Dilema, harus pergi saat itu juga. Atau menanti jenazah sahabatnya di semayamkan. Di sisi lain, ia tak ingin melewatkan kesempatan yang pasti tak datang dua kali. Kabar duka datang dari Mbah Aab dan Niswa. Keduanya baru saja mengalami kecelakaan tunggal saat dalam perjalanan ke sebuah rumah makan di mana akan dilangsungkan pertemuan dua keluarga. Keadaan Mbah Aab cukup parah, mengharuskan pria renta itu dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lanjut. Dengan pertimbangan cukup rumit, akhirnya Una memutuskan untuk menemani ibunda Qia hingga beliau merasa tenang. Bukan atas kemauan pribadi, namun atas permintaan ayah Qia yang tak tega melihat istrinya terpuruk dalam suasana berkabung. Ratusan orang memenuhi pelataran rumah Qia. Rentetan karangan bunga bersemat ungkapan turut berbelasungkawa, berjajar rapi di sepanjang jalan masuk. Kereta beroda manusia, bergerak cepat menuju tempat pemakaman. Dengan iringin kalimah tahlil yang menggema, hingga menggetarkan ha
Setelah melewati perhelatan panjang, akhirnya Una luluh dengan para petugas. Namun ia hanya minta untuk segera diantar ke tempat pemakaman sang kakek. Ia harus menyaksikan prosesi yang hanya bisa terjadi sekali dalam seumur hidup. Melalui prosedur yang sesuai, walau cukup memakan waktu panjang. Akhirnya, Una diperbolehkan pergi karena kondisinya yang tak terlalu parah. Ditemani sepupu Fauzi, keduanya gegas berlalu dari rumah sakit. Setengah jam perjalanan. Membuat Una tak bisa tenang. Untung saja, tak terjebak macet di pusat kota. Begitu mereka sampai di tempat pemakaman umum, dekat rumah Fauzi. Puluhan orang sudah ramai berhamburan pulang. Nahas, Una terlambat untuk kesekian kalinya. Tanah basah bertabur bunga mawar yang harum. Terlihat gundukan sepanjang tinggi badan manusia pada umumnya. Lengkap dengan nisan marmer bertuliskan nama Abdullah bin Muhaimin. Kedua lutut Una terjatuh menyentuh bumi. Ia tak kuasa melanjutkan langkahnya untuk sampai di depan pusara sang
Hari-hari berlalu tanpa rasa. Cahaya yang biasa menerangi, kian meredup bahkan tak lagi memancarkan kilauan terang. Hidup Una terasa gelap. Memilih menjauh dari kehidupan lama yang sempat membuatnya dikira gila. Ia menolak untuk ikut sang kakak tinggal di rumah Fauzi. Pernikahan Niswa sudah berlangsung beberapa bulan lalu. Tanpa kehadiran satupun keluarga dari pihak mempelai wanita, termasuk Una. Una pergi, tepat sehari setelah kepergian Mbah Aab. Tanpa membawa harta benda apapun, kecuali gamis yang ia kenakan. Juga satu ponsel miliknya pribadi, tak lupa mukena yang senantiasa dibawa dalam tas. Mendatangi salah satu desa terpencil di pinggiran kota. Ia pernah datang ke sana, saat masih belia. Tujuannya hanya satu, mencari ketenangan. Untungnya, Una dipertemukan dengan seorang wanita berhati malaikat. Yang sudi memberikan tempat sekaligus pekerjaan untuk Una yang sama sekali tak dikenal. Keduanya bertemu tanpa sengaja. Di sebuah masjid saat mereka menunaikan ibadah salat Magri
Wajah wanita itu masih kosong. Tak terasa ia tertidur setelah tangisnya reda. Melihat gawai merah muda, tergeletak dalam kondisi tengkurap. Kening Una mengerut tipis. Kepala tiba-tiba pusing, membuatnya enggan untuk beranjak bangun. Tulisan rapi masih terpampang di layar. Una kembali menggerakkan bola mata, untuk mengikuti kata demi kata hingga tanda titik terakhir. "Untukmu, Rizquna. Wanita cantik berhati putih yang insya Allah kelak menjadi penghuni surga. Terima kasih atas kebaikan yang selama ini tak pernah kamu tunjukkan. Kebaikan yang tentunya tak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Rela menahan sakit, demi kebahagiaan orang lain. Entah dari apa hatimu terbuat. Yang jelas, lebih indah dari mutiara yang memancarkan gemerlap cahaya. Lebih kuat dari baja yang sulit dihancurkan. Andaikan aku yang berada di posisimu, mungkin aku akan memilih pergi dan tak kembali. Selama ini, aku menganggapmu sebagai sahabat yang rela mendengarkan keluh-kesah setiap waktu. Namun
