"Nasha."
"Feri."Aku terkejut melihat Feri yang baru turun dari motornya."Ada apa?""Mau ketemu Mbak Nisha.""Hah? Ngapain? Mbak Nisha kan udah punya Mas Rayyan?" Feri terkekeh. Aku menatapnya bingung. Kenapa sih dia?"Kamu ya Na, beneran polos.""Polos gimana?""Ya aku nyari kamu lah, mau jemput kamu. Ck. Masa Mbak Nisa."Mataku membelalak. Astaga. Apa ini? Apa ini berarti?"Na ... Na ... Nasha!" Suara Feri terdengar lebih tinggi. Aku terkesiap."Eh ... i-iya hehehe." Aku memasang senyum paling menawan yang kupunya.Tiba-tiba Feri terdiam. Padangan matanya fokus kearahku. "Kamu kenapa Fer?""Eh, enggak kok.""Hahaha. Kok gantian sih. Tadi aku sekarang kamu.""Udah yuk berangkat. Keburu siang.""Oke."Aku segera menuju ke motorku dan hendak memasukkan kuncinya."Loh Na, kamu ngapain?""Nyalain motorku dong.""Ck. Terus gunanya aku kesini buat apa?"Aku diam. Astaga. Aku menatap kikuk ke arah Feri."Udah sini bareng aku. Sebelumnya aku mau minta ijin dulu sama orang tua kamu."Feri langsung masuk ke rumahku. Karena hanya ada Ibu, ia akhirnya ijin ke ibuku. Sungguh ada yang berdesir di dadaku ketika menyaksikan bagaimana Feri begitu sopan terhadap ibuku. "Kami berangkat dulu Tante.""Iya Nak Feri. Hati-hati ya. Jangan ngebut!" pesan Ibu."Siap Tante. Pokoknya Nasha dijamin aman sama saya."Ibu hanya tertawa. Kami pun berpamitan dan aku segera membonceng Feri. Sepanjang perjalanan kami bercerita. Sosok Feri yang supel dan aku yang juga cerewet membuat perjalanan dari Jatilawang menuju Purwokerto terasa dekat."Kamu kuliah sampai jam berapa?" tanya Feri ketika aku melepas helmku."Jam satu. Kamu?""Sama. Nanti aku jemput ya.""Oke.""Siniin helmnya.""Kenapa?" Aku menatap Feri bingung."Buat jaminan biar kamu gak bisa kabur.""Astaga. Ya Allah Fer."Dia hanya tersenyum lalu pamit menuju Fakultas Hukum.Aku masih mengamati Feri sampai bayangannya lenyap.Plak."Astagfirullah. Ros! Kaget tahu!" sungutku."Hehehe. Lagian kamu lihat apaan? Dipanggil dari tadi gak jawab.""Hehehe. Enggak kok. Yuk masuk. Lima menit lagi Bu Wuri kan ngajar."Aku langsung menarik tangan Rosi, berusaha menghentikan rasa ingin tahunya yang sudah kategori level tertinggi. Hal itu bisa kulihat dari sorot matanya.******Dua bulan semenjak perjumpaan kami di koridor menuju Perpus pusat, aku dan Feri akhirnya jadian. Akhirnya aku punya pacar. Hahaha. Pacar pertamaku insya Allah jadi calon suamiku juga eaaa.Aku memang selalu mencontoh Mbakku. Mbak Nisha gak pernah neko-neko, sekolah selalu peringkat tiga besar di kelas. Manut sama orang tua. Bahkan Mbak Nisha juga gak pernah pacaran, sekalinya punya pacar eh mau jadi calon suami. Mana calonnya berkualitas lagi. Pokoknya gitu, aku selalu menjadikan Mbak Nisha contoh yang baik bagi hidupku. Dalam segala hal kami sangat mirip bahkan tinggi kami hampir sama mungkin aku sedikit lebih tinggi beberapa senti. Kulit kami sama-sama putih hanya bentuk muka saja yang berbeda. Mbak Nisha bentuk muka oval dengan pipi tirus dan mata sipit. Kalau mukaku bulat dengan pipi chubby dan mata bulat."Duh ... yang mau ngedate." Mbak Nisha menghampiriku dan duduk di ranjang."Hehehe. Ah, Mbak Nisha. Mbak Nisha kok gak jalan sama Mas Rayyan.""Mas Rayyan ada operasi mendadak. Dia sedang membantu dr. Satrio.""Oooo. Emangnya Mas Rayyan mau ambil spesialis apa nantinya? ""Bedah. Tapi nanti kayaknya. Nunggu kita nikah dulu.""Wuih cakep bener dech calonnya Mbak. Ah, jadi pengen Mas Rayyan jadi suamiku dech.""Apa?" mata Mbak Nisha memelototiku."Hahaha. Maksud Na, pengen suami Na besok kayak Mas Rayyan sifatnya.""Dasar usil kamu." Mbak Nisha memukul pelan bahuku. Lalu kami tertawa bersama.