Rangga begitu tak peduli dengan sikap dan komentar Arinda sejak ia memutuskan untuk keluar dari perusahaan untuk memulai bisnisnya sendiri. Dua bulan berlalu, bahkan kini, Sean sering menanyakan Aya. Bocah itu seperti kehilangan sosok yang ia idam-idamkan sebagai seorang ibu untuknya. Mita tak pernah absen menelpon Sean, tapi tetap saja, ada yang bed ajika bersama Aya.
Tangan Rangga menggandeng jemari tangan Sean, ia mengantar putranya ke sekolah yang baru, ia pindahkan ke dekat kantornya yang baru yang ia sewa satu lantai di gedung berlantai dua puluh. Hanya butuh jalan kaki lima belas menit untuk sampai di sekolah Sean.
“Pa, Tante Aya ke mana?” tanya Sean. Rangga hanya tersenyum sambil melirik ke Sean yang mendongak ke arahnya.
“Sean kangen Tante Aya?” tanyanya balik. Sean mengangguk.
“Tante Aya baik, Pa, beda sama Mama.” Mendengar itu Rangga diam, ia ingat, ia tak boleh menjelekkan Mita, bagaimanapun, wanita itu ibu
Dua bulan kemudian. Orchrad road terasa ramai, lalu lalang masyarakat yang beraktifitas dari dan menuju ke gedung perkantoran atau pusat belanja begitu menyita perhatian Rangga. Pria itu sudah satu malam berada di sana. Ia akan bertemu dengan salah satu investor di sana yang akan menyuntikan dana ke perusahaannya. Ghania, ia sudah wisuda dan sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Reno, sehingga tak bisa ikut menemani Rangga ke Singapura.Pria itu berjalan dengan langkah tegap menuju ke salah satu hotel yang ada di sana, ia akan bertemu dengan koleganya di sana. Berada di antara masyarakat lokal maupun pelancong dari berbagai negara, membuatnya tak perlu repot menggunakan mobil sendiri, ia nyaman berbaur tanpa ada orang yang tahu siapa Rangga. Jika di Jakarta, akan susah, kondisinya berbeda.Rangga mampir ke kedai kopi, bukan untuk membeli kopi, ia ingin memesan Ice greentea latte, cuaca cukup terik, setidaknya dengan memesan minuman itu
Rahasia. Tidak selamanya akan terus terkunci rapat, akan ada masanya hal itu terkuak muncul kepermukaan tanpa disadari. Hari ke tiga di negara itu, Rangga tak bisa menghubungi Aya, wanita itu mengganti nomor ponselnya.Tangan pria itu membuka tirai kamar hotel, di sesapnya kopi panas yang ia buat sendiri, kenangan akan Aya selalu saja menghampiri setiap hari, bahkan di saat momen-momen yang meminta kata ‘seandainya’ berperan cepat.Hari itu bertepatan dengan hari jumat, suasana kota tergolong semakin padat. Rangga memutuskan berjalan-jalan seorang diri, setelah merasa lega karena perjanjian dengan koleganya membuahkan hasil yang sesuai kesepakatan. Segera ia berganti pakaian, sejak subuh ia sudah mandi, sudah menjadi rutinitasnya. Sembari memilih pakaian, ia juga melakukan sambungan video call dengan Ghania yang ia titipkan Sean pada adiknya itu.“Abang, Bunda sakit,” ucap Ghania. Rangga tersenyum masam.“Suruh ke dokter,” sahu
“Bi… kamu yakin?” tanya Aya yang merasa ragu. Abi mengangguk. Aya lalu berjalan ke mendekat ke Abi, berlutut seraya menatap. “Kamu tahu kan, inti permasalahan aku sama dia apa?” tatap Aya lekat.“Tahu, Aya, makanya, aku mau kamu jalan sama Rangga, kalian harus ngobrol hati ke hati. Aku tahu ini nggak mudah, kalian juga sama-sama gengsi akuin perasaan masing-masing, kan?” godanya. Abi lalu mengusap wajah Aya pelan.“Aku nggak gengsi. Aku cuma jaga perasaan, Bi, aku takut terluka lagi, kamu juga tahu hal ini—““Aya. Dengar, kalau kalian berjodoh, sejauh apa pun menghindar, pasti akan bertemu lagi. Udah, sana jalan, udah cantik gini. Mama Papaku pasti juga seneng lihat kamu dan Rangga bisa bersatu lagi,” ucap Abi mengulum senyum.Aya bingung, ini ide Abi atau Rangga ia tak tahu, yang jelas, setelah makan siang bersama beberajam lalu, Rangga mendadak menghubungi Aya yang sudha pasti, tau
