Askara membuka mata, gua-gua langit menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Ia berusaha untuk bangun, namun sekujur tubuh terasa sakit dan pegal. Terutama bagian kaki, ukurannya sedikit membesar dan juga membiru. Akhirnya pemuda itu berusaha untuk bangun dan duduk bersandar di bebatuan yang dijadikan ranjang tidurnya.
Askara mulai ingat apa yang terjadi saat pelatihan sebelumnya. Ia terjun dari ketinggian sampai berakhir jatuh ke sungai dan mengacaukan area sana, saat itu juga Askara berhasil melakukan ajian napak banyu. Namun tenaganya hampir terkuras karena penggunaan mata biru dan tidak ingat apapun lagi setelah itu.
Masih banyak pertanyaan di benak pemuda yang baru berumur enam belas tahun itu, soal bagaimana ia bisa terbang juga efek penggunaan mata biru yang ternyata menguras tenaga. Padahal sebelum itu sang sepuh pernah menjelaskan jika kekuatan mata diaktifkan, maka tenaga yang sempat terkuras akan kembali pulih.
Askara sangat sibuk hari ini. Pemuda itu bekerja keras mengguling-gulingkan bebatuan sungai yang sempat ikut meluap bersama air. Sesekali ia menyeka keringat di kening, saking luar biasa menyengat dan panasnya sang surya siang hari ini. Semua ini dilakukan tiada lain karena memegang tanggung jawab. Area sungai sampai porak poranda akibat pengaruh latihan kerasnya kemarin. Sempat beberapa kali istirahat melepas letih, ukuran batu yang di gulingkan bahkan ada yang sebesar lima kali postur manusia. Tangan pemuda itu juga terlihat meraba-raba pinggangnya yang mulai terasa pegal, bahkan lengan dan otot kaki pun perlahan terasa panas. Menurut penuturan Dwara, mengembalikan posisi bebatuan ke tempat asalnya adalah salah satu pelatihan otot supaya kemampuan tapak jurus semakin terasah. "Apa aku gunakan saja kekuatan mata biru?" Tertepis oleh pesan sang sepuh sebelumnya, kenyataan jika mata biru akan memberikan tambahan tenaga p
"Hiyaaa ... Akhirnya selesai!" sorak Askara berteriak kencang sambil berdiri di atas batu sungai yang paling besar. Suara teriakannya bercampur dengan bunyi aliran sungai yang deras. Setelah dua hari ini ia menggulingkan bebatuan yang sempat beterbangan ke segala arah karena ulahnya. Tak aneh Askara teramat bahagia saat berhasil menyelesaikannya. "Padahal kemarin sungai ini sedikit kering, sekarang pun tidak hujan. Tapi kenapa airnya bisa tiba-tiba deras seperti ini?" Askara langsung berkacak pinggang saat debit air sedikit naik dari sebelumnya. "Apa ada di daerah hulu sana sedang hujan?" tanyanya sambil menengok ke jalur hulu sungai yang membentang ke barat sana. Tak lama Askara menyadari sesuatu, pemuda itu sampai menepuk keningnya sendiri. "O Iya, aliran sungai kemarin kan sempat terbendung batu ini. Tak aneh jika airnya menyusut. Sekarang aku sudah menyingkirkan batunya, pantas kalau airnya jadi deras. Ya ampun, pik
"Akulah Dalu Caka, penunggu curug kapakuda ini!" tegas anak muda itu seraya terlihat memegangi kening. Askara malah diam sambil menilik-nilik wajah lawan bicaranya. Ternyata ada benjolan biru yang membuat anak itu terus menutup keningnya. Bukan masalah besar, hanya saja nada bicara anak itu terlalu meninggikan dirinya sendiri. Tak mengimbangi luka benjol yang merias area wajahnya. Tentu saja hal ini membuat Askara geli hati menahan tawa. "Ppftt! Penunggu curug dengan benjolan imut? Uuuh sungguh aku takut ..." ejek Askara lantas terbahak-bahak setelahnya. Wajah anak kecil yang bernama Dalu itu pun seketika merah padam. Ia berkacak pinggang sambil mengoceh pelan sampai tak terdengar. Dengan pipi mengembung disertai kedua alis mata menjorok mendesak hidung mungilnya. Jengkel dengan Askara yang dengan renyah menertawainya. "Hei, jangan tertawa! Kau tidak tahu sekarang kau sedang berhadapan dengan siapa, hah?!" erang Dalu seraya menunjuk-nunjuk Askara.
