Share

3. Pacar Pertamaku

"Nasha."

"Feri."

Aku terkejut melihat Feri yang baru turun dari motornya.

"Ada apa?"

"Mau ketemu Mbak Nisha."

"Hah? Ngapain? Mbak Nisha kan udah punya Mas Rayyan?" 

Feri terkekeh. Aku menatapnya bingung. Kenapa sih dia?

"Kamu ya Na, beneran polos."

"Polos gimana?"

"Ya aku nyari kamu lah, mau jemput kamu. Ck. Masa Mbak Nisa."

Mataku membelalak. Astaga. Apa ini? Apa ini berarti?

"Na ... Na ... Nasha!" Suara Feri terdengar lebih tinggi. Aku terkesiap.

"Eh ... i-iya hehehe." Aku memasang senyum paling menawan yang kupunya.

Tiba-tiba Feri terdiam. Padangan matanya fokus kearahku. 

"Kamu kenapa Fer?"

"Eh, enggak kok."

"Hahaha. Kok gantian sih. Tadi aku sekarang kamu."

"Udah yuk berangkat. Keburu siang."

"Oke."

Aku segera menuju ke motorku dan hendak memasukkan kuncinya.

"Loh Na, kamu ngapain?"

"Nyalain motorku dong."

"Ck. Terus gunanya aku kesini buat apa?"

Aku diam. Astaga. Aku menatap kikuk ke arah Feri.

"Udah sini bareng aku. Sebelumnya aku mau minta ijin dulu sama orang tua kamu."

Feri langsung masuk ke rumahku. Karena hanya ada Ibu, ia akhirnya ijin ke ibuku. Sungguh ada yang berdesir di dadaku ketika menyaksikan bagaimana Feri begitu sopan terhadap ibuku. 

"Kami berangkat dulu Tante."

"Iya Nak Feri. Hati-hati ya. Jangan ngebut!" pesan Ibu.

"Siap Tante. Pokoknya Nasha dijamin aman sama saya."

Ibu hanya tertawa. Kami pun berpamitan dan aku segera membonceng Feri. 

Sepanjang perjalanan kami bercerita. Sosok Feri yang supel dan aku yang juga cerewet membuat perjalanan dari Jatilawang menuju Purwokerto terasa dekat.

"Kamu kuliah sampai jam berapa?" tanya Feri ketika aku melepas helmku.

"Jam satu. Kamu?"

"Sama. Nanti aku jemput ya."

"Oke."

"Siniin helmnya."

"Kenapa?" Aku menatap Feri bingung.

"Buat jaminan biar kamu gak bisa kabur."

"Astaga. Ya Allah Fer."

Dia hanya tersenyum lalu pamit menuju Fakultas Hukum.

Aku masih mengamati Feri sampai bayangannya lenyap.

Plak.

"Astagfirullah. Ros! Kaget tahu!" sungutku.

"Hehehe. Lagian kamu lihat apaan? Dipanggil dari tadi gak jawab."

"Hehehe. Enggak kok. Yuk masuk. Lima menit lagi Bu Wuri kan ngajar."

Aku langsung menarik tangan Rosi, berusaha menghentikan rasa ingin tahunya yang sudah kategori level tertinggi. Hal itu bisa kulihat dari sorot matanya.

******

Dua bulan semenjak perjumpaan kami di koridor menuju Perpus pusat, aku dan Feri akhirnya jadian. Akhirnya aku punya pacar. Hahaha. Pacar pertamaku insya Allah jadi calon suamiku juga eaaa.

Aku memang selalu mencontoh Mbakku. Mbak Nisha gak pernah neko-neko, sekolah selalu peringkat tiga besar di kelas. Manut sama orang tua. Bahkan Mbak Nisha juga gak pernah pacaran, sekalinya punya pacar eh mau jadi calon suami. Mana calonnya berkualitas lagi. Pokoknya gitu, aku selalu menjadikan Mbak Nisha contoh yang baik bagi hidupku. 

Dalam segala hal kami sangat mirip bahkan tinggi kami hampir sama mungkin aku sedikit lebih tinggi beberapa senti. Kulit kami sama-sama putih hanya bentuk muka saja yang berbeda. Mbak Nisha bentuk muka oval dengan pipi tirus dan mata sipit. Kalau mukaku bulat dengan pipi chubby dan mata bulat.

"Duh ... yang mau ngedate." Mbak Nisha menghampiriku dan duduk di ranjang.

"Hehehe. Ah, Mbak Nisha. Mbak Nisha kok gak jalan sama Mas Rayyan."

"Mas Rayyan ada operasi mendadak. Dia sedang membantu dr. Satrio."

