Cindy's cousin run away on her wedding day with a handsome but crippled CEO of the Aldana Group. Because of it, she was forced by her uncle to replace her cousin to be Adam's bride. Adam has a short-tempered attitude because of his illness while Cindy has a free-spirited personality despite all of her problems. These two people with opposite attitudes and personalities live together in one house which makes the cold and huge house of Adam to be livelier. Cindy couldn't help but falls in love with Adam even though she knows that she is just a substitute bride. But Cindy's cousin, Lucy, suddenly went back and wants to reclaim what is supposed to be her. Lucy's appearance makes a lot of misunderstanding between Adam, Cindy, and his family. Lucy manages to convince Adam's family that Cindy planned everything so she will be Adam's wife. Will there be a happy ending to Cindy's love story with his prince just like the story of Cinderella?
View More"Hari ini, kamu boleh pulang ke Jakarta," ucap Renata, pemilik perusahaan tempat Sofia bekerja.
Sofia Storia, wanita berusia tiga puluh tahun yang menjabat sebagai administrator di salah satu perusahaan distributor makanan ringan ternama di Jakarta, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Baik, Bu," jawabnya dengan senyum mengembang. Tentu saja Sofia merasa bahagia. Sudah tiga hari ia tak bertemu dengan Alvian, suami yang sangat dicintainya, karena kesibukan pria itu mengurus pembukaan cabang baru di Bandung. Sofia berniat memberikan kejutan. Dengan sengaja, ia tak memberi kabar bahwa dirinya akan kembali lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan sebelumnya. "Bu, saya pamit," ucap Sofia pada Renata yang tengah sibuk dengan dokumen di meja kerjanya. "Hati-hati di jalan, Sofia!" jawab perempuan berusia empat puluh tahun itu. Sepanjang perjalanan, Sofia menikmati alunan lagu-lagu favoritnya. Wanita mandiri itu mengendarai mobilnya sambil bernyanyi riang, membayangkan ekspresi terkejut Alvian saat melihatnya pulang lebih awal. *** Sesampainya di apartemen, Sofia terpaku. Ruangan yang selalu rapi dan bersih itu kini tampak kotor dan berantakan. Beberapa bungkus makanan ringan berserakan di atas karpet. Asbak dipenuhi puntung rokok dengan abu yang bertebaran di sekitarnya. Di atas meja ruang televisi, dua botol minuman berdiri tegak. Sofia melangkah masuk, mendekati dua botol yang asing baginya. Didorong rasa penasaran, ia membuka tutup botol untuk mengetahui jenis minuman apa itu. Belum sempat mendekatkan hidungnya ke mulut botol, aroma menyengat sudah menusuk indra penciumannya. "Aneh. Siapa yang meminum minuman ini? Bukankah Mas Alvian tidak pernah mengonsumsi alkohol?" gumamnya sambil mengamati botol bertuliskan Martell. Matanya beralih pada puntung rokok yang berserakan. Terlihat noda merah pada pangkal beberapa batang rokok. Seperti bekas lipstik. Tapi, lipstik siapa? Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba terdengar suara Alvian sedang berbincang dengan seorang wanita dari balik pintu. Menyadari kehadiran mereka, Sofia bergegas masuk ke kamar dan bersembunyi di balik lemari pakaian. "Sayang, aku benar-benar ketagihan dengan permainanmu semalam," suara bariton Alvian menggema memecah keheningan. Jantung Sofia berdegup kencang. "Tidak mungkin! Mas Alvian tidak mungkin melakukan itu!" batinnya menepis kecurigaan. Dengan gemetar, Sofia memberanikan diri mengintip