Home / Romansa / CEO adalah Maut / BAB 1 - Malam penuh gairah

Share

CEO adalah Maut
CEO adalah Maut
Author: LoVelly09

BAB 1 - Malam penuh gairah

Author: LoVelly09
last update Last Updated: 2024-08-20 06:42:32

Jemari lentik dengan pulasan kuteks warna pink neon itu terus menyisir helaian rambut Aryan tanpa berhenti. Jambakannya semakin menguat ketika lembut bibir Aryan menghisap kecil setiap inci tubuh yang sedang bergelinjang nikmat. Desahan saling bersahutan memenuhi ruangan yang mengadopsi arsitektur minimalis modern tersebut. Cermin besar yang membentang seakan merekam penyatuan panas dan penuh mereka.

Lidah Aryan bermain di sekitar puncak dada Vanilla yang sudah mengeras dan mulai memainkannya. Posisi Aryan duduk di pinggiran ranjang, sementara Vanilla berada di pangkuannya.

"Ah ... Aryan!" Vanilla mendongak ketika milik Aryan semakin menghujam miliknya tanpa henti. "Aryan, please ...."

Darah dalam tubuh Vanilla semakin memanas ketika tangan Aryan terus meremas bokong bulatnya. Iris segelap obsidian milik Aryan terus menyorot ke arah Vanilla diikuti desahan yang lolos dari bibirnya. Dua hal yang membuat Vanilla seakan terhipnotis dan ingin mendominasi permainan.

Gerakan pinggul Vanilla yang semula pelan kini semakin cepat. Ia terus menggoyangkan pinggul di atas pangkuan Aryan. Sesekali Vanilla mengigit bibir bawah seraya mengerang penuh kenikmatan. Aryan selalu bisa membuatnya terbang ke langit tujuh. Tidak heran jika julukan Cassanova tersemat pada putra bungsu keluarga Aditama itu. Pria yang ahli dalam bercinta dan membuat Vanilla mampu bertekuk lutut tanpa daya.

"Oh, Aryan!"

"Terus sebut namaku, Vanilla. Aku sangat menyukainya. Oh!"

Pergerakan pinggul Vanilla yang semakin cepat membuat Aryan menengadah dengan kedua tangan mengait pinggang wanitanya. "Ah, good girl!"

Gairah yang terus menggulung langsung menyerang tubuh mereka ketika gelenyar panas mulai terasa akan keluar. Suara erangan dan desahan semakin menggema dan bersahutan dalam ruangan tersebut. Gerakan pinggul Vanilla semakin cepat dan terus meronta penuh kenikmatan.

Hingga tidak lama kemudian Vanilla mengatur napas yang terengah seraya menyatukan kening dengan Aryan. Hidung mancung keduanya saling bertabrakan satu sama lain. Aryan ikut mengatur napas setelah mengeluarkan cairan kepuasan dari tubuh.

"Kamu cantik sekali," ujar Aryan sambil menyelipkan helaian rambut hitam panjang Vanilla ke belakang telinga.

Bibir merah jambu Vanilla tersenyum tipis. Lantas tangannya mengusap pipi kanan Aryan yang basah karena keringat. Kecupan singkat yang diberikan oleh pria yang sudah dekat dengannya selama hampir tiga bulan ini, membuat kedua pipi bersemu merah.

"Kamu sangat hebat," puji Aryan sekali lagi, matanya masih menatap iris kecokelatan Vanilla yang dibingkai kelopak mata ganda dengan bulu mata yang panjang. Cantik sekali.

Vanilla kini mulai bisa mengimbangi stamina Aryan. Mereka sudah bercinta sebanyak tiga kali sejak semalam, dan pagi ini adalah yang terbaik. Well, tidak heran jika pagi hari adalah waktu terbaik untuk bercinta karena tubuh masih dalam kondisi segar. "Berapa kalori yang sudah kita bakar pagi ini, ha?"

Vanilla terkekeh lalu memukul dada bidang Aryan. "Sudah, cuci sana!"

"Baiklah. Emang paling enak kalau nggak pakai karet." Aryan mengerlingkan mata genit ke arah Vanilla.

Mengambil bantal lalu dilemparkan ke arah sang pujaan hati sambil memekik, "Aryan!"