"Jadi? Sampai sekarang kau masih belum menguasai jurus Napak Hawa ya?" Dwara berpangku tangan di dadanya, memandang muridnya yang sedari tadi hanya menunduk sambil terus menggaruk kepala."Begitulah, Sepuh." Askara membuang nafas gusar. "Aku tidak ingat bagaimana hari itu bisa melakukannya. Padahal sedang dalam pelatihan Napak Banyu."Dwara berdeham, ia tahu apa yang menjadi kendala Askara saat berlatih. "Konsentrasi. Itu kuncinya. Dari dulu kau selalu berputar-putar dalam masalah itu saja.""Ha? Apa iya aku kurang konsentrasi?" Askara menggulirkan matanya ke atas, tak yakin dengan ucapan sang guru. Ia sempat bertanya dalam benak sendiri, 'apa mungkin karena Dalu? Memang sih. Semenjak ada dia aku jadi susah konsentrasi.'"O ya, aku lihat ada anak kecil yang selalu menemani latihanmu. Siapa dia?"Askara terkejut, ternyata sepuhnya itu sudah tahu perihal Dalu. "Eung ... Dia anak terlantar, y
Dalu dan Askara kini berjalan menyusuri hutan yang penuh akan rerimbunan pohon. Ranting dan dedaunan di sana sangat lebat sampai sinar matahari pun sulit menembus isi hutan. Kondisi sekitaran terasa lembab dan berair, bahkan Askara beberapa kali hampir terpeleset karena ceroboh saat berjalan. Karena kebutuhan hidup, keduanya harus menyebrang ke kawasan barat hutan hitam, kembali masuk ke dunia peradaban manusia guna membeli beberapa makanan. Meski hidup di kawasan barat hutan hitam yang didominasi sihir, tetap saja mereka itu manusia. Sandang dan pangan menjadi mutlak kebutuhan manusia, meskipun sebagian dari mereka terlahir istimewa dengan kekuatan. Manusia penghuni kawasan timur (para pendekar adiwira) sering kali menyebrang ke kawasan barat dan berbaur dengan manusia biasa. Mereka juga menjalani beberapa kegiatan seperti jual beli dan belajar mengajar. Hanya saja, para pendekar adiwira selalu menyembunyikan identitas mereka guna keamanan area barat. Itu semua kare
'Sialan! Itu cindaku,' pikir Askara yang sempat-sempatnya mengumpat dalam nurani. Entah kenapa untuk menelan ludah pun terasa sulit saking gemetar tubuhnya.Selangkah dua langkah, Askara kian mundur disertai Dalu yang bersembunyi di balik punggungnya. Bersamaan dengan itu, cindaku ikut melangkah maju. Berjalan tegap namun tak sempurna bak seekor kera, hanya saja rupanya membentuk harimau dengan lengan berotot mirip manusia.Cindaku yang kian mendekat itu terdengar menggeram kencang, deretan gigi tajamnya menyembul dan menakuti dua insan yang berdiri beberapa jarak di depannya."Dengarkan aku Dalu, kau lari sejauh mungkin dari sini saat aku menghalau monster itu," gumam Askara tanpa menoleh ke belakang."T-tapi Kak ... Itu –""Pergi!" Sekali lagi Askara memerintah dengan penuh penekanan. Langsung saja, Dalu mundur perlahan-lahan sebelum akhirnya berbalik badan. Lantas ia memacu lari sekencang mungkin guna menjauh.Graaa!Cindaku
Askara berusaha mendekat meski beberapa kali jatuh terjerembab. Mencoba menghentikan cindaku yang hendak melukai Dalu. Meskipun ia tahu, jika dirinya terlambat. Graaa ...! Dalu panik, anak itu berusaha lari dan menghindar. Sayang di sela larinya itu, cindaku berhasil menerkamnya. Langsung saja si monster mengigit dan mengoyak area bahu dan leher Dalu sampai terambil sebagian dagingnya. Darah pun seketika banjir di sekujur tubuh anak itu. Dalu memekik kencang, merasakan dahsyatnya rasa sakit yang diakibatkan cabikan gigi cindaku. Sampai akhirnya Askara mematung kala mendengar erangan Dalu yang cukup memekikkan telinga. Suara anak itu terdengar menyakitkan sampai tembus ke ulu hatinya. Pemuda itu membisu, melihat Dalu yang sudah terkapar bermandikan darah. 'Tidak!' 'Mustahil ...' "D-Dalu ...?" katanya terbata-bata. Amarah pun seketika membara, Askara sampai menggertakkan giginya murka. Seketika tubuh pemuda itu menyerap energi an
"Dalu!" pekik Askara saat ia bangun dari pembaringan. Terheran-heran, pemuda itu mengedarkan pandangan dan sedikit terkejut mendapati dirinya duduk di hamparan rumput kecil. Ada air terjun yang alirannya jernih dan menangkan hati. Namun saat Askara melihat deretan bunga wisteria ungu berjejer di sana, ia pun menyadari bahwa dirinya terbangun di sebuah tempat."Tempat ini?" Lagi-lagi bunyi seruling sunda mengalun di sekitar sana. Askara kini tak kaget lagi setelah perbincangan dengan seorang pria hari itu. Di sini, di tempat yang sama ia juga mendengar alunan seruling seperti ini dulu.Artinya, Askara kembali membuka gerbang alam bawah sadarnya."Kau baik-baik saja?"Askara terperanjat seketika. Bagaimana tidak? Tiba-tiba seorang pria berkumis tipis dengan ikat kepala bercorak mega mendung, mendadak muncul dan duduk di sampingnya. Padahal sedari tadi ia sibuk mengedarkan mata, dan tidak ada siapapun sebelumnya.Karena Askara tertegun cukup lama, pri