dari celah lemari. Pemandangan di depannya menghancurkan dunianya seketika. Di atas ranjang yang selama ini menjadi tempat mereka berbagi kasih, Alvian dan seorang wanita tengah bercumbu mesra. Desahan wanita itu memenuhi ruangan. Dengan jelas, Sofia melihat suaminya yang selama ini terlihat setia sedang menindih tubuh wanita ramping dan seksi, menciumi leher jenjangnya dengan rakus. Tubuh Sofia membeku. Napasnya tercekat, darahnya mendidih. Tanpa pikir panjang, ia keluar dari persembunyiannya. "Ya Tuhan... apa yang kamu lakukan, Mas?" teriaknya dengan mata terbelalak dan napas memburu. Mendengar suara Sofia, Alvian tersentak dan menghentikan aksinya. Ia berdiri menghadap istrinya dengan wajah terkejut. PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Alvian. "Tega sekali kamu mengkhianatiku!" sentak Sofia dengan wajah merah padam. Pipi Alvian memerah membentuk bekas telapak tangan. Dengan wajah angkuh, ia menahan tangan Sofia ketika wanita itu hendak menamparnya untuk kedua kali. "Diam!" bentaknya kasar. "Seharusnya kamu berkaca, mengapa aku melakukan ini!" Ia menghempaskan tangan Sofia dengan kasar. "Apa kurangnya aku, Mas?" tanya Sofia dengan suara bergetar. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Menyaksikan pertengkaran sengit pasangan suami istri itu, Clara—wanita yang berprofesi sebagai penyanyi karaoke—hanya tersenyum sinis. "Kamu masih bertanya apa kekuranganmu?" Alvian mendengus. "Lihatlah dirimu yang tidak terawat itu! Bagaimana aku bisa bernafsu jika tubuhmu seperti itu? Bertahun-tahun aku sabar menerimamu, bukannya memperbaiki diri, kamu malah semakin tidak menarik dan membosankan!" Bukannya meminta maaf, Alvian justru mencaci dan menghina tanpa peduli perasaan wanita yang telah menemaninya selama lima tahun. Mendengar hinaan itu, Sofia menangis pilu. Ia tak menyangka, hanya karena perubahannya secara fisik, Alvian tega mengkhianatinya hingga melakukan perbuatan hina di kamar mereka sendiri. "Aku akan adukan kelakuanmu pada ibumu!" Sofia mengancam sambil menyeka air mata. "Silakan! Aku tidak peduli!" jawab Alvian angkuh. Sofia mengalihkan pandangan pada wanita yang duduk di tepi ranjang. Ia melangkah mendekati Clara, namun Alvian dengan cepat mencekal tubuhnya. "Lepaskan aku!" Sofia meronta. "Dengar, wanita jalang!" teriaknya pada Clara dari balik tubuh Alvian. "Kau akan menyesal telah menghancurkan rumah tanggaku!" Clara hanya tersenyum sinis, sama sekali tak terpengaruh oleh ancaman tersebut. "Lepas! Aku tak sudi bersentuhan denganmu!" Sofia menepis tangan Alvian dan bergegas meninggalkan kamar yang kini telah ternoda oleh pengkhianatan. *** Dengan berlinang air mata, Sofia mengendarai mobil sedan warisan orangtuanya menuju rumah mertuanya yang berjarak dua kilometer dari apartemen. Ia berharap Ambar, ibu mertuanya, akan berpihak padanya. Namun, harapannya sirna. "Sofia... memang benar kata anakku. Kalau kamu tidak merawat diri seperti ini, mana mungkin Alvian berselera padamu. Jangankan menyentuh, melihat saja dia sudah malas," ucap Ambar, menatap Sofia dari ujung kaki hingga kepala dengan pandangan merendahkan. "Tapi Bu, aku seperti ini karena efek obat penyubur yang Ibu berikan agar aku cepat hamil," jawab Sofia terbata. "Kamu malah menyalahkan aku? Kalau kamu bisa cepat memberiku cucu, aku tidak perlu memberimu obat itu. Atau jangan-jangan, kamu memang mandul?" tukas wanita berusia lima puluh lima