Tawa Aryan menggema. Ia menunjuk ke arah balkon dengan sepasang kursi dan meja bulat penuh dengan makanan. "Aku sudah siapkan sarapan buat kamu. Terima kasih sudah bekerja keras, Sayang."

Vanilla menoleh pada meja yang diisi jus jeruk, kopi, roti panggang dan buah-buahan. Jenis makanan yang hanya dimakan Vanilla dan Aryan di pagi hari. Ia terbiasa tidak menyantap makanan terlalu berat saat pagi hari. Beberapa iris buah-buahan saja sudah cukup. Tidak heran jika Vanilla memiliki wajah cerah dan kulit yang sehat. Pun bentuk tubuhnya yang langsing, merupakan hasil dari pola makan sehat selama ini.

"Merci," (terima kasih ) ucap Vanilla seraya melemparkan tatap pada Aryan yang kini melenggang pergi ke kamar mandi. Punggung kekar sang pria masih terlihat dengan lengan kiri yang dipenuhi tato peluru dan kepala singa.

Meraih kimono satin untuk menutupi tubuhnya, lalu Vanilla mengayunkan kaki turun dari ranjang. Ia duduk di salah satu kursi balkon untuk menikmati sarapan. Bulir jus jeruk langsung membasahi kerongkongan Vanilla yang mengering. Olahraga bersama Aryan memang melelahkan, tetapi selalu membuat ketagihan.

Iris kecokelatan Vanilla mengedar pada gedung yang menjulang tinggi ke langit. Pemandangan yang selalu disajikan oleh Jakarta. Salah satu gedung di hadapan Vanilla menampilkan huruf A yang tentu tidak asing. Lambang kerajaan bisnis keluarga Aditama yang bergerak di bidang pariwisata. Beberapa mobil yang memadati jalanan Sudirman terlihat sangat kecil jika dilihat dari gedung apartemen lantai 12 itu.

"Wow, wanitaku memang selalu terlihat cantik." Suara Aryan yang semakin mendekat membuat Vanilla menoleh. "Ini pemotretan minggu kemarin?"

Vanilla memanjangkan leher pada majalah yang berada di tangan Aryan. Embusan napas sedikit kecewa lolos setelahnya. "Hah, foto itu yang mereka pilih?"

"Why? You look so beautiful."

"Aku rasa itu bukan pose terbaikku," ujar Vanilla sambil menyesap minumannya hingga tersisa separuh.

"Kamu selalu saja tidak percaya diri." Aryan melipatkan kedua tangannya di depan dada sambil mengamati Vanilla. "Kamu cantik, pintar, dan finalis Miss Indonesia. Harusnya kamu bisa lebih percaya diri dong."

Melirik Aryan dari ekor mata lalu berucap sebelum kembali meneguk minumannya. "Aku hanya percaya diri ketika bersamamu, Aryan."

Mendengar pernyataan tersebut, Aryan terkekeh. Ia masih mempertahankan posisi berdirinya sambil menatap Vanilla lekat-lekat.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu? Kamu mau jusnya? Nih, masih ada sedikit." Vanilla menawarkan sembari mengulurkan gelas dengan sisa jus jeruk seperempat bagian kepada Aryan.

Tanpa basa-basi, Aryan mendekati Vanilla lalu mengurung tubuh wanita itu dengan menopangkan kedua tangan di pegangan kursi. Ia terus mendekat hingga mengikis jarak di antara wajah mereka. "Aku punya cara lain untuk menikmatinya."

Lembut dan basah bibir Aryan mengecup bibir Vanilla penuh hisapan diikuti gerakan lidah yang masuk ke dalam mulut. Tangan Vanilla mengalung spontan sambil memejamkan matanya pelan untuk menikmati setiap kecupan dari Aryan.

"Manis sekali," ucap Aslan setelah menyelesaikan ciumannya. Lalu ia meletakkan bokong di kursi bersebelahan dengan Vanila dan bersiap menikmati sepotong roti panggang

Kedua mata Vanilla tidak bisa berpindah dari sosok Aryan yang selalu membuat hatinya berdebar. Pria yang menjadi cinta masa kecilnya itu sudah mencuri keseluruhan ruang dalam hati. Bahkan tidak membutuhkan waktu lama untuk jatuh ke dalam dekapan pria dengan sebutan 'the real buaya' itu.

