Share

Bab 7. Menjerit Kesakitan

Sang bibi sengaja menuduh Sinta yang macam-macam agar dia punya alasan untuk memarahi gadis itu. Sinta yang baru memasuki pintu rumah mencoba menghiraukan tuduhan bibinya, melihat Sinta yang mengabaikannya dia langsung menjambak rambut Sinta. 

Gadis itu menjerit kesakitan ketika akar-akar rambutnya seolah lepas dari kulit kepalanya. Sinta pun memohon kepada bibinya supaya berhenti menjambak rambutnya. “ Ampun Bi, Aldi hanya antar aku pulang, kita ketemu di jalan, bener Bi.” Sinta memelas supaya bibinya memberinya belas kasih.

“ Alasan, kamu sudah berani bohong ya,” bentak sang bibi.

 

Bibinya menarik rambut gadis itu semakin kencang sehingga gadis itu berteriak lagi, jeritan kesakitan itu telah menciptakan keributan yang membuat paman Sinta terbangun dari tidurnya. Sang paman dengan matanya yang masih mengantuk karena semalaman lembur di kantornya, segera menuju sumber keributan itu.

Dan, alangkah kagetnya dia melihat istrinya sedang menjambak rambut Sinta. “ Ma, kamu sedang apa, lepaskan!” Sang paman menarik tangan istrinya yang sedang menjambak rambut Sinta.

Paman Sinta dengan nada marah membentak perbuatan istrinya yang sangat keterlaluan terhadap Sinta. Namun, sang istri yang tidak terima di bentak menjelaskan kepada suaminya, jika Sinta telah berbohong.

“Mas, aku lihat dengan mata kepala ku sendiri, keponakan kamu ini di antar oleh laki-laki. Dia bohong kalau semalam dia tidur di rumah temannya.”

Sinta pun menjelaskan kepada pamannya, sang paman yang tahu watak ponakannya itu pun percaya dengan semua yang gadis itu ceritakan. Pamannya menyuruh Sinta beristirahat sementara itu sang paman menarik istrinya masuk ke dalam kamar.

Di kamar yang bersebelahan dengan kamar Sinta terdengar suara Paman dan bibinya sedang berdebat hebat. “ Mas, baru percaya nanti kalau dia sudah hamil duluan,” ucap bibi dengan suara yang lantang.

“ Hah, kamu sungguh keterlaluan, menuduh tanpa bukti,” jawab sang paman. 

Sinta merebahkan badannya di atas kasur, lelah badannya mungkin bisa hilang jika sudah beristirahat tapi lelah pikiran sungguh sulit di dapat obatnya. Sang paman yang selalu membela Sinta telah membuat istrinya tersulut emosi sehingga terjadi pertengkaran di antara mereka berdua.

Sebenarnya, Sinta merasa bersalah setiap kali paman dan bibinya bertengkar karena dirinya. Pernah suatu hari dia berniat ingin keluar dari rumah itu tapi sang paman melarangnya, pamannya mengatakan jika dia sudah berjanji kepada ayah Sinta untuk merawat dan menjaga Sinta sampai gadis itu bertemu dengan jodohnya. 

Janji sang paman terhadap ayahnya itulah yang membuat dirinya membatalkan niatnya itu. Terlebih, uangnya belum cukup banyak untuk menyewa atau mengontrak sebuah rumah.

Gadis itu berusaha memejamkan matanya sejenak, menenangkan pikirannya yang kalut. Namun, mendengar pertengkaran sepasang suami itu tak kunjung berhenti, Sinta yang tadinya ingin beristirahat memutuskan untuk keluar mencari pekerjaan.

***

Di rumah kediaman Hendry Chan, Pak Salim yang sedang menunggu tuan mudanya pulang heran melihat pemuda itu pulang ke rumah menggunakan taksi. Pak Salim ingin bertanya tapi di urungkannya karena dia melihat raut muka tuan-Nya sedang tidak baik-baik saja.

“ Tuan muda, maaf, Tuan Roni, sejak kemarin mencari Tuan.”

“ Oh, nanti aku hubungi dia, terima kasih, Pak,” ucap Marco. “ Pak Salim, tolong suruh Pak Toni ambil mobil di Klub Dragon fly.” Marco menyerahkan sebuah kunci lalu berjalan menuju kamarnya.