*****"Seger ya udaranya." Saat ini kami berada di pantai Menganti. "Iya seger, tapi medan ke sininya gak kuat aku," aku menggerutu."Tapi setimpal kan dengan keindahannya?" ucap Feri.Aku mengangguk. Benar apa katanya, pantai ini sungguh indah.Kami terdiam cukup lama menikmati sejuknya udara pantai. Tiba-tiba kedua tangannya melingkari bahuku. Aku bergetar, antara takut dan malu. Lama- kelamaan wajahnya memperpendek jarak kami berdua hingga jarak kami hanya sekitar lima senti. Lalu... Hap.Aku meletakkan telapak kananku pada mukanya. Hampir saja fiuh. Feri nampak kecewa, bisa kulihat dari raut wajahnya."Maaf Fer, aku pantang berbuat lebih karena semua akan aku serahkan pada suamiku kelak. Jadi, jika kita berjodoh maka semuanya akan aku serahkan kepadamu. Terserah kamu. Kalau kamu mampu bertahan kita lanjut kalau enggak aku gak maksa." tuturku panjang lebar.Feri hanya terdiam, cukup lama kami saling diam. Tapi kemudian Feri tersenyum lembut kearahku."Maaf, aku pikir ini adalah wujud kasih sayangku. Gak papa kok. Aku sayang kamu Na. Aku akan tunggu kamu sampai kita jadi pasangan halal. Tapi janji, harus setia sama aku ya?""Iya. Janji. Kamu juga jangan selingkuh ya? Dijaga tuh nafsunya.""Idih. Emangnya aku cowok apaan?" tuturnya dengan gaya kemayu.Kami tertawa bersama. Selanjutnya obrolan tercipta dan tidak membahas lagi tentang ciuman yang gagal.*****Tiga bulan sudah kami berpacaran. Suka duka kami lewati bersama. Belajar dari pengalaman di pantai Menganti, aku tak pernah pergi berdua lagi. Selalu aku membawa serta Rosi untuk menemaniku. Biar gak ada setan diantara kami. Tapi bukan Rosi juga setannya.Sedangkan acara pernikahan Mbak Nisha kurang dari satu bulan. Segala persiapan sedang dilakukan. Kadang kulihat mereka jalan berdua untuk membeli segala tetek bengek pernikahan. Hingga kulihat Mas Rayyan mengantarkan Mbak Nisha pulang. Mereka baru saja tugas malam, terlihat sangat kelelahan. Iseng aku mengintip mereka."Langsung mandi, istirahat, gak boleh kemana-mana, gak boleh capek!" titah Mas Rayyan."Iya. Mas juga. Hati-hati ya pulangnya.""Iya. Udah masuk gih.""Mas dulu sana yang pergi. Nanti baru aku masuk.""Kamu dulu, pokoknya Mas baru pergi kalau udah memastikan calon istri Mas masuk rumah.""Tapi aku mau nungguin Mas," ya ampun baru tahu aku kalau Mbakku punya bakat manja."Hehehe. Ya udah. Mas pulang yah." Mas Rayyan menyentuhkan bibirnya ke jari telunjuk dan tengahnya yang menyatu kemudian dia tempelkan ke bibir Mbak Nisha. Aw... Aw... Aku kok meleleh ya."Ish... Mas mesum." Mbak Nisha cemberut tapi pipinya memerah."Hahaha. Polos sekali calon istriku. Belum diapa-apain udah merah aja. Belum yang iya-...""Massss, udah pulang sana," muka Mbak Nisha semakin memerah."Hahaha. Oke Mas pulang. Sabar ya cinta sebulan lagi. Muah." Mas Rayyan melampaikan kiss bye lewat tangannya. Kemudian naik ke mobilnya dan melaju membelah jalanan.Aku segera berlalu takut dikira ngintip, padahal emang ngintip. Hahaha. Dalam hati aku berdoa semoga Feri seperti Mas Rayyan. Lelaki baik yang mampu menjaga hati dan menjunjung tinggi kehormatan kami. Amin."Guys. Coba kalian tengok arah jam sembilan. Ya Allah nikmat-Mu sungguh luar biasa," heboh Gita salah satu teman sekelasku."Mana-mana." Jeni si centil menjadi sangat antusias."Oooh .... " ucap mereka berempat berbarengan.Aku hanya terkekeh melihat keempat sahabatku dengan tingkah nyelenehnya. Maklum, mereka akan seperti ini kalau ketemu cogan alias cowok ganteng.Aku, Rosi, Jeni, Gita dan Lusi adalah sahabat karib. Geng kami terdiri dari 5 cewek dan 2 cowok. Dino dan Leo tidak ikut karena ada urusan pribadi jadi habis seminar langsung pergi.Saat ini, kami sedang berada di cafe di daerah Unsoed. Setelah mengikuti seminar akhirnya kami memutuskan untuk makan dulu. Sebelum melanjutkan jalan-jalan ke mall."Nasha. Kamu disini?" seseorang menyapaku, Mas Rayyan. Mas Rayyan tersenyum dan kubalas senyumnya.Kulihat semua teman gengku melongo menatap Mas Rayyan. Aku terkekeh melihat ekspresi mereka. Apa aku juga kayak mereka ekspresinya ya? Pas ke
Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan area."Kamu kemana sih Fer? Susah sekali dihubungi. Mana Huda lagi sibuk gak bisa jemput, lagi. Gak mungkin aku minta Mbak Nisha jemput soalnya dia piket malam. Huft," gerutuku.Akhirnya aku pasrah dan menunggu angkot di halte kampus. Andai motorku gak ngadat, pasti gak bakalan pulang pergi naik bus disambung angkot.Tin ... Tin.Aku menoleh kearah orang yang membunyikan klakson motor. Aku berdiri dan menghampiri si empunya motor."Kok belum pulang?""Belum dapat angkot Mas. Mas Rayyan anterin Na ke Tanjung ya? Nanti Na nunggu bus disana. Kalau nunggu disana bisa naik bus malam jurusan Bandung juga. Banyak alternatif pokoknya.""Ayuk naik.""Oke. Makasih Mas."Aku segera membonceng Mas Rayyan. Untung tadi pakai celana panjang kalau enggak rempong naiknya. Selama perjalanan aku mengajaknya ngobrol seperti biasa. Kadang malah disertai derai tawa."Loh-loh, kok turun
"Kapan cutinya Mbak?" saat ini aku sedang membantu Mbak Nisha membuat kue untuk acara hajatan nanti."Hari Jumat, Dek.""Gak kemepeten itu Mbak? Minggu aja akad loh?""Gak bisa Dek. Mau ada akreditasi jadi Mbak pengin semua tanggungjawab Mbak selesai sebelum Mbak nikah. Masmu aja malah cutinya H-1, Dek.""Astaga. Besok aku mau jadi dokter Puskesmas ajalah yang gak sibuk," jawabku cengengesan."Hahaha. Kata siapa gak sibuk? Sama aja kali tapi iya sih kalau di Puskesmas gak terlalu capek. Kalau mau jadi dokter Puskesmas usahain PNS dulu lah. Kalau enggak nanti gajinya gak seberapa.""Iya-iya yang kerjanya di rumah sakit swasta gede, gajinya gede pula.""Tapi tanggung jawabnya juga gede Dek," timpal Mbakku."Iya sih."*****"Rosi," aku berlari menghampiri Rosi."Eh... Nasha," kulihat Rosi nampak gugup melihatku."Kamu lagi ngapain?" tanyaku."Aku... Aku... ""Sori. La... Nasha," kulihat Feri berjalan dari arah toilet
"Na, tolong kamu beliin beberapa keperluan di Moro aja ya? biar lebih murah.""Iya Bu, nanti Nasha naik Grab aja. Kasihan Ayah.""Iya, apa kamu ditemani sama Huda aja, Na?""Gak usah Bu! Kasihan Huda, mungkin dia juga lagi capek. Udah Na sendiri aja.""Ya sudah, hati-hati ya Nduk.""Iya Bu."Aku segera memesan Grab melalui aplikasi di ponselku. Kurang dari lima belas menit Grab datang dan aku langsung naik.Sekitar empat puluh lima menit, aku sampai di Moro. Langsung saja aku mengambil keranjang dan mengisinya dengan berbagai keperluan seperti yang tertera di daftar belanjaan yang sudah ibuku buat.Setelah selesai berbelanja dan membayarnya di kasir, aku menitipkan barang belanjaanku di penitipan barang. Aku ingin membeli beberapa novel baru sebagai bahan bacaan. Saat aku hendak menuju ke area bookstore, mataku membelalak melihat pasangan yang tengah berjalan mesra. Refleks aku bersembunyi dan memilih memperhatikan mereka
Aku tengah menyusuri koridor kampus dengan hati gembira. Akhirnya judul skripsiku di acc. Biar bisa mulai nyicil hehehe. Entah kenapa sepanjang jalan kulihat semua mata memandang ku. Apa ada yang aneh ya dengan penampilanku. Aku mencoba melihat penampilanku sepertinya tidak ada.Aku segera menuju salah satu gazebo jurusan, mau nunut wifi gratis guna mencari beberapa sumber tambahan skripsi."Na." panggilan seseorang kepadaku.Aku menoleh kulihat ketiga temanku sedang berlari menuju ke arahku. Nafas mereka ngos-ngosan kayak baru dikejar satpam aja."Kamu... Kamu... Udah tahu belum." tanya Gita."Udah tahu apa?" aku bingung."Nih... Lihat ini." Lusi menyerahkan Hpnya padaku. Aku melihat ada file video. Segera kuputar dan astaghfirullah refleks aku melempar Hp tersebut. Jeni mencoba menangkapnya dan untung berhasil.Mataku memerah. Campuran antara marah, kecewa dan sedih. Ya Alloh, apa yang dipikirkan oleh mereka.
