“Akhirnya kau bebas juga, Livia.” Ucap Freedy dengan senyum bahagia saat menemui Livia di apartemen kecilnya itu.Livia hanya mengangguk lalu menatap serius ke arah pria itu, “Kau tahu bagaimana keadaan Alessandro? Aku ingin melihat berita tapi hp ku sudah ku buang dan disini tak ada televisi.” tanya Livia yang terlihat khawatir.Hal itu membuat Freddy menaikkan alisnya, “Kau masih peduli dengan dia? Apa kau juga mulai menyukainya?” tanya dengan tak suka.Livia menggeleng, “Bagaimana pun dia tak pernah membuatku kesusahan.”Freddy yang mendengar itu terkekeh, “Dia orang yang kejam Livia, bukankah kau selalu bilang jika hidupmu terancam jika di dekatnya?”Freddy mendekat, menaruh sekantong belanjaan di meja kecil apartemen itu, lalu menatap Livia dengan sorot tajam. “Jangan bilang kau lupa siapa dia sebenarnya. Darah di tangannya sudah tak terhitung. Kau seharusnya bersyukur bisa keluar hidup-hidup dari rumah itu.”Livia menggenggam kedua tangannya di pangkuan, wajahnya menegang. “Aku
“Bagaimana keadaan tuan Alessandro?” tanya Franco pada dokter itu dengan serius.Dokter itu menghela nafas, “Sudah stabil,tapi saya sarankan beliau tidak banyak bergerak lebih dulu.”Dokter menutup kotak medisnya dengan wajah tegang. “Racun itu masih bekerja pelan-pelan di dalam tubuhnya. Saya sudah memberikan penawar sementara, tapi kalau beliau memaksa diri lagi… bisa fatal.”Franco mengangguk tegas, lalu melirik ke arah Alessandro yang terbaring pucat di ranjang. Pria itu tampak tertidur, nafasnya berat namun teratur. Luka-lukanya sudah diperban, namun tubuhnya masih dipenuhi lebam dan darah kering.“Aku akan pastikan tidak ada seorang pun yang mengganggu beliau.” suara Franco rendah, penuh tekad. Ia lalu menoleh tajam pada para pengawal yang berjaga di luar kamar. “Dengar baik-baik. Siapa pun yang mencoba mendekat tanpa izinku—bunuh di tempat.”Semua pengawal menunduk dalam-dalam. “Baik, Tuan Franco.”Franco lalu kembali duduk di kursi samping ranjang. Pandangannya tak lepas dari
“Ini kartu dari tuan Franco, kata beliau uang di dalamnya cukup untuk anda hidup nyaman selama sebulan. Pin-nya adalah ulang tahun anda.” Ucap pria itu dengan dopan.“Karena saya harus membantu di manor, maka saya akan pergi sekarang. Jaga diri anda baik-baik, nona Livia.” ucap pria itu lalu meninggalkan Livia di pinggir jalan jauh dari kawasan manor.Livia hanya menatap mobil jeep itu pergi menjauh dengan perasaan tak nyaman.“Apa dia akan baik-baik saja?” gumam Livia.Dia tahu apa efek racunnya, jika Alessandro terlalu memforsir tenaganya dia akan lumpuh.“Huh, sudahlah. Bukan urusanku, lebih baik aku segera mencari tempat tinggal untuk menjadi warga sipil biasa dan merubah penampilan.” gumam Livia yang kemudian berjalan mencari tempat tinggal dengan uang yang diberikan oleh Franco.Sedangkan di manor,Puing-puing bangunan hancur berserakan.Asap pekat membumbung tinggi, menutupi cahaya bulan di langit malam. Api masih menyala di beberapa sisi bangunan, sementara suara teriakan berc
Seperti apa yang Livia katakan, dia setiap hari pagi dan malam selalu datang membawa tehnya dengan senyum yang cerah.Franco yang melihat Livia selalu datang di jam yang sama hanya diam saja dan terus melanjutkan tugasnya.Dengan ketukan khasnya dia mengetuk pintu besar itu sebelum masuk ke dalam ruang kerja Alessandro.“Apa kau masih sibuk?” tanyanya dengan suara yang manis.Alessandro yang tengah berdiri di balik meja kerjanya, menutup berkas yang baru saja ia baca. Tatapannya beralih ke arah pintu, menatap Livia yang melangkah masuk sambil membawa nampan berisi teh hangat. Senyum lembutnya nyaris membuat ruangan itu terasa berbeda, seakan semua ketegangan mencair hanya karena kehadirannya.“Untukmu,” ucap Livia pelan, meletakkan cangkir porselen di meja Alessandro. Uap hangat dari teh itu perlahan naik, memenuhi udara dengan aroma menenangkan.“Tehmu semakin harum, seperinya aku akan kecanduan dengan teh buatanmu,” ucap Alessandro dengan penuh arti.Namun Livia tak menangkapnya, di
“T-tunggu… kau minum teh itu dulu. Aku membuatnya dengan tanganku. Kau ingin menunggu teh itu dingin?” ucap Livia mencegah pria itu berbuat jauh dan dia juga sudah meberikan sedikit racun di dalam cangkir teh itu.Alessandro berhenti tepat di samping telinga Livia. Senyumannya masih terpahat licik, namun tatapannya bergerak menuruni meja tempat cangkir teh terletak.“Oh?” gumamnya pelan, menatap wajah Livia yang berusaha terlihat tenang. “Kau membuat teh ini sendiri?”Livia mengangguk cepat, menahan degup jantungnya yang kencang. “Ya. Kau pikir aku hanya duduk diam seharian di kamar? Cobalah. Aku ingin tahu pendapatmu.”Alessandro menatapnya lama, seolah mencoba membaca isi pikirannya. Lalu perlahan, ia meraih cangkir itu. Uap hangatnya naik, aroma teh melayang tipis di udara. Livia menahan napas—ia tahu racunnya tidak berbahaya dalam sekali tegukan, tapi jika Alessandro mulai mempercayainya dan meminumnya setiap hari, kekuatan pria itu pasti akan terkikis perlahan.Tanpa melepaskan
Tak! Tak! Tak!Suara high hells menggema di lorong, dengan nampan berisi teh hangat Livia mulai berjalan di ruang kerja Alessandro yang tampak sangat suram itu.“Apa dia di dalam?” tanya ivia dengan tenang pada Franco yang berjaga di luar.Franco mengangguk, “lebih baik jangan menganggu. tuan sedang banyak kerjaan.” ucap pria itu dengan datar.Karena bagi Franco, Livia hanya pengganggu kecil yang bisa membuatnya lembur seharian karena tuan nya yang sekarang lebih suka bermain dengan wanita itu.Livia tersenyum, “Jangan sinis begitu. Aku hanya ingin menjadi dekat sehingga dia cepat bosan. Bukankah ini rencanamu juga biar aku bisa pergi?”Mendengar itu Franco tampak menimbang sesuatu, hingga akhirnya dia mengangguk dan membukakan pintu.Begitu pintu terbuka, aroma tembakau bercampur wangi kayu tua langsung menyergap hidung Livia. Ruangan itu temaram, hanya diterangi cahaya lampu meja yang memantul di atas tumpukan dokumen dan peta yang bertebaran.Alessandro duduk membelakangi pintu, ja