"Aryan," panggil Vanilla.

"Hm," jawab Aryan tanpa menoleh. Ia sibuk menggulirkan jemari di atas layar ponsel sambil menggigit roti panggangnya.

"Apakah kamu benar mencintaiku?"

"Sure," jawab Aryan yang masih terfokus pada layar ponsel.

Vanilla menghela napas kasar. "Aryan aku serius."

"Aku juga serius, Vanilla. Entah berapa kali kamu menanyakan soal itu." Aryan akhirnya menoleh pada Vanilla sambil mengunyah roti dalam mulut.

"Kalau begitu, bisakah kita menikah?" Ucapan dari Vanilla sontak membuat lumatan roti Aryan tersangkut di kerongkongan.

Aryan tersedak lalu meraih air minum untuk mendorong makanan tersebut ke dalam lambung. "Menikah?"

"Iya menikah," ucap Vanilla penuh keyakinan. Menjadi anak yatim piatu sejak berumur 12 tahun terkadang membuatnya kesepian. Tante Lina tidak bisa setiap saat menemani Vanilla karena harus mengurus bisnis mebel peninggalan dari orang tua Vanilla. "Kamu nggak pengen nikah?"

"Nggak," jawab Aryan tanpa berpikir. Well, hidup dalam keluarga dengan banyak sosok ibu membuat Aryan malas berkomitmen. Aditama memiliki dua istri sah dan satu simpanan yang kedua anaknya sekarang menjadi bagian dari hidup Aryan. Belum lagi selingkungan Aditama yang tidak terlihat. Mengingat Mama Aryan pernah diselingkuhi sebanyak 15 kali selama sepuluh tahun pernikahan mereka.

Dahi Vanilla berkerut mendengar pernyataa tersebut. "Jadi kamu nggak niat buat nikahin aku? Apa aku sama seperti wanita yang cuma nemenin kamu selama semalam?"

"Tentu beda, Vanilla. Hanya kamu wanita yang aku ajak ke apartemenku dan bercinta di ranjang itu." Aryan menyesap kopinya sebelum melanjutkan ucapan. "Dan kamu yang mematahkan prinsipku untuk tidak bercinta dengan wanita yang sama."

Bibir bentuk hati Vanilla mengerucut kesal, meskipun sudah mendapatkan penjelasan dari Aryan. "Lalu kenapa tidak ingin menikah denganku?"

"Tidak untuk saat ini." Tidak ingin berdebat, Aslan memilih jawaban yang aman. "Sudah jangan manyun kayak gitu. Aku jadi nggak tahan buat nyium kamu.'

"Ish." Vanilla mendesis. Beberapa detik kemudian, raut wajah Vanila berbah. Ada rasa mengganjal di hati yang ingin Vanilla utarakan pada Aryan sejak beberapa hari lalu. Meskipun ragu, bibirnya mengucap perlahan, "Ada yang mau aku bicarakan, Aryan."

"Katakan," jawab Aryan sambil mengupas jeruk.

Vanilla menggoyangkan kakinya sambil memainkan ujung jemari, ragu dengan apa yang ingin dikatakan kepada Aryan. Well, meskipun ini belum pasti. Tetapi, Vanilla cukup takut dengan hasil tes yang akan dilakukan pagi ini.

"Kenapa? Kamu menginginkan sesuatu? Tas? Sepatu? Baju? Atau mobil baru?" Aryan terus menawarkan sambil mengunyah jeruknya.

Helaan napas kasar lolos dari bibir Vanilla. Ia mengusap perut yang rata sambil melirik sesekali ke arah Aryan. Mungkin ia akan membicarakan hal tersebut setelah memastikannya di kamar mandi. Lantas Vanilla beranjak dari duduknya dan melenggang pergi. "Aku ke kamar mandi dulu."

"Hm." Fokus Aryan tersita penuh pada makanan dan layar ponselnya. Ia sama sekali tidak memperdulikan Vanilla yang berjalan tergesa ke kamar mandi.

Menoleh dan memastikan Vanilla sudah masuk ke dalam kamar mandi, lalu jemari Aryan bergulir di layar ponsel. Nomor milik salah satu saudaranya ditekan untuk melakukan panggilan.

