"Kenapa kamu ngelarang aku buat ngelawan Kiara, Rai?" sergah Gendhis begitu mobil melaju meninggalkan rumah sakit. Sejak merasa baikan dan tangannya yang terluka sudah lebih sering digunakan, Rai memang lebih memilih untuk menyetir mobil sendiri."Aku nggak mau terjadi keributan yang nggak perlu," balas Rai tenang sekali."Tapi dia yang mulai nampar aku duluan!" "Tapi udah kamu bales, kan?" "Tapi dia bikin aku malu di rumah sakit udah berkali-kali. Oh, kamu belain dia?" lengking Gendhis benar-benar marah kali ini. "Kamu ada di pihaknya? Nggak suka kalau aku menang dari dia nantinya?" "Sejak awal kamu udah menang, Ane-san. Kamu nggak perlu buktiin apa-apa ke Kiara. Dan aku ada di pihakmu, ngapain aku belain dia, ya aku di pihak istriku, lah!" "Kenapa kamu ngelarang aku buat berantem, satu lawan satu sama Kiara? Kalau cuma adu mulut, dia jelas menang telak Rai, kami beda level, aku bekas pelacur dan dia calon dokter spesialis.""Padahal aku nggak ngebahas soal level lho, Ndhis," san
"Kamu cuti aku jadi rada keteteran, Christ," sebut Dokter Andri akrab, ia mengajak ngobrol Rai sambil memeriksa layar komputer di depannya."Maaf Dok, aku udah hubungi Dokter Raka dari rumah sakit daerah, kuminta dia isi jadwalku buat sebulan ini. Emang belum jalan?" tanya Rai. "Udah, tapi mereka asing sama Raka karena mungkin anaknya pendiem. Dia kalau nggak ditanya, ngasih penjelasan ke pasien seperlunya," tandas Dokter Andri. "Jadi gini, kamu pasti udah tau gimana caranya ngejaga tubuhmu dan Nyonya biar promil ini signifikan dan berhasil. Pola makan, pola tidur, olahraga yang pasti juga harus rutin," jelasnya. "Beneran udah aman kan Dok? Dia soalnya suka parno, takut nanti kalau dia hamil, ada penyakit yang nular ke bayinya," kata Rai menunjuk Gendhis yang masih berbaring di ranjang periksa. "Ini, soal kemungkinan B20, Dok," ungkapnya hati-hati. "Menurut kamu gimana Christ?" tanya Dokter Andri balik. "Dia bersih di pemeriksaan keseluruhan, menurutku kemungkinan buat tiba-tiba m
Rai menarik napas dalam-dalam, ia memainkan ponsel di tangannya dengan tatapan nanar ke kolam ikan di seberang. Wajahnya tampak serius, seakan masalah yang datang membuatnya enggan mengulas sedikit saja senyum di wajahnya. Sesekali ia menyesap rokoknya, mengembus asapnya ke udara dalam bentuk bulat aestetik yang cantik."Kucariin, ternyata udah turun ke sini," desis Gendhis mendatangi sang suami sambil menenteng gelas tehnya. "Cigarette after sex," kekeh Rai. "Sini, Ndhis," pintanya menepuk kursi kayu di sebelah ia duduk. "Kenapa? Kok kayak serius gitu wajahmu, Rai."Rai tersenyum miring, "Kamu pinter ngebaca ekspresi ya," tandasnya. "Aku udah ketemu sama banyak orang dan pelanggan, aku selalu bisa baca mood mereka," sahut Gendhis. "Ada apa?" tanyanya. "Aku jadi tersinggung kalau abis bercinta, kamu begini, berasa aku nggak kasih pelayanan terbaik," dengusnya. "Bukan masalah itu," elak Rai, ia rangkul pundak sang istri dan ditempelkannya dagunya di sana. "Dony, asistennya Mario k
"Keren banget istriku tadi," puji Rai saat Gendhis masuk ke dalam kamar, menyusulnya seusai mencuci muka. "Iya kan?" Gendhis tertawa. "Aku bikin Mami kamu jadi lebih dendam lagi ke aku," katanya bergidik. "Nggak tau dapet kekuatan dari mana tadi tu, mulutku emang sembarangan banget," desisnya geleng-geleng kepala, tak percaya bahwa dirinya sendiri yang baru saja melakukan perlawanan terhadap Eriska. "Aku jadi nggak perlu keluar tenaga banyak buat membelamu," ucap Rai. Ia raih jemari Gendhis agar sang istri berbaring di ranjang, bersamanya. "Seneng ya kamu, Rai?" "Iya, sekarang, Mami pasti lebih mikir lagi kalau dia mau nyakitin kamu," ujar Rai. "Mana yang katanya binal dan menggoda?" sergahnya spontan menindih Gendhis, matanya menyeringai menggemaskan. "Ih," Gendhis menggeliat malu-malu. "Ya salah siapa Mami Erismu itu terus bawa-bawa soal pelacur di depanku, kan aku nggak tahan juga Rai," dumalnya. Rai tersenyum, terpancing melihat bibir Gendhis yang dimanyun-manyunkan itu, ia
Gendhis mematung di ujung tangga, bibirnya terkatup rapat sedangkan matanya lekat menatap pada Rai yang duduk di sofa, menghadap ke arahnya. Duduk membelakangi Gendhis, Eriska nampak menyeruput teh hangat buatan ART yang memang diperintahnya untuk membuat minuman. "Ane-san, boleh ke sini ikut ngobrol," panggil Rai lembut. Sesaat Gendhis ragu, ia masih mematung di tempatnya berdiri. Ekspresi wajahnya tampak pias, ia tengah memetakan apa yang terjadi saat ini, kenapa Eriska tiba-tiba berani mendatangi kediaman Ben, lelaki yang sangat membencinya karena masa lalu mereka."Sayang," panggil Rai lagi, senyum terkembang di wajahnya setelah sebelumnya ia pasang wajah serius untuk menghadapi Eriska. Terhenyak, sadar dari prasangka yang berputar di otaknya, Gendhis melangkah, mendekat pada Rai dan duduk di sebelahnya. Sambil tak melepas tatapannya dari Rai, Gendhis sempatkan membungkukkan badannya pada Eriska sebagai tanda hormat."Jadi dia nggak pa-pa?" desis Eriska tersenyum miring, sorot
Gendhis menyisir ruang belakang rumah besar milik tetua klan yang ditinggalinya selama beberapa hari ini, melihat-lihat pajangan di salah satu aula besar seperti 'dojo'. Tak sengaja, ia menemukan sang suami tengah melatih kemampuan berpedangnya bersama Bastian. Rai sudah terlihat mencoba menggunakan dua tangan untuk menghunus pedang meski sesekali ia tampak meringis kesakitan. "Jangan meleng, Ketua!" sentak Bastian hampir saja menebas lengan Rai jika telat menghindar sedetik saja. "Ah, terdistraksi kecantikan Ane-san," kekehnya begitu menyadari Gendhis datang dan masuk ke dalam 'dojo'. "Kebangun ya?" tegur Rai pada istrinya, seharian ini ia memang meminta Gendhis untuk istirahat di dalam kamar, memulihkan staminanya. "Hu.um," gumam Gendhis mengangguk lemah. "Lanjutin aja, aku penasaran pengin nonton," katanya. Seperti mengindahkan ucapan Gendhis, Rai melanjutkan latihannya. Ia membuat serangan balik, melawan hunusan pedang dari Bastian yang kini menggunakan tangan palsu sebagai pe