakan apakah Rin memiliki wali nikah, Rin bilang tidak punya karena Bapaknya menghilang sejak dia baru masuk SMA. Keluarga dari bapaknya tidak jelas karena tidak pernah bertemu. Hanya nenek kakek dari ibunya yang pernah merawatnya dari SD sampai SMP. Saat itu Roan abai dan menganggap keluarga Rin tidak penting, malah kalau tidak ada mertua lebih baik. Saat mereka bercerai tidak perlu merisaukan apapun. "Pak, gimana?" tanya Rin lirih. Telepon belum ditutup."Aku akan bicara dengan kakekmu." Roan menepikan mobilnya, mengambil ponsel Rin. "Hallo, Mbah. Saya Roan, suaminya Rin." "Kamu suaminya Rina?" "Benar, Mbah." "Kamu sama sekali ndak punya unggah-ungguh alias sopan santun. Nikahin anak gadis orang tapi ndak izin keluarganya, kamu anggap kami ini apa?"Roan tampak gugup, dia menelan saliva. Benar yang dikatakan Mbah, walaupun nikah kontrak tapi Rin sungguh menjadi istrinya. Apalagi dia juga mengambil kesucian Rin. Tidak sopan
Bagiku, pernikahan ini adalah ladang uang. Aku memeluk erat sampai membawa tidur kartu kredit yang Roan berikan. Jaminan hidupku, jalanku menuju korupsi sebagai istri. Aku membeli kebutuhan sehari-hari termasuk baju baru dan make up dengan uang itu, tadinya aku pikir Roan akan protes, tapi ketika aku mengatakannya dia cuek saja. Aku tidak tahu alasan dia tiba-tiba cuek padaku, hubungan kami berubah canggung lagi. Tapi aku tidak peduli. Tetap melakukan kegiatanku dengan ceria. Selama ada kartu kredit ini, aku tidak lagi risau membeli apapun. Yang penting aku tidak menghabiskan ratusan juta dan tahu batas supaya Roan tidak marah. 10 atau 20 juta sebulan, itu masih wajar. Pengeluaran Roan sebulan saja 100 jutaan. Itu kalau dia tidak membeli baju dan lainnya. Hanya biaya makan di restoran dan jajan.Kalau Roan membeli baju satu biji saja, pengeluaran bulanannya bisa ratusan juta hingga miliaran. Dia selalu memakai barang branded. Kaosnya seharga 120 juta. Belum sepatu dan baju. Dia se