Lelaki itu tak tinggal diam. Semakin mendekat ke arah Una. Hingga keduanya sangat dekat. Tanpa basa-basi, Fajrul mendorong wanita yang berdiri di hadapannya. Membuat tubuh Una terjatuh ke tanah. Bruk! Suara benturan terdengar jelas. Tampak wanita itu meringis kesakitan. Mengelus punggungnya yang terbentur lantai. Kemudian duduk, kebingungan. Ia menatap sekeliling, ternyata masih di tempat yang sama. "Astagfirullah, Una. Kamu jatuh dari ranjang?" ucap Laila dengan kedua mata membola. Langsung membantu Una untuk bangkit dari duduknya. Una membisu, ternyata semua hanyalah bunga tidur yang menghiasi tidur panjang malam ini. Wajah sang suami masih terngiang. Tapi mengapa, harus berakhir dengan sikap Fajrul yang sangat kasar. Pikiran Una melayang tanpa arah disertai kekhawatiran mendalam. "Kamu mimpi buruk? tanya Laila sekali lagi, sembari memberikan segelas air putih untuk Una. Kepala wanita itu mengangguk pelan. Gegas meneguk setengah gelas tanggung air dalam g
Saat keduanya saling merenung, juga meratapi kegelisahan yang membara. Dua orang lelaki dengan perawakan tinggi besar, mendekat ke arah mereka. Untung saja, Rani menyadari hal tersebut. Gegas mencengkeram tangan Una dan menariknya dengan kuat. Keduanya lari tanpa berlama-lama. "Tunggu … tas saya ketinggalan!" teriak Una berusaha melepaskan genggaman wanita yang sudah berlari di depannya. "Sudahlah, kita dalam bahaya!" tandasnya, tak mau membuang kesempatan untuk segera pergi. Suasana tiba-tiba menengang, saat jarak dua lelaki berbaju serba hitam makin dekat. Namun aksi nekat Una tak bisa ditahan, ia tetap kembali untuk mengambil tasnya. Rani tak bisa diam, mau pergi lebih dulu, namun tak tega dengan Una. Ia hanya khawatir, dua lelaki yang tak lain adalah ajudan dari suaminya itu, mengenali Rani juga Una. Berhasil, Una dengan cepat mengambil tas yang dirasa sangat penting untuknya. Bukan karena harganya, tapi ada barang penting di dalamnya. Perjalanan har
Nyaman belum tentu aman atau justru sebaliknya. Rumah mewah itu tak menjamin keselamatan dua wanita yang sedang menghindar dari kejaran manusia berhati batu. Pria dengan topi koboi yang khas, berjalan cepat ke dalam rumah. Satu menit lalu, Una meminta izin ke kamar mandi. Tak lupa mengajak Rani, hingga keduanya berhasil bersembunyi. "Bunda, Una izin ke belakang, boleh? Una mohon, tolong untuk tidak memberitahu siapapun kalau Una berada di rumah ini," pintanya dengan kedua telapak tangan dirapatkan. Keduanya gegas pergi, menuju ruang belakang. Karena dirasa belum aman, Una mengajak Rani untuk naik ke lantai atas. Menuju kamar almarhumah Qia, untung saja pintu tidak sedang dikunci. "Kenapa bisa suamiku datang ke rumah ini? Sebenarnya, siapa pemilik rumah ini, Mbak?" Wajah Rani terlihat pucat. Ia sangat takut saat melihat sang suami juga ada di tempat itu. Una menggeleng lemas. Debaran di jantung masih tak beraturan. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Mengatur
Keheningan terjadi cukup lama. Ada yang tertunduk pasrah, ada yang mendongak tak percaya, ada juga yang mengangkat dagu memperlihatkan keangkuhan. Una menggeser posisi wanita di depannya. Ia melangkah maju, tepat di tengah-tengah. Perlahan mengangkat wajahnya, datar. Mengembuskan napas ringan, lalu menoleh ke arah wanita yang masih berdiri di samping Fajrul. Sorotan mata yang merah, mengarah tepat pada kedua manik mata Una. Kedua wanita tengah beradu tatap. Melampiaskan rasa kecewa yang belum sempat dikata. Kedua lutut Una tertekuk, tepat di bawah kaki Bu Halimah yang masih gemetar. "Dengan sangat menyesal, Una meminta maaf pada Bunda. Semua yang dikatakan Tuan Danu adalah benar. Mas Fajrul adalah suami siri Una, Bunda," jelas Una dengan suara tertahan. Mulutnya tak bisa terbuka dengan leluasa. Seperti ada tarikan yang memaksa diri untuk bungkam. Namun Una tetap ingin jujur hari ini juga. Apapun resiko yang akan diterima, Una tak lagi peduli. Kaki yang mulai ren