(Bukan) Istri Pilihan - Frustasi Author's POV "Apa yang harus mas lakukan?" tanya Yoshi lagi dengan tatapan penuh pengharapan."Aku sebenarnya sudah bilang kalau memaafkanmu kan, Mas? Aku sudah memaafkan dan aku memilih mundur. Mas, nggak perlu melakukan apapun untuk mendapatkan maaf dariku. Bahkan aku juga nggak meminta syarat, akan memaafkan dengan imbalan perceraian. Aku memaafkan, Mas. Dan aku minta tolong segera selesaikan perceraian kita. Talak ada di tangan, Mas. Kurasa nggak susah untuk mengatakannya. Aku tunggu itu loh!"Tenggorokan Yoshi tersekat. Seolah ada benda sebesar bola pingpong menyumbat di sana. Berulang kali ia minum air putih untuk melonggarkannya. Dalam dada juga terasa sakitnya."Empat tahun Mas sudah nyaman dengan apa yang kalian lakukan di belakangku. Jika sekarang aku yang memilih untuk menyudahi, bukankah ini memudahkan Mas untuk pergi. Mereka menunggumu.""Mas akui kalau salah, Nas. Tapi nggak akan ada perceraian di antara kita. Tolonglah beri mas kesemp
Anastasya tidak berkata apa-apa. Setelah melepaskan genggaman tangan sang suami, dia langsung masuk mobil dan duduk di bangku tengah. Fauzi tersenyum pada Yoshi kemudian duduk di belakang kemudi."Bu, saya minta nomer ponselnya Ibu." Yoshi mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Bu Eri bingung. Dikasih atau tidak. Karena tidak enak kalau menolak, akhirnya wanita itu menyebut sederet angka."Makasih, Bu.""Kami pergi dulu, Nak Yoshi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Bu."Bu Eri duduk di sebelah Anastasya dan mobil bergerak meninggalkan halaman apartemen. Yoshi memperhatikan kepergian sang istri dengan perasaan frustasi. Inilah puncak di mana ia takut kehilangan Anastasya. Belum pernah istrinya berkata seperti tadi. Mengungkapkan semua hal yang menguliti Yoshi.***L***Yoshi masih di kantornya. Duduk berdua bersama Egi. Sidang perkara perdata di mulai jam sepuluh pagi. Jadi masih ada waktu untuk mereka ngobrol berdua. Bukan membahas kasus yang akan dihadapi nanti, justru
(Bukan) Istri Pilihan - Di mana dia?Author's POVSepertinya Fauzi telah mematikan akses lokasi pada Google di handphone ibunya. Juga pengaturan lokasi pengguna. Rupanya sudah di antisipasi sebelumnya. Makanya tidak terlacak oleh Yoshi tentang keberadaan mereka sekarang ini.Bisa jadi sebelum ini, Fauzi sudah tidak mengaktifkan lokasi. Agar tidak terlacak oleh ibu tirinya. Walaupun Bu Mega tidak pernah kelayapan mencari dan bertemu dengan ibu Eri. Tapi memendam perasaan masing-masing, itu seperti ancaman dan menyimpan api dalam sekam. Yang sewaktu-waktu bisa meledak, membakar, dan membumihanguskan semua yang ada.Dalam pandangan Yoshi, Fauzi ini pemuda yang luar biasa. Tidak jumawa ketika mendapatkan seorang ayah sambung seorang jutawan. Menyimpan luka, menyembunyikan perasaan sebenarnya yang menolak jika ibunya menjadi wanita kedua. Namun sebagai anak, ia menghormati keputusan itu. Mungkin Pak Bastian adalah kebahagiaan yang selama ini dicari ibunya. Seringnya bertemu, menumbuhkan s
"Apa kamu yang ngajarin Ayun agar bilang kalau Anastasya itu Tante jahat?"Mayang kaget dan spontan berubah pias. "Siapa yang bilang? Aku mana mungkin ngajarin Ayun seperti itu," sangkal Mayang."Mungkin Nastasya salah paham padaku, Mas. Dia kan yang ngomong gitu?""Bukan.""La-lalu siapa?""Ayun sendiri yang ngasih tahu aku. Kamu dan neneknya yang ngajarin dia ngomong seperti itu."Wajah Mayang merah padam. Malu, takut, dan tentu saja khawatir. Jika Yoshi percaya omongan Ayun, apa yang berusaha ia tutupi selama ini, usahanya untuk mendapatkan Yoshi kembali, tidak akan pernah ia bisa raih lagi."Itu hanya omongan anak-anak, Mas." Mayang mengalihkan pandangan ke luar kafe. Wajahnya pias."Anak-anak nggak mungkin berbohong kecuali sudah di dikte, May. Aku terlalu mempercayai kalian hingga membuatku tidak mempercayai Anastasya. Padahal dia istriku sekarang. Dia sedang hamil tujuh bulan."Mayang menatap Yoshi. Kaget bercampur kecewa. "Jadi beneran dia hamil?""Ya."Hening. Mayang mulai gu
