Sepasang suami istri paruh baya bersama seorang lelaki yang terlihat masih muda menyambut kedatanganku, saat memasuki kafe tempat diadakan pertemuan dengan keluarga Nisya. Sepasang suami istri tersebut tersenyum ramah. Aku mengenal suami istri tersebut, mereka adalah orangtua Nisya. Namun, aku tidak mengenal lelaki muda yang turut hadir bersama mereka.
"Apa kabar?" sapa ibunya Nisya dengan senyum tulus. Ada gurat lelah dari matanya yang sudah dikelilingi kerut halus.Kemudian ayah Nisya dan lelaki yang bersama mereka pun turut menyalamiku dengan basa-basi ringan.Aku, Adrian, dan kedua orangtua Nisya duduk saling berhadapan. Sementara lelaki muda yang bersama orangtua Nisya duduk di ujung meja seperti penengah di antara dua kubu yang berseteru. Lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Harry, yang merupakan asisten pengacara Nisya tersebut berdehem dan memulai percakapan."Begini Mba Mei. Kami mengajak bertemu juga ingin membicarakan masalah yangSetibanya di apartmen, aku kembali memikirkan percakapan dengan Adrian di kafenya tadi. Apakah kehadiran Dendra belakangan ini ada campur tangan dari Rani juga? Berkali-kali kutepis perasaan curiga yang mendadak hadir. Tak ingin berlama-lama menyiksa diri dengan segala prasangka, ku ambil ponsel, membuka aplikasi pesan, dan mengetikkan pesan pada Rani.[Ran, kapan jadinya bisa nemenin nyari apartemen?] Aku hanya ingin membuktikan kecurigaan Adrian terhadap sahabatku itu tidaklah benar. Tak berapa lama, Rani membalas pesanku. [Terserah, Say. Gue selalu free. Lo yang selalu sibuk.][Pagi lusa bisa?] Aku membalas dengan cepat. Kebetulan lusa, jadwalku hanya sore hari.[Ok, janjian di mana?][Enaknya nyari di daerah mana dulu?][Daerah Tebet mau? Ada apartemen baru kan di situ. Ke tol juga nggak kejauhan.]Aku manggut-manggut. Boleh juga usulan Rani. Lokasi yang tidak jauh dari pintu tol, merupakan nilai tambah bagiku untuk menc
Rani sudah menunggu di kafe yang berada di basement area apartemen yang akan kami lihat. Kulihat ibu muda itu tengah asyik mengobrol via ponsel dengan secangkir minuman di hadapannya. Tampaknya dia tak menyadari kehadiranku hingga kami hanya berjarak satu meter, Rani melambaikan tangan dengan senyum lebar. Ia segera menyudahi percakapan ketika aku berada tepat di hadapannya. "Udah lama?" tanyaku sambil mengecup pipi kiri dan kanan sahabatku itu. "Ng, bentar!" Aku menempelkan telapak tanganku ke cangkir yang ada di meja kemudian berkata, "Masih anget," tukasku dengan senyum penuh kemenangan. Cara itu selalu kami lakukan setiap kali janjian. Jika minuman hangat yang kami pesan masih dalam kondisi hangat, itu pertanda bahwa waktu menunggu belum lama, pun sebaliknya, jika minuman hangat tersebut berubah dingin, pertanda salah seorang dari kami sudah lama menunggu."Lupa tadi nambahin es, biar lo ngerasa bersalah," kekeh Rani. Aku ikut tertawa mendengar i
Aku dan Rani akhirnya menemui pihak manajemen apartemen untuk melihat unit yang disewakan. Ada beberapa tipe unit yang tersedia dengan berbagai fasilitas mulai dari yang standar hingga yang mewah. Setelah melihat fasilitas yang mereka tawarkan, aku tertarik untuk menempati salah satu unit tipe studio. Tempatnya cukup nyaman dan tidak jauh dari pusat perbelanjaan serta akses jalan tol. Di lantai dasar apartemen pun tersedia food court dengan berbagai macam varian makanan, baik lokal maupun internasional.Setelah menyelesaikan administrasi perjanjian sewa, aku dan Rani meninggalkan tempat itu. Mulai minggu depan, tempat itu akan menjadi tempat tinggalku selanjutnya. Untuk area gedung memang tidak se asri apartemenku yang lama, karena tempat ini masih tergolong baru."Masih sempat jalan dulu nggak, Ran?" tanyaku setelah semua urusan sewa menyewa selesai."Boleh, yuk!" ajak Rani setelah melihat jam di pergelangan tangannya.Karena sudah jam makan si