“Aku nggak bilang kita balikan, Rangga,” tegur Aya. Rangga mengangguk. Ia terus menggandeng jemari tangan Aya saat keduanya berjalan kaki menyusuri jalanan sekitar lokasi itu.“Sean tanyain kamu terus, Aya,” ucap Rangga. Aya mendongak, menatap Rangga yang juga menatapnya. “Sean kangen kamu… Papanya juga, sih,” ledek Rangga yang mendapat cubitan di lengannya dari Aya. Rangga tertawa.“Cinta aku nggak? Kamu belum jawab dari tadi,” tanya Rangga lagi.“Nggak,” jawab Aya yang terdengar seperti gumaman.“Nggak denger. Cinta nggak sama aku?” Rangga menghentikan langkah kakinya, keduanya berdiri berhadapan. Aya menatap lekat, kedua bahunya merosot.“Nggak tau, bingung…” jawab Aya dengan wajah menggemaskan, ia memejamkan mata lalu membuat lengkungan bibir ke bawah. Rangga terkikik geli.“Aku mau peluk kamu, ya,” izinnya. Lalu dengan cepat mem
Aya terkejut saat mendengar Sean memanggilnya dengan sebutan ‘Mama’, terasa janggal tapi ada rasa senang juga walau sedikit. “Hai ganteng,” sapa Aya sambil memeluk Sean dan menciumi puncak kepala bocah itu. Jani mendekat namun melirik ke arah Rangga yang senyum-senyum. “Sean udah makan belum?” Aya merapikan tatanan rambut lurus Sean yang tampak panjang. “Kok nggak cukur rambut? Gantengnya kurang dong,” ledek Aya. “Kata Papa nanti aja, mau lihat Sean gondrong,” jawab bocah itu. Aya tersenyum. “Sean anak laki-laki, jangan bergaya seperti perempuan, ya… rambut laki-laki itu pendek lebih bagus dan kelihatan rapi.” Aya mengusap wajah Sean yang mengangguk sambil tersenyum. “Kangen Mama Aya,” lirih Sean sambil memeluk Aya lagi. Kedua mata Aya menatap Rangga dengan tatapan tak percaya. Sedangkan pria itu hanya meringis sambil mengusap pelipisnya. Jani membuatkan Sean minuman es teh manis, bocah itu yang ternyata belum makan. Aya berjalan ke ka
Sean terkejuta, saat ia bangun tidur, ada di kamar lain, bukan kamar yang biasa ia tempati di rumah Rangga. “Papa…” panggilnya yang langsung terduduk di atas ranjang. Ia celingukkan. Kakinya menapak lantai, ia merapikan bantal juga selimut. Berjalan perlahan ke arah pintu, tangannya memutar membuka pintu kamar. Ia melihat Rangga masih tertidur pulas di sofa, lalu tampak Aya dan Jani berada di dapur.Senyum Sean mereka, ia nginap di tempat tinggal Aya. “Ma…” panggilnya pelan. Aya menoleh, lalu berjalan ke arah Sean.“Udah bangun? Sean biasa sarapan apa kalau pagi-pagi?” Aya berjongkok di hadapan bocah itu yang justru memeluk leher Aya. Ia memejamkan mata, merasakan bahagia karena pagi itu terasa beda.“Sean mau ke kamar mandi dulu, Ma,” dengan cepat Sean melepaskan pelukan lalu berlari ke kamar mandi. Jani terkikik. Ia lalu pamit berangkat kerja lebih dulu, ia pegawai baru, dan saat itu hari senin, tak
Mereka bertiga berjalan menuju ke pusara Naya, Aya dan Rangga sama-sama merasa hatinya seperti dipermainkan emosi yang selama ini terbendung. Sean menatap bingung dua orang dewasa itu. Ia digandeng Aya, sementara Rangga membawa plastik berisi bunga mawar merah.Tiba mereka di pusara dengan nisan bertuliskan nama putri mereka. Rangga bersimpuh lebih dulu, ia mengusap batu nisan itu lalu menunduk, berdoa yang pada akhirnya menangis. Di sebelahnya, Aya ikut bersimpuh, ia berdoa lalu menata bunga di atas pusara putrinya.“Ini siapa, Ma, Pa?” tanya Sean menatap bingung. Aya tersenyum, ia bingung harus jawab apa.“Ini Kakaknya Sean, Kak Naya namanya,” jawab Rangga.“Kakak? Sean punya Kakak?” bocah itu masih tak percaya. Aya hanya bisa menatap Sean yang begitu tak percaya.“Ini anak Mama Aya, kalau Sean manggil Mama Aya, Mama, berarti Naya Kakak Sean juga,” sahut Aya. Sean yang masih bingung memilih mengangg
Aya membuka pintu apartemennya setelah memasukkan kode kunci, tampak Jani sedang membaca majalan sambil duduk di meja makan. Di sisi kanannya tersedia mangkok berisi potongan buah.“Jani …” sapa Aya sambil meletakkan tas tangan yang ia bawa. Jani menatap, ia menatap bingung ke kakaknya yang baru pulang dari rumah Rangga.“Kenapa mukanya gitu, Mbak? Ada apa? Ketemu nenek lampir di sana?” godanya di akhiri kekehan sinis. Aya menggelengkan kepala.“Aku bingung.” Aya menandaskan air putih milik Jani. Pikirannya mendadak kacau saat ia di kereta tadi, banyak hal yang ia analisa selama perjalanan tadi. “Rangga bener-bener mau serius jalanin hubungan aku dan dia, Jani, tapi aku merasa takut, menurut kamu gimana?” tatap Aya dengan kening sedikit mengkerut. Jani menutup majalahnya. Lalu bertopang dagu menatap Aya yang duduk di hadapannya.“Hati Mbak Aya gimana? Sudut hati yang paling dalam?” J