"Time's up!" cicit Aryan setelah mendengar suara dari balik ponsel. "Aku akan mengakhirinya, karena ini sudah tiga bulan."

["Kamu memang the real Cassanova."]

"Sudah aku bilang, tidak ada wanita yang bisa menolak pesona Aryan Aditama," tambah Aryan sambil merebahkan punggung di sandaran kursi.

["Oke Aryan, Lamborghini Gallardo akan menjadi milikmu."]

"Jangan lupa villa yang di Bali. Itu yang kamu tawarkan kalau aku bisa bertahan sama Vanilla selama tiga bulan."

["Take it! Memang tidak seharusnya aku mengajakmu taruhan."]

Aryan terkekeh. "Tapi aku senang dengan taruhan kali ini. Vanilla cukup menyenangkan untuk dijadikan taruhan."

Beberapa saat setelah obrolan yang tercipta, tiba-tiba terdengar suara benda plastik yang terjatuh di lantai. Aryan terdiam lalu mematikan panggilan tanpa pemberitahuan kepada lawan bicaranya. Ia bergeming sesaat sambil merangkai kata di benak jika saja rahasianya terbongkar. Well, pun

Aryan tidak terlalu memperdulikan hal tersebut.

Aryan menoleh, tetapi tidak ada Vanilla di sana. Kembali pada posisi nyaman di atas kursi sambil meraih rokok dan menyalakannya. Setelah mengajak Vanilla ke toko tas branded langganan untuk memberikan hadiah terakhir, Aryan akan mencampakkan wanita itu seperti yang sudah-sudah.

TO BE CONTINUED .... 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO adalah Maut    Bab 51- Akhir cerita

    Aryan kamu bilang kita mau ke tempat bermain, kenapa tiba-tiba ke Singapura sih?” Vanilla masih saja mengomel saat pesawat pribadi Aryan terbang di atas awan.“Di Singapura juga ada taman bermain, Universal Studio. Lagipula Zayn happy loh, ya kan Sayang?” Aryan meminta persetujuan dari sang putra dan mendapatkannya dengan anggukan kepala.Aryan terkekeh lalu mencium Zayn dengan gemas. “Ah, anak Daddy. Zayn bisa pergi kemana aja yang Zayn mau.”“Bener Daddy?” Kedua mata Zayn membola. Ia tampak takjub saat sang ayah akan mengabulkan semua keinginannya.“Tentu saja,” jawab Aryan seraya memeluk erat sang putra.“Tapi, butuh banyak uang Daddy,” cicit Zayn.Aryan kembali terkekeh. “Daddy punya banyak sekali uang. Zayn boleh habiskan semuanya.”Melihat kedua laki-laki beda usia itu, Vanilla hanya bisa menggeleng. Zayn sangat menempel kepada Aryan, seperti

  • CEO adalah Maut    Bab 50- Menjelang Final

    Ah, pelan-pelan, Dok.” Aryan merintih kala Dokter Surya mengusap luka pada sudut bibirnya. Ia melirik pada pribadi Dokter Surya yang justru sengaja mengusap luka Aryan dengan penuh tekanan.“Ini kenapa lagi?” tanya Dokter Surya yang sudah hafal dengan kelakukan Aryan. Ia selalu membantah ucapan Aditama dan berakhir dengaan pertikaian. Iris hitamnya melirik pada Vanilla yang sedang menyiapkan kompres air dingin untuk luka lebam Aryan. “Apa karena wanita itu?”“Bukan,” jawab Aryan singkat.“Kamu dan Daddy kamu itu sama saja,” ujar Dokter Surya mengoleskan obat untuk mengurangi lebam Aryan dengan hati-hati.“Ah. Shhhh.” Dahi Aryan berkerut karena rasa perih yang ditimbulkan. “Kami sangat berbeda. Jangan pernah samakan aku dengan dia, kami sangatlah berbeda.”“Sama saja, suka menyimpan kesedihan seorang diri,” tambah Dokter Surya.Alih-alih menanggapi denga