(Bukan) Istri Pilihan - Kidung SunyiAuthor's POVAnastasya diam memandang ponsel yang diulurkan oleh Bu Eri. Kenapa ibu tirinya menerima telepon dari Yoshi. Padahal tadi siang ia sudah bilang kalau tidak perlu menerima panggilannya. Tapi, Anastasya melihat itu nomer berbeda.Fauzi yang duduk di sebelah sang ibu memandang Anastasya sekilas. Kemudian mengalihkan perhatian pada layar televisi yang menyala."Maaf, ibu terlanjur menjawabnya tadi," ucap Bu Eri lagi."Nggak apa-apa, Bu." Anastasya mengambil ponsel. Kemudian dengan susah payah ia berdiri di bantu Bu Eri. Kehamilannya seolah tidak seimbang dengan ringkihnya badan. Wanita itu masuk kamar dan duduk di tepi dipan."Halo.""Sayang, kamu di mana?" Terdengar Yoshi tidak sabar untuk segera tahu keberadaannya. Nada suaranya terburu-buru dan terdengar cemas."Aku di Malang.""Malangnya di mana?""Aku nggak tahu. Kami ada di rumah keluarga ayahnya Mas Fauzi.""Besok mas longgar. Kasih alamatnya, besok mas akan susul kalian."Anastasya
Mungkin Bu Mega makin marah karena Anastasia dekat dengan dirinya dan sang ibu. Yang notabene dianggap rival olehnya. Andai bisa memilih, Fauzi tidak ingin menjalani hidup seperti ini. Seandainya dulu dia sudah besar dan bisa mencukupi kebutuhan ibunya, tidak akan membiarkan sang ibu menjadi wanita kedua.Namun jujur saja. Ia melihat Pak Bastian dan ibunya sangat bahagia meski tidak tentu waktunya untuk bertemu. "Mama tuh sayangnya cuman sama Mbak Lidia dan Mbak Sinta, Mas. Sejak kecil aku sudah biasa di marahi, di maki, kalau buat salah atau lambat mengerjakan sesuatu. "Seandainya aku pinter, aku pengen jadi psikolog. Aku bisa menentukan keputusanku sendiri untuk membantu orang lain. Pilihan kedua aku pengen jadi guru Taman Kanak-kanak. Tiap hari berkumpul bersama anak-anak di sekolah. Tapi mama menentangnya. Aku juga sempat memilih untuk mondok saja. Mama nggak merespon dan malah bilang alangkah baiknya kalau aku segera menikah.""Mas Yosh itu baik. Ganteng lagi." Anastasya terkek
(Bukan) Istri Pilihan - Terserah Author's POV"Pa, kenapa papa nggak ngasih tahu kalau Nastasya hamil? Kenapa diam saja selama ini?" tanya Bu Mega pada sang suami yang berada di ruang kerjanya.Jam sembilan pagi tadi, Pak Bastian baru tiba di rumah setelah dua hari ada pekerjaan di Jakarta. Bukan disambut hangat, langsung dicerca pertanyaan."Mama, tahu dari mana?""Jeng Nana yang cerita." Bu Mega duduk di kursi depan suaminya."Sudah tau hamil kenapa masih keras kepala nggak mau pulang ke suamiya. Memangnya dia bisa menjalani semuanya sendirian? Papa juga diam saja."Pak Bastian meletakkan buku yang dibacanya di atas meja. Kemudian serius memandang sang istri. "Apa pernah Mama bertanya keadaan Sasa? Kalau pun bertanya, hanya untuk marah-marah saja. Menyalahkan Sasa tanpa ngasih kesempatan padanya untuk membela diri.""Dia terlalu berani karena Papa selalu ada di belakangnya. Apa dia pikir, semuanya bisa di selesaikan sendiri. Selain Papa, ada juga yang mendukungnya. Jangan Papa kir
[Maaf, Bu. Sudah sampai mana sekarang?] Bu Eri membaca dari jendela notifikasi. Ia menoleh pada Anastasya yang tampak memejam. [Kami masih mampir ke kota Batu, Nak Yoshi. Nastasya pengen makan buah siwalan.][Nanti biar saya yang belikan di sini.]Bu Eri menghela nafas pelan. Dia terlanjur mengetik yang membuat Yoshi akhirnya tahu. Anastasya pasti kaget kalau sang suami membawakan apa yang ia mau.Jujur ia membenarkan ucapan Yoshi. Permasalahan tak akan selesai tanpa bertemu dan membahasnya bersama. Namun ia pun paham bagaimana perasaan Anastasya. Empat tahun hidup bersama suami yang masih terbelenggu oleh masa lalunya, tentu itu bukan hal yang mudah. Apalagi mantan dan anaknya masih menjadi bayang-bayang sekarang ini.[Jam berapa kira-kira sampai Surabaya, Bu?][Belum tahu, Nak Yoshi. Fauzi juga tidak berani nyetir dengan kecepatan tinggi.][Nggak apa-apa. Saya tunggu.]Setelah dua kali berhenti di toko buah, mobil memasuki gerbang tol yang akan membawa mereka ke Surabaya. Langit di