Sejak terkuaknya video yang menghebohkan kampusku. Feri dan Rosi di DO dari universitas. Bahkan kudengar mereka akan menikah karena Rosi hamil dan orangtuanya meminta pertanggungjawaban Feri. Syukurlah kalau mereka akhirnya menikah.Aku sudah tak pernah berhubungan dengan mereka berdua. Bahkan semua gengku pun sudah lama tak menyapa Rosi semenjak ketahuan merebut pacar eh ralat mantan pacarku.Dino pun sepertinya sudah kembali ceria. Aku tahu dia juga sangat patah hati. Perjuangan cintanya sia-sia. Semoga kamu dapat pengganti yang lebih baik Dino. Doaku untukmu.*****Hari ini aku menemani ayah ibu mengunjungi rumah sakit tempat mbak Nisha kerja selama ini. Kami baru sempat mengambil semua barang mbak Nisha yang masih tertinggal. Selain itu bermaksud menemui pimpinan untuk mengucapkan permohonan maaf dan ucapan terima atas semua kebaikan beliau untuk keluarga kami.Karena kebelet pipis. Aku ijin ke kamar mandi dulu. Ayah dan ibu langsun
*Lima Tahun Kemudian*Aku berjalan menelusuri koridor Puskesmas Sokaraja II. Aku ditempatkan di sini setelah lulus tes CPNS, dua tahun lalu.Ayah dan Ibu memutuskan ikut denganku. Ayah membeli rumah di Sokaraja. Karena toh Ayah sudah pensiun dari kerjaan beliau sebagai guru. Sedangkan Ibu cuma ibu rumah tangga. Sehingga mereka malah dengan senang hati mengikutiku yang kini menjadi anak semata wayang mereka.Rumah di Jatilawang ditempati Huda untuk sementara waktu sampai dia punya rumah sendiri. Usia Huda sepantaran Mbak Nisha. Dia sudah menikah dan punya satu putri yang cantik. Kalian mau tahu siapa istrinya? Dia tak lain dan tak bukan adalah drg. Sagita Prastika hahaha. Yap, salah satu sahabatku, Gita. Entah bagaimana mereka jatuh cinta, tahu-tahu nikah aja. Dino dan Lusi juga sudah menikah dengan pilihan mereka. Sedangkan Leo, Jeni dan aku, kami masih asik sendiri."Pagi dr. Nasha," sapa Suster Mira yang bertugas menemaniku di poli gigi."Pagi Suster Mira,
Awal bulan merupakan waktu buat belanja bulanan. Seperti biasa aku dan Ibu akan berbelanja di Moro membeli segala keperluan untuk satu bulan mendatang seperti persediaan shampo, sabun, detergen, minyak, kecap, saus, bumbu-bumbu dan masih banyak lagi.Namanya wanita, terkadang kami khilaf. Jatah yang harus kami beli satu jadinya dua atau tiga atau lima kalau ada promo. Mumpung promo ceritanya jadi beli lebih banyak."Udah semua Bu? Ada yang masih belum kebeli gak?" tanyaku sambil mendorong troli."Kayaknya udah semua Na. Tapi coba Ibu cek dulu."Ibu sibuk mengecek daftar belanjaan dengan barang yang sudah kami ambil."Udah semua Dek. Nanti jangan lupa mampir beli baju anak ya buat nengokin cucunya Bu Mulyo," titah Ibu."Mbak Hana udah ngelahirin ya Bu?""Iya, anaknya cowok. Ganteng." Ibu kelihatan sumringah sekali."Jelas gantenglah orang Bapak Ibunya juga cakep.""Coba kalau itu cucunya Ibu. Tambah seneng Ibu." Ibu mulai mengu