tahun itu tanpa belas kasihan. Hati Sofia semakin terluka. Mertuanya yang selama ini ia hormati seperti ibu kandung justru ikut menghakiminya. Ambar memang mertua yang sangat mengekang. Selalu ikut campur urusan rumah tangga anaknya dan menyalahkan Sofia yang belum juga hamil setelah lima tahun pernikahan. Di matanya, apapun yang Sofia lakukan selalu salah. *** Karena tak mendapat pembelaan, Sofia meninggalkan rumah mertuanya dan menuju rumah peninggalan almarhum orangtuanya yang kini ditempati paman dan bibinya. "Maaf. Anda mencari siapa?" tanya seorang wanita asing dari balik pintu. "Apakah Bibi Ella ada di dalam?" tanya Sofia keheranan. "Oh, Bu Ella sudah tidak tinggal di sini. Kami pemilik baru rumah ini. Seminggu lalu kami membelinya dari Bu Ella," jelas wanita itu ramah. Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Sofia tak menyangka bahwa bibi dan pamannya—satu-satunya keluarga yang ia miliki—tega menjual rumah warisan orangtuanya tanpa sepengetahuannya. *** Di balik kemudi mobilnya, Sofia terisak pilu. Ia merasa tak ada seorang pun di dunia ini yang menyayanginya. Kini, ia sendirian dan bingung harus ke mana. Dengan perasaan hancur, Sofia mengarahkan mobilnya ke pemakaman kedua orangtuanya—satu-satunya tempat yang sering ia kunjungi ketika merasa terpuruk. Di hadapan pusara orangtuanya, ia mencurahkan semua kesedihannya. Tak kuasa menahan perih, Sofia menangis tersedu-sedu. "Ibu, mengapa kau tinggalkan aku sendiri? Semua orang begitu kejam padaku. Kini aku tak tahu harus ke mana. Rasanya aku ingin menyusulmu, Bu," ucapnya terbata dengan isakan pilu. Di tengah area pemakaman yang luas dan sunyi, Sofia duduk memeluk nisan ibunya. Air matanya jatuh membasahi rumput yang tumbuh di atas pusara. Rasa sakit yang ia rasakan begitu menghujam jantungnya—seperti mati namun masih bernapas. Angin sore berhembus dingin menerpa tubuhnya. Awan hitam berarak di langit dan suara gemuruh petir mulai terdengar samar-samar. Di tengah kesunyian itu, tiba-tiba terdengar suara bariton yang lembut dari belakangnya. "Menikahlah denganku."Sanay gumising ng maaga si Cindy kaya maaga siyang lumabas ng kanyang silid at nagtungo sa sala. My second floor ang malaking bahay ni Adam ngunit nasa ibaba ang kanyang silid. Tiyak na nasa ibaba rin ang kuwarto nito para hindi ito mahirapan sa pagpunta sa silid nito.Pasalamat siya na magkaiba sila ng silid ni Adam dahil kung nagkataong magkatabi sila sa kama ay tiyak na hindi siya makakatulog buong magdamag. Hindi naman kasi siya sanay na may katabing lalaki sa kanyang pagtulog. At baka bigla na lamang siyang magising na sinasakal nito. Mahirap na. Mahal niya ang buhay niya sa kahit anong bagay sa mundo.Pagdating niya sa sala ay nakangiting sinalubong siya ng maid na si Nana Dayay. Mukha itong mabait kaya tiyak na makakasundo niya ito."Good morning, Ma'am Cindy. Nakatulog ka ba ng maayos kagabi?" nakangiting bati nito sa kanya."Opo, Nana Dayay. Nakatulog naman ako ng mahimbing kahit na nasa ibang bahay ako at wala sa aking silid sa bahay ng aking Tito. Hindi naman ako dinalaw ng