Marco masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri, di bawah derasnya air yang membasahi tubuhnya, dia menyesali atas apa yang di lakukannya kepada Anna. “ Tidak seharusnya aku melampiaskan nafsu bejatku kepadanya.” Pekiknya di bawah derasnya air yang terus membasahi sekujur tubuhnya.

Dia sekali-kali berteriak mengempalkan tangannya lalu menonjok tembok yang keras, sampai jari-jemarinya terluka. Namun, jari-jemari yang berdarah itu sedikit pun tak terasa sakit di bandingkan luka yang ada di hatinya.

 

“Louisaaaaaa.” Suara pekikan yang begitu lantang lalu dia terduduk di air yang tergenang. 

Entah berapa lama dia meratapi nasibnya di bawah air yang terus mengalir, ketika dia keluar dari kamar mandi Roni telah berada di kamarnya. “ Hi, Ron, kamu baru sampai? duduk Ron. ” ucap Marco sambil menutupi luka di tangannya.

“ Aku langsung kesini, ketika pak Salim bilang kamu sudah pulang, dan dari tadi aku nungguin kamu keluar dari tempat itu.” Roni menunjuk kearah kamar mandi.

Marco hanya diam, dia mengambil baju di lemarinya dan masuk ke ruangan tempat dia berganti pakaian. Marco yang sedang menghadap cermin berusaha menunjukan sikap seperti biasa, dia ingin terlihat baik-baik saja. Setelah menata rambutnya dan merapikan pakaianya, Marco keluar menemui Roni.

 

Namun, ketika pemuda itu keluar Roni sudah tidak ada di kamarnya. Marco mengambil sebuah kotak rokok yang di taruhnya di dalam laci, lalu dia berjalan menuju teras di kamarnya. Pemuda itu memandang jauh sambil menikmati sebatang rokok yang terus di hisapnya. 

“ Krek ...”

Suara pintu kamarnya terbuka Marco segera menoleh dilihatnya Roni beserta pelayannya masuk ke dalam kamar. “ Aku pikir kamu sudah pulang, Ron,” ucap Marco dengan senyum palsu yang tersungging di bibirnya. 

“ Belum, Marc, aku cari ini.” Roni meletakkan kotak obat ke meja dan menyuruh Marco duduk.

“ Bi Ijah, tolong di obati ya luka, Tuan Marco,” pinta Roni kepada pelayan yang bernama Bi Ijah.

Bi Ijah hanya mengangguk kepada tuannya begitu juga Marco hanya menurut, dia duduk membiarkan pelayan itu menyelesaikan tugasnya. Suasana di kamar itu menjadi sunyi, hanya sesekali terdengar suara Marco yang sedikit merintih kesakitan ketika Bi Ijah menaruh obat di tangannya. 

“ Tuan, sudah selesai,” ucap Bi Ijah.

“ Terima kasih, Bi Ijah, boleh keluar,” jawab Marco.

Setelah Bi Ijah berlalu dari hadapan mereka, Roni duduk di dekat Marco. Roni bertanya kepada Marco apa yang menyebabkan pemuda itu sampai melukai dirinya sendiri. Marco mengambil rokoknya dan menghisapnya, dia ragu untuk menceritakan apa yang terjadi antara dia dan Anna.

Pemuda itu menghembuskan asap rokoknya sebelum dia menceritakan kisah asmaranya bersama Louisa.

Roni yang sedari tadi bersabar menunggu Marco bercerita dengan penuh antusiasnya dia mendengarkan kisah asmara Marco.

Roni sadar jika saudara sepupunya itu sangat mencintai gadis yang bernama Louisa karena dia dapat melihat mata Marco yang begitu bersedih kehilangan kekasihnya.

” Dia telah menikah sudah jadi milik orang lain, Ron.” Marco membuka handphone-Nya dan menunjukan sebuah foto.

Roni mengambil handphone itu lalu melihat foto yang di maksud oleh Marco. Lama Roni terdiam memperhatikan foto itu sambil sekali-kali melihat kearah Marco.

“ Marc, kamu belum terlambat,”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status