  • CEO adalah Maut    Bab 49 - Mencintainya

    Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Berulang kali Vanilla menghubungi Aryan sebab tidak bisa menahan diri. Namun, hanya suara operator yang didengarnya.Tangan Vanilla memasukkan aneka sayuran ke dalam panci dengan pikiran melayang. Mengambil pisau untuk mengiris sosis sebagai campuran. Netra Vanilla melihat ke arah benda tajam itu, tetapi fokusnya terpecah. Ia terus memotong hingga tanpa sadar ujung jari menjadi sasaran.“Aw!” seru Vanilla saat permukaan kulitnya tergores. Sontak ia menghisap darah yang keluar untuk membekukannya. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri jika keadaan Aryan kini tenang meracau benak. “Kamu dimana Aryan?”Entah mengapa hati Vanilla merasa tidak enak setiap memikirkan pria itu. Ia tidak benar-benar yakin jika Aryan akan pergi begitu saja. Vanilla merasa jika pr

  • CEO adalah Maut    Bab 48 - Aryan pergi

    BAB 48Netra Aryan terus memperhatikan sang putra yang sedang menyantap ayam goreng dengan lahap. Sesekali senyum tipis terulas di bibir Zayn yang belepotan saus tomat. Mengonsumsi makanan cepat saji adalah hal yang paling membahagiakan bagi Zayn. Sebab Vanilla hanya memberikan jatah satu kali dalam satu bulan.“Belepotan ya, Daddy?” Zayn meringis saat Aryan membersihkan bibirnya dengan tisu.Aryan menanggapi celetukan Zayn dengan kekehan. “It’s Okay. Enak?”“Enak banget, Daddy. Boleh nggak sih kalau aku makan kayak gini setiap hari?” cicit Zayn sambil terus mengunyah kulit ayam dengan bumbu yang merasuk hingga ke dalam dagingnya.“Nggak boleh, nanti Mommy marah,” jawab Aryan. “Bukannya Mommy sering buatin ayam goreng kayak gini buat Zayn?”“Iya.” Zayn menganggukkan kepala dengan antusias sebagai jawaban.“Enak mana sama ini?&

  • CEO adalah Maut    Bab 47-Sebaiknya pergi

    BAB 47Mobil Aryan sudah tiba di alamat tersebut. Ia sengaja memarkirkannya cukup jauh dari lokasi. Melihat rumah itu, Aryan tampak tidak asing dengan Villa dua lantai yang mengambil konsep tropis dengan atap mirip dan open space. Aryan seperti pernah berkunjung ke villa itu. Tetapi kapan?“Aryan, dia meneleponku!” Tangan Vanilla bergetar saat nomor tersebut menghubunginya.“Terima saja dan bilang kamu akan pergi seorang diri. Aku akan berada di belakang kamu. Okay?” terang Aryan.Vanilla mengangguk paham. Lalu ia menelan saliva dan menerima panggilan tersebut.[“Halo Vanilla, kamu tidak membawa Aryan bukan?”]“Tentu saja tidak,” jawab Vanilla mengontrol suaranya agar tidak bergetar.[“Kamu sebaiknya bergegas. Zayn sedang bermain di sini, dan kita bisa membuat negosiasi yang akan menguntungkan kita berdua. Cepatlah.”]Panggilan keduanya terput

  • CEO adalah Maut    Bab 46 - Pencarian Zayn

    Pakai mobil Tante aja, Van. Kamu lagi panik, bahaya.” Tangan Hestia langsung menarik pergelangan Vanilla untuk masuk ke dalam mobilnya. Vanilla hanya bisa menurut, otaknya seolah beku dan sulit digunakan untuk berpikir.Hestia yang dikenal jago mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi langsung melaju. Mercedes warna silver itu membelah jalanan Badung menuju ke kios Vanilla yang terletak tidak jauh dari kafe tempat pertemuan mereka.Earphone terpasang di salah satu telinga Hestia. Sesekali matanya melirik pada layar dashboard untuk memastikan sambungan telepon kepada sang putra. Hestia berdecak kesal sebab Aryan tidak kunjung menjawab panggilan tersebut.“Kemana sih Aryan,” gerutu Hestia seraya mengendalikan kemudi serta kecepatan.Dengan gesit, Hestia menyalip mobil serta motor yang menghalangi jalannya. Sementara itu Vanilla masih menggerakkan kedua kaki sebab gusar. Dalam hati ia merapalkan doa supaya hal buruk tidak mendeka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status