Share

2. Kandidat Pacar

Sesampainya di kampus, aku segera melesat untuk mencari teman-temanku.

"Na. Sini," teriak Jeni.

Aku segera menghampirinya yang tengah duduk bareng Rosi.

"Yang lain pada kemana?" tanyaku.

"Katanya ada urusan mendadak. Apalagi setelah tahu matkul Pak Candra kosong alias libur. Tapi kita dapat tugas suruh dikumpulin lewat email."

"Oh... Ya udah yuk nyari wifi gratisan," ajakku.

"Ayuk. Tapi jangan disinilah bosen. Cari di fakultas lain yuk," ajak Jeni antusias.

"Boleh. Tapi dimana?" tanyaku.

"Fakultas Hukum aja? Gimana?" saran Rosi.

"Cakep Ros, sambil kita tebar pesona sama anak Hukum. Aku dengar kebanyakan dari mereka anak orang kaya guys. Hihihi," seperti biasa radar Jeni pada cowok tampan dan tajir langsung on.

"Tentu. Ayuk," sahut Rosi tak kalah antusias.

Aku cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah para sahabatku. Sesampainya di salah satu gazebo di Fakultas Hukum, aku langsung mengeluarkan laptop dan mulai menyusun tugas dari Pak Candra. Sementara kedua temanku asik selfi dan tebar senyum sana sini.

Sesekali kulirik mereka. Ya ampun. Sekali lagi aku hanya terkekeh lalu kembali menenggelamkan diri dengan menatap layar laptop.

"Selesai." Aku merenggangkan otot-otot tubuhku untuk mengurangi rasa pegal karena cukup lama fokus dengan laptop.

"Copy Na. Ntar aku tinggal ngedit," pinta Jeni dan Rosi seperti biasa.

"Nih udah aku copy di flashdisk. Ingat ya, gak boleh sama. Harus ada yang kalian ubah kata-katanya," tukasku.

"Wokeh," sahut keduanya kompak.

Sambil menunggu mereka menyalin dan mengedit tugas mereka, kuedarkan pandanganku untuk mengamati keadaan sekeliling. Hingga tatapanku tertuju pada seorang cowok, dia tersenyum manis kearahku. Wow... Tampan. Punya dua lesung pipi lagi kayak Mas Rayyan. Astaga kok balik ke calon kakak iparku lagi ya. Hadeh... Karena dia masih senyum ke arahku aku pun membalas senyumnya.

"Na, kamu senyumin siapa?" tanya Rosi.

"Pengin senyum aja," jawabku.

"Masa sih?" Rosi tak percaya dan mengedarkan pandangannya.

"Aneh. Masa kamu senyum sendiri. Kirain ada cowok cakep yang kamu lihat." Rupanya Rosi masih penasaran, dia masih saja celinguk kanan kiri hahaha.

"Nasha itu kayaknya gak bakalan jatuh cinta deh Ros, dia itu JOSETI alias jomblo sejati," celetuk Jeni tanpa mengalihkan matanya dari laptop.

Aku hanya tersenyum tanpa mau menanggapi. Kuedarkan lagi pandang mataku. Ah, rupanya cowok tadi sudah pergi.

*****

Acara lamaran Mbak Nisha terlaksana seminggu kemudian. Rencananya enam bulan lagi mereka akan menikah. Karena keluargaku dan Mas Rayyan masih memegang adat Jawa yang kuat. Termasuk masalah hitungan dalam menentukan tanggal pernikahan.

"Selamat Mbakku sayang. Cie... Yang mau jadi istri."

"Makasih dek." Mbak Nisha mengulas sebuah senyuman dan terlihat cantik sekali.

"Selamat ya Beb. Aku turut senang dengernya," ucap Mbak Hilda sahabat karib Mbakku. Seorang bidan juga dan bekerja di tempat yang sama dengan Mbak Nisha.

"Sama-sama semoga kamu sama Farhan segera nyusul."

Kulihat Mbak Hilda hanya tersenyum tipis.

*****

Aku tengah berjalan melintasi koridor menuju Perpus pusat sambil membalas pesan Rosi temanku.

Bruk.

"Maaf gak sengaja," ucapku.

"Oh gak papa. Kamu Nasha kan?" ucap cowok yang kutabrak.

"Iya betul siapa ya?"

"Feri. Kamu lupa ya sama aku," jawabnya.

Aku mengerutkan kening berusaha mengingat-ingat.

"Oh… Feri anak Hukum ya? Oh hai apa kabar?"

"Baik. Aku pikir kamu lupa sama aku."

"Hehehe. Sedikit. Habis mau gimana lagi setelah Ospek kita gak pernah ketemu lagi."