"Oooo. Emangnya Mas Rayyan mau ambil spesialis apa nantinya? "

"Bedah. Tapi nanti kayaknya. Nunggu kita nikah dulu."

"Wuih cakep bener dech calonnya Mbak. Ah, jadi pengen Mas Rayyan jadi suamiku dech."

"Apa?" mata Mbak Nisha memelototiku.

"Hahaha. Maksud Na, pengen suami Na besok kayak Mas Rayyan sifatnya."

"Dasar usil kamu." Mbak Nisha memukul pelan bahuku. Lalu kami tertawa bersama.

*****

"Seger ya udaranya." Saat ini kami berada di pantai Menganti. 

"Iya seger, tapi medan ke sininya gak kuat aku," aku menggerutu.

"Tapi setimpal kan dengan keindahannya?" ucap Feri.

Aku mengangguk. Benar apa katanya, pantai ini sungguh indah.

Kami terdiam cukup lama menikmati sejuknya udara pantai. Tiba-tiba kedua tangannya melingkari bahuku. Aku bergetar, antara takut dan malu. Lama- kelamaan wajahnya memperpendek jarak kami berdua hingga jarak kami hanya sekitar lima senti. Lalu... Hap.

Aku meletakkan telapak kananku pada mukanya. Hampir saja fiuh. Feri nampak kecewa, bisa kulihat dari raut wajahnya.

"Maaf Fer, aku pantang berbuat lebih karena semua akan aku serahkan pada suamiku kelak. Jadi, jika kita berjodoh maka semuanya akan aku serahkan kepadamu. Terserah kamu. Kalau kamu mampu bertahan kita lanjut kalau enggak aku gak maksa." tuturku panjang lebar.

Feri hanya terdiam, cukup lama kami saling diam. Tapi kemudian Feri tersenyum lembut kearahku.

"Maaf, aku pikir ini adalah wujud kasih sayangku. Gak papa kok. Aku sayang kamu Na. Aku akan tunggu kamu sampai kita jadi pasangan halal. Tapi janji, harus setia sama aku ya?"

"Iya. Janji. Kamu juga jangan selingkuh ya? Dijaga tuh nafsunya."

"Idih. Emangnya aku cowok apaan?" tuturnya dengan gaya kemayu.

Kami tertawa bersama. Selanjutnya obrolan tercipta dan tidak membahas lagi tentang ciuman yang gagal.

*****

Tiga bulan sudah kami berpacaran. Suka duka kami lewati bersama. Belajar dari pengalaman di pantai Menganti, aku tak pernah pergi berdua lagi. Selalu aku membawa serta Rosi untuk menemaniku. Biar gak ada setan diantara kami. Tapi bukan Rosi juga setannya.

Sedangkan acara pernikahan Mbak Nisha kurang dari satu bulan. Segala persiapan sedang dilakukan. Kadang kulihat mereka jalan berdua untuk membeli segala tetek bengek pernikahan. Hingga kulihat Mas Rayyan mengantarkan Mbak Nisha pulang. Mereka baru saja tugas malam, terlihat sangat kelelahan. Iseng aku mengintip mereka.

"Langsung mandi, istirahat, gak boleh kemana-mana, gak boleh capek!" titah Mas Rayyan.

"Iya. Mas juga. Hati-hati ya pulangnya."

"Iya. Udah masuk gih."

"Mas dulu sana yang pergi. Nanti baru aku masuk."

"Kamu dulu, pokoknya Mas baru pergi kalau udah memastikan calon istri Mas masuk rumah."

"Tapi aku mau nungguin Mas," ya ampun baru tahu aku kalau Mbakku punya bakat manja.

"Hehehe. Ya udah. Mas pulang yah." Mas Rayyan menyentuhkan bibirnya ke jari telunjuk dan tengahnya yang menyatu kemudian dia tempelkan ke bibir Mbak Nisha. Aw... Aw... Aku kok meleleh ya.

"Ish... Mas mesum." Mbak Nisha cemberut tapi pipinya memerah.

"Hahaha. Polos sekali calon istriku. Belum diapa-apain udah merah aja. Belum yang iya-..."

"Massss, udah pulang sana," muka Mbak Nisha semakin memerah.

"Hahaha. Oke Mas pulang. Sabar ya cinta sebulan lagi. Muah." Mas Rayyan melampaikan kiss bye lewat tangannya. Kemudian naik ke mobilnya dan melaju membelah jalanan.

Aku segera berlalu takut dikira ngintip, padahal emang ngintip. Hahaha. Dalam hati aku berdoa semoga Feri seperti Mas Rayyan. Lelaki baik yang mampu menjaga hati dan menjunjung tinggi kehormatan kami. Amin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status