Aku tiba di bandara tepat tiga puluh menit sebelum pembekalan para kru dilaksanakan. Dengan secepat kilat aku mengganti pakaian, memoles wajah dengan kosmetik, dan menata rambut. Seperti biasa selesai briefing, aku menelpon ayah ... dan Adrian. Ya, kali ini Adrian lah yang kuhubungi, bukan Keanu. Sebenarnya karena hanya ingin mengucapkan terima kasih, karena telah menyelamatkanku dari Dendra."Safe Flight." Itu kalimat yang diucapkan lelaki itu sebelum aku mengakhiri percakapan. Kata-kata seperti itu pula yang kuharapkan dari kekasihku. Kalimat singkat yang berisi harapan dan sepotong doa untuk keselamatanku, para kru yang bertugas, serta para penumpang yang melakukan perjalanan. Entah itu pulang atau hendak pergi. Namun, hampir satu tahun menjalin hubungan dengan Keanu, tak pernah sekali pun kami berkomunikasi sebelum aku terbang. Dan tentu saja, aku pun tak pernah mendengar kalimat itu dari bibir Keanu. Setelah memastikan jumlah penumpang
Hari ini aku pulang mengendarai mobil Adrian yang kupinjam tempo hari. Dengan tubuh yang lelah, aku memacu mobil ke apartemen setelah menelpon Adrian. Kami janjian untuk bertemu di area parkiran apartemen untuk menukar kembali mobil kami. Tadinya aku berpikir untuk menyambangi ke kafenya di Kemang, tetapi Adrian melarang dengan alasan jalanan ke kafenya malam ini terlalu macet, dan aku pasti sudah capek karena baru saja mendarat. Akhirnya aku menyetujui tawaran Adrian, bertemu dengannya di apartemen yang kini kutempati. Begitu sampai di basement, mobilku sudah diparkir di tempat biasa. Tak kulihat lelaki itu ada di sana. Setelah memarkirkan mobil Adrian di sebelah mobilku, aku menelpon lelaki itu. "Aku di kafe atas ya, Mei," ujarnya begitu menjawab telpon dariku. "Okay, aku langsung ke sana." Kugeret koper menuju lift. Area parkir begitu sepi. Sebenarnya, ini adalah hal yang paling tidak aku sukai dari hunian apartmen, sunyinya terlalu mencekam. Hanya bun
Kembali pada kehidupanku yang sunyi. Setelah kejadian terakhir kali aku memutuskan sambungan telepon dari Keanu, pria itu tidak menghubungiku lagi. Biasanya dia yang lebih dahulu menghubungiku untuk meminta maaf. Kali ini mungkin dia merasa perlakuanku sudah keterlaluan. Mungkin saja dia juga sudah muak dengan sifatku yang terlalu kekanak-kanakan.Adrian juga sama. Dia menepati janji untuk tidak menghubungi dan menemuiku. Hatiku kembali terasa kosong. Mereka yang selama ini tanpa kusadari telah berada di sana, serasa pergi meninggalkanku, menyisakan ruang kosong yang sulit kuisi. Memasuki akhir tahun, jadwal penerbanganku makin padat. Tidak ada istilah libur untuk pekerja sepertiku disaat orang lain menikmati jadwal libur yang panjang. Akhir tahun ini aku lebih banyak mendapat jadwal rute penerbangan internasional. Aku hampir tidak pernah kembali ke apartemen. Membuatku mampu kembali menata hati. Mencoba berpikir dengan cara logis seperti biasa.Orang ya
Langit Hong Kong yang mendung berubah cerah kurasa. Kegalauan hati yang selama beberapa minggu bergelayut sirna sudah. Ah! Semudah itu Keanu meyakinkanku untuk menunggunya. Suaranya memberi kekuatan pada hatiku."Kean, boleh aku minta satu hal?""Apa? Jangan susah-susah, nanti aku enggak bisa kasih." Tawa ringannya begitu menenangkan. Gigi kelinci membuat senyumnya terlihat seksi."Enggak, kok. Cuma minta kamu sempatin balas chat aku. Biar aku bisa tenang," pintaku penuh harap dengan wajah merajuk. Permintaan yang kesekian kali kuutarakan."Aku usahakan." Dia tersenyum lembut. "Aku kan pernah bilang sama ka
Angin dingin menerpa wajahku begitu keluar dari restoran. Aku merapatkan syal di leher, dan menutupkannya ke kepala untuk meredam rasa dingin yang terasa menusuk. Hari sudah mulai gelap, lampu-lampu pertokoan telah dinyalakan, menambah semarak Kowloon District yang mulai ramai. Aku berjalan kembali ke hotel, tidak tertarik untuk menambah padatnya tempat ini. Aku hanya berniat menghabiskan malam tahun baru dalam kesenyapan kamar. Kemeriahan menyambut pergantian tahun telah dimulai, serpihan cahaya warna-warni dari kembang api serta lampu-lampu sorot, begitu indah menghiasi langit. Aroma minuman sarat kafein dari penjual kopi yang ku lewati menggelitik indera penciuman. Mengusik memori akan satu tempat di bilangan Kemang,