Feri adalah salah satu kenalan yang aku temui saat Ospek dulu. Sama-sama Maba. Bedanya dia anak Hukum. Karena kampus kami berbeda praktis kami tak pernah jumpa lagi.

"Minta nomer WA-nya dong," pinta Feri.

"0813xxxxxxxx," jawabku.

"Oke aku save ya. Oh iya aku pergi dulu ya. Ada urusan. Sampai jumpa lagi." Feri berlalu dari hadapanku.

Aku masih memandang Feri bahkan aku tersenyum tanpa kusadari hingga sebuah tepukan keras menempel pada bahuku.

"Aw... Sakit tahu," sungutku.

"Hehehe... Maaf lagian kamu dari tadi aku panggil gak jawab-jawab. Ayuk buruan ke Perpus," kata Rosi.

"Ayuk."

Kami pun berjalan sambil sesekali bercanda.

*****

Aku tengah menstarter motorku secara manual. Nasib karena aki motor sudah soak harus ganti tapi belum ada duit. Hiks... Hiks... Nasib. Mana pake rok lagi, lupa aku.

"Nasha," sebuah suara memanggilku.

"Feri."

"Kenapa motornya?" tanyanya.

"Hehehe. Harus di starter manual," jawabku sambil cengengesan.

"Hahaha. Sini aku bantu." Feri langsung membantuku. Yap tuh kan langsung hidup.

"Habis ini mau kemana?" tanyanya saat aku mulai menaiki motor.

"Mau langsung balik."

"Makan dulu yuk. Mumpung jam 1, nih. Udah makan belum?"

"Belum. Niatnya mau makan di rumah makanya langsung pulang ini."

"Makan dulu ya sama aku. Lagian lama kita gak ngobrol," pintanya.

"Tapi nanti kalau motornya gak bisa aku starter lagi gimana?" terangku ragu.

"Hahaha. Ampun deh Na, kan ada aku."

"Oh iya. Hahaha. Maklum panik takut gak bisa starter manual lagi."

"Ya udah yuk, kita ke WS ‘Warung Stik’ aja ya. Sana berangkat dulu nanti aku nyusulin di belakang. Ntar paling kamu aku salip."

"Hahaha. Tahu aja kamu, aku gak bisa naik motor cepet-cepet."

"Hahaha. Tahulah. Ayuk."

Kami pun segera menuju ke WS. Disana kami pun makan sambil ngobrol.

Ternyata Feri masih seperti dulu, ramah dan supel. Calon kandidat pacar ini. Asek... Ups. Hahaha.

*****

"Duh yang kemarin makan bareng sama gebetan," Rosi mulai melancarkan aksi menggodaku.

"Hehehe. Kok tahu. Emang kamu dimana? Kok aku gak tahu."

"Ya mana tahulah, kamunya asik gitu sama gebetannya."

"Lah, kamu kemarin ke WS juga?"

"Iya, aku di kursi paling pojok sebelah Selatan."

"Masa sih? Kok gak nyapa aku?"

"Maunya. Tapi gak enak takut ganggu," Rosi menyeringai jahil.

"Hahaha... Ish. Kayak sama siapa aja. Sapa aja lagi."

"Eh... Tapi bukannya yang kemarin makan sama kamu si anak Hukum ya? Feri kalau gak salah."

"Yupz... Masih inget aja Non sama namanya," ucapku sambil menyentuhkan bahuku pada bahunya.

"Hehehe. Ingetlah. Orang ganteng mana sih yang gak aku ingat. Kami pun tertawa terbahak menertawakan kekonyolan Rosi. Ya begitulah Rosi, radarnya sangat tajam kalau sudah mengenai cowok cakep.

*****

"Nasha," panggilan ibuku menyahut merdu.

"Ada apa Ibuku sayang?" Ciri khas Ibu, suara melengking dan tak mau berhenti kalau belum ditindaklanjuti.

"Tuh, ada temenmu datang. Uluh-uluh bungsu Ibu. Udah gede. Udah ada yang ngapelin."

"Hah, siapa yang ngapelin Bu?" aku syok mendengar ada cowok yang ngapelin aku. Di hari Minggu masih jam 9 pagi juga. Wow keajaiban dunia. Sepertinya status jomblo abadiku sedikit goyah.

Aku pun segera menuju ruang tamu dan awuwu... Kaget. Ternyata Feri yang datang. Aku pikir dia cuma bercanda ternyata beneran mau main. Oh, lihatlah senyum manisnya. Duh bikin meleleh hati. Hem... Aku akan pertimbangkan jadi pacar kalau dia nembak dech. Eh... Emangnya dia suka sama aku ya. Ckckck haluku terlalu tinggi.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Setio Purbo
wow.orang puerti rico kah si thor?
goodnovel comment avatar
Rani Hermansyah
jangan lupa mampir ya di karya receh ku Istri yang Tak Dirindukan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status