Hatiku patah.
Hiro dan Naga sepertinya kelihatan sangat bahagia bersama Gun. Selama ini mereka sangat berharap memiliki Papa. Walaupun gengsi seperti Hiro, tapi aku bisa melihat matanya yang selalu melirik penasaran pada Gun, seakan dia ingin tahu apa yang laki-laki itu lakukan. Dan sejauh ini Gun belum membuatnya bosan. Sementara Naga, sejak kecil, dia memang anak yang luwes, mudah menempel dengan orang lain tanpa perlu dibujuk. Mungkin Mama benar, aku bersikap tidak adil dan keras kepala. "Mama, madunya tumpah..." Naga menjerit, aku mengerjap, merasa baru saja kehilangan konsentrasi. Lalu melotot ngeri karena piring dalam keadaan full madu dan botol yang kupegang nyaris kosong. "Ke-kenapa?" "Kenapa Mama bengong?" "Maaf-maaf, sayang.Dapur sangat hethic, wajan mengepul tanpa henti, jeritan dan teriakan saling bersahut-sahutan antara station. "Kak VVIP lantai empat, minta langsung dilayani oleh Chefnya." "Chef Gun lagi nggak ada." "Mas Gilman?" Aku memekik. "Yang lain dulu gue belum selesai." Aku melirik Lea, dia sedang sibuk dengan wajan panas yang menyemburkan api. Rena sibuk plating cantik, sedangkan Chef Lukas masih berjibaku dengan dessert. "Chef?" tanya Rey meminta kepastian, tidak sabar. "Menunya bakal disajikan dalam sepuluh menit lagi." Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul lima tepat. Shiftku seharusnya sudah berakhir. Namun dengan berat hati aku mengangguk pada Rey, melepas apron untuk melayani tamu VVIP tersebut. "Untuk berapa orang?"
Hatiku patah. Hiro dan Naga sepertinya kelihatan sangat bahagia bersama Gun. Selama ini mereka sangat berharap memiliki Papa. Walaupun gengsi seperti Hiro, tapi aku bisa melihat matanya yang selalu melirik penasaran pada Gun, seakan dia ingin tahu apa yang laki-laki itu lakukan. Dan sejauh ini Gun belum membuatnya bosan. Sementara Naga, sejak kecil, dia memang anak yang luwes, mudah menempel dengan orang lain tanpa perlu dibujuk. Mungkin Mama benar, aku bersikap tidak adil dan keras kepala. "Mama, madunya tumpah..." Naga menjerit, aku mengerjap, merasa baru saja kehilangan konsentrasi. Lalu melotot ngeri karena piring dalam keadaan full madu dan botol yang kupegang nyaris kosong. "Ke-kenapa?" "Kenapa Mama bengong?" "Maaf-maaf, sayang.
"Masing-masing bawa satu biar adil. Hiro sama kamu, Naga sama Gun." "Mama." Aku menjerit. Mana mungkin beliau mengungkapkan hal seperti itu? "Anak-anak nggak akan dipisahin, mereka dari lahir udah sama-sama." "Terus kamu mau gimana? Gun pasti bakal memakai kekuatan media. Dia juga bisa sewa kuasa hukum kelas kakap, kamu nggak akan bisa menang di pengadilan." Mama berkata masuk akal. "Daripada kalian ribut, mending pilih jalan tengah." "Itu malah lebih parah, Mama pikir anak-anak nggak akan protes?" "Ya kalau gitu tinggal ditukar-tukar aja, Gun sama Naga berapa lama nanti gantian. Kalian bisa tetap merasakan ngurusin mereka satu sama lain." "Hiro dan Naga bukan cupcakes yang gampang aja dibagi-bagi mereka anak-anak aku, mereka masih butuh Mamanya sekarang." "Kalau mereka udah besar dan nggak butuh Mamanya memang kamu mau ngelepasi
"Kamu nggak seharusnya melakukan ini Gun," kataku berusaha tenang, meski sebenarnya jemariku gemetar. "Anak-anak masih balita, kita juga nggak pernah menikah, jadi mereka tetap berada di bawah perlindungan aku." "Tes DNA akan memudahkan semuanya biarkan nanti pengadilan yang menilai. Dari segi ekonomi dan reputasi, saya masih lebih baik. Anak-anak akan terjamin kalau tinggal bersama saya." "Ini salah aku, aku benar-benar minta maaf, tapi tolong jangan libatin anak-anak, dari kecil mereka udah sama aku, belum dengan semua publikasi, kamu hanya akan membuat mereka bingung." "Itu hanya alasan. Kenyataannya mereka nyaman di sini, mereka tetap akan tinggal di sini selamanya, hanya itu yang berubah. Kalau kamu nggak setuju silakan ajukan poin-poin di persidangan nanti. Jerikho akan kirimkan detail waktunya." Aku ingin menangis, tapi Gun sudah melengos enggan berdebat. Dia menaiki undaka
Seminggu berjalan sangat lambat. Setiap hari kulewati dengan berat. Aku masih bekerja di De Luca, masih tinggal di rumah Gun, bersama anak-anak dan Mama. Tapi selama itu kami tidak saling bicara kecuali untuk urusan pekerjaan itu pun hanya sepatah dua patah kata. Bukan berarti selama dulu kami menjalani hubungan kami tidak pernah bertengkar. Namun ini adalah rekor saling diam paling lama dalam sejarah hubungan kami. Kuembuskan napas berat. "Kak, airnya udah mendidih." Lea di sampingku memberi informasi. Aku terenyak, buru-buru mengecilkan daya. Lalu mulai memasukkan spaghetti ke dalamnya. Gun hanya melirik tapi tidak mengatakan apa-apa. Dalam keadaan normal dia pasti sudah merepet. Namun sekarang dia bahkan tidak repot-repot untuk memberikan sindiran. "Customernya pesan
Gun hanya diam selama aku bercerita, dia tidak menyela atau bahkan bertanya. Tapi perlahan-lahan wajah itu berubah menjadi lebih keras. "Hiro Naga is mine?" Itulah kalimat pertama yang keluar dari bibirnya. "Maaf Gun..." Aku tahu ini adalah kata-kata paling tidak bermanfaat dalam kondisi kami saat ini, tapi aku tetap mengungkapkannya. Dia memandang sekitar, tangannya terkepal seolah sedang mencari pelampiasan untuk diremukkan. Tidak menemukan apa pun, dia menyugar rambut dan menghela napas berat. Aku tahu bahwa selama ini mungkin dia memikirkannya. Gun bukan orang bodoh. Mungkin dalam beberapa kali kesempatan dia menebak-nebak. Tapi harga dirinya terlalu tinggi itulah sebabnya dia berhenti memikirkan hal tersebut karena dia percaya aku tidak akan melakukan hal serendah itu, dan apa yang dia pikirkan akan menjadi penghinaan untukk