What a small world. Hanep talaga magbiro ang tadhana.Iyan ang nasa isip ni Cindy habang nakatitig sa mukha ng lalaking masungit na nakausap niya noon na walang iba kundi ang dapat ay groom ni Lucy na ngayon ay magiging groom na niya. Si Adam Aldana ng Aldana Group. Kilala ni Cindy sa pangalan ang CEO ng Aldana Group ngunit kahit kailan ay hindi pa niya ito nakikita. At maging si Lucy ay hindi pa rin nakita ang mukha ni Adam. Kung nakita kaya ng pinsan niya ang mukha ni Adam at nakita nitong napakaguwapo at umaapaw ang sex appeal ng groom niya kahit na nakaupo lamang ito sa wheelchair, papayag kaya siyang pakasalan ang binata?"So it's you," boses ni Adam ang biglang pumukaw sa pagkakatulala ni Cindy."Yes, it's me," mahinang sagot ni Cindy na tila hindi pa rin makabawi sa pagkabigla."What's the meaning of this, Lando and Aurora? Akala ko ba ang ikakasal sa anak ko ay ang anak mong si Lucy?" galit na sita ng ama ni Adam, ang Chairman ng Aldana Group."Calm down, Joaquin. I think we ha
Walang nagawa ang pagtutol ni Lucy sa nais ng ama nito kaya pagkatapos ng anim na buwan ay naitakda ang kasal ng mga ito. Hindi nagkaroon ng engagement party dahil nasa ibang bansa pa naman si Adam. At balitang hindi naging successful ang operasyon nito sa paa kaya mananatili itong nakatali sa wheelchair. Dumating ang araw ng kasal nina Lucy at Adam. Ang venue ay sa malawak na bakuran ng sariling bahay ni Adam. Maliban kasi sa malaking bahay ng mga magulang nito ay may sarili din itong malaking bahay.Kung naka-wedding dress si Lucy ay ganoon din ang suot ni Cindy. Isa kasi siya sa mga bridesmaid ni Lucy at sabi ng pinsan niya ay lahat ng mga bridesmaid nito ay nakasuot din ng wedding dress. Nagtataka man kung bakit siya kinuhang isa sa mga bridesmaid gayobg hindi naman sila close sa isa't isa ay hindi na lamang siya nag-usisa pa. Tiyak na bubungangaan lamang siya ni Lucy kapag magtanong pa siya."Lucy, puwede bang simpleng white dress na lang ang isuot ko? Nakakailang masyado itong
Nasa loob ng grocery store nang isang mall si Cindy at naglalakad habang nakatingin at nagbabasa ng chat ng kanyang pinsan na si Lucy. Kagagaling pa lamang niya sa National Bookstore at bumili ng mga gamit na kailangan niya para sa kanyang project. Nagbabayad na siya sa cashier nang makatanggap siya ng chat ni Lucy na nagpapabili ito ng dalawang pack na napkin with wings. Kaya pagkatapos niyang magbayad ng mga pinamili niya ay agad na siyang nagtungo sa grocery store para bilhin ang ipinapabili sa kanya ni Lucy. Kapag kinalimutan niyang bilhin ang pinapabili nito ay tiyak na katakot-takot na sermon ang maririnig niya hindi lamang mula kay Lucy kundi maging sa ina nito at nakababatang kapatid na si Luna.Ang buhay ni Cindy ay maihahalintulad niya sa buhay ng sikat na kuwentong pambata na Cinderella. Katulad kasi ni Cinderella na may stepsisters at stepmother na nang-aapi rito ay may dalawa naman siyang pinsan at tiyahin na madalas ding mang-api sa kanya.Sampung taong gulang si Cindy n
Maligayang pagdating sa aming mundo ng katha - Goodnovel. Kung gusto mo ang nobelang ito o ikaw ay isang idealista,nais tuklasin ang isang perpektong mundo, at gusto mo ring maging isang manunulat ng nobela online upang kumita, maaari kang sumali sa aming pamilya upang magbasa o lumikha ng iba't ibang uri ng mga libro, tulad ng romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel at iba pa. Kung ikaw ay isang mambabasa, ang mga magandang nobela ay maaaring mapili dito. Kung ikaw ay isang may-akda, maaari kang makakuha ng higit na inspirasyon mula sa iba para makalikha ng mas makikinang na mga gawa, at higit pa, ang iyong mga gawa sa aming platform ay mas maraming pansin at makakakuha ng higit na paghanga mula sa mga mambabasa.
Comments