"Mas, kamu tau kan kenapa aku belum siap punya anak?" tanya Delia sambil menyusun lagi pakaian bersihnya yang berantakan ke dalam koper.Mereka saling berpandangan."Maafkan aku. Aku butuh beberapa waktu lagi untuk meyakinkan diriku sendiri. Bahwa aku layak untuk kamu pertahanan. Aku layak menjadi ibu dari anakmu. Jangan sampai Mas menyesal karena anakmu dilahirkan oleh perempuan yang pernah depresi."Barra berdecak lirih. Ucapan Delia yang menyalahkan dirinya sendiri membuatnya merasa tersudut. Sebab dulu selalu memojokkan Delia karena kondisinya kala itu. Dipikir Barra, Delia sudah lupa. Nyatanya tidak.Delia duduk di dekat suaminya. "Waktu Mas mandi tadi, Tiara meneleponmu.""Biarkan saja.""Dia akan terus mengejarmu, sampai Mas menikahinya. Karena Mas pernah menjanjikan itu.""Ya, itu salahku. Sejak dulu aku memang bilang ingin menikahinya jika telah mendapatkan restu keluarga. Tapi sebenarnya aku sudah mengajaknya bicara dan aku bilang ingin mempertahankan pernikahan kita.""Aku
"Siapa yang menelepon?" tanya Barra yang telah terbangun. "Kekasihmu."Barra duduk di sebelah istrinya."Aku bilang nggak usah diangkat kan?""Sejak tadi dia menerorku. Aku capek, Mas." Pria itu mengambil ponsel Delia. Kemudian menghapus semua foto dan memblokir nomer Cintiara."Kita akan hidup dalam bayangan masa lalumu. Entah sampai kapan? Sekarang Mas bisa saja bertahan denganku, tapi nggak tahu nanti. Khilaf bisa saja terjadi saat Mas tergoda lagi dengan cinta lamamu. Mas bisa saja bilang telah jatuh cinta padaku, tapi mungkin masih menyimpan perasaan padanya. Sekian lama bersama, nggak akan mudah melupakannya begitu saja. Tolong Mas memahamiku sebagai perempuan biasa, bukan malaikat atau bidadari. Suatu saat mungkin aku akan lelah dan menyerah dengan semua ini." Delia berdiri dan kembali masuk kamar. Mengemas semua pakaian dan oleh-oleh untuk keluarga."Kita berkemas dan langsung ke bandara saja," ucap Delia saat Barra menghampiri."Penerbangan masih jam empat nanti.""Nggak a
Setelah Samudra pergi, Diva baru menyadari sesuatu. Dia merasa tak asing dengan dokter tadi. Tatapan teduh matanya seperti pernah ia lihat."Ada apa, Mbak?" tanya Nunik, salah seorang karyawan butik mamanya."Aku sepertinya pernah lihat dokter tadi.""O, dokter Samudra namanya, Mbak. Ramah dan sopan dia."Sekalipun merasa mengenali, tapi benak Diva menyangkal. Tak mungkin dia pria yang ditabrak mobilnya tempo hari. Pria yang dinantikan teleponnya karena ia harus bertanggungjawab atas kerusakan lampu sein. Namun sampai hari ini, pria itu tak menghubunginya. Diva yang waktu itu buru-buru, tidak sempat mengingat plat nomer mobilnya."Nanti kalau ibu sudah boleh pulang, telpon saja aku ya. Aku yang akan jemput ke sini daripada kamu ajak naik taksi." Diva berpesan pada Nunik. Dan gadis itu mengiyakan.Sementara Samudra yang sudah selesai visit pasien, kembali ke ruangannya dan melepaskan masker. Tidak mengira kalau hari ini dia bertemu dengan gadis itu lagi. Walaupun dia tidak menyadari ba
Keduanya berpandangan. "Bagaimana aku meyakinkanmu tentang rasa aneh yang kurasakan saat melihatmu ketakutan di sudut kamar, saat kamu sujud dan berdoa dengan air mata membanjiri pipimu, ketika kamu terluka saat mengatakan ketidakwarasan untuk dirimu sendiri, tentang rasaku yang membenci semua lelaki yang menatapmu dengan pandangan memuja. Bagaimana caraku menjelaskan itu agar kamu percaya?"Barra diam sejenak sambil terus menatap wajah istrinya. "Aku nggak pernah melakukan hubungan di luar batas dengan Tiara. Kalau soal uang, mungkin sudah melebihi batas kewajaran orang yang sedang pacaran. Hanya saja aku nggak pernah menyentuhnya seperti yang kulakukan denganmu. Aku berani bersumpah. Apa suami sepertiku nggak layak diberikan kesempatan, Delia? Aku nggak sedang menjalin hubungan baru dengan wanita lain. Tapi kita memang masih terganggu dengan masa laluku."Hening. Delia mengalihkan pandangan dari lelaki yang selalu menatapnya tajam. Suami yang ia kenal tak pandai berkata-kata panjang
Delia menatap serius suaminya. Memandang mata awas yang menciutkan nyali lawan yang dipandangnya. Tapi bisa menggetarkan hati wanita yang tatapnya. "Karena alasan buket bunga ini Mas mau mencarikan gantiku ke seminar? Padahal aku mau berangkat satu jam lagi, lho.""Kenapa memangnya kalau batal?" tanya Barra dingin."Ini nggak profesional, Mas. Urusan pribadi jangan dicampurkan dalam pekerjaan. Aku tahu Mas juga profesional dalam bekerja. Jadi biarkan aku mengerjakan tugasku. Aku nggak akan semurah itu berkencan dengan lelaki yang bukan suamiku. Aku nggak semudah itu mempercayai laki-laki. Bahkan dengan suamiku pun aku masih berusaha untuk bisa percaya!" Delia tersenyum sambil mencondongkan tubuh pada suaminya. Senyum yang menggoda mental Barra."Jangan bercanda, Delia.""Aku serius, Mas. Buatlah aku bisa mempercayaimu dengan cara Mas menyelesaikan permasalahanmu dengan Tiara. Soal setia, jangan meragukanku. Makanya jika aku punya pasangan nggak setia, aku nggak akan rugi kehilanganny
Samudra mengangkat wajah. Gadis yang berpakaian kantoran itu tersenyum ke arahnya sambil mengulurkan tangan untuk menyalami. "Akhirnya kita bertemu juga. Boleh saya duduk di sini?" pintanya ramah."Boleh. Silakan.""Kenapa nggak menghubungi saya. Saya bertanggungjawab atas kerusakan lampu sein yang saya tabrak kemarin.""Nggak apa-apa. Saya sudah membereskannya sendiri," jawab Samudra sambil tersenyum.Diva jadi canggung dan tidak sanggup menatap mata teduh pria di hadapannya. Ada debar di dada yang getarannya terlalu kuat dan membuatnya jadi serba salah. Mata itu seolah menghipnotisnya.Dia terbiasa berhadapan dengan banyak orang. Di kantor, di butik, tapi ini sungguh berbeda. Ada kharisma tak biasa dari sosok pria di depannya."Nama Mas siapa?" tanya Diva pelan."Samudra."Samudra. Dahi Diva langsung mengernyit. Nama yang mengingatkannya pada seseorang. Mata, alis, dan tatapan itu ...."Apa Mas ini dokter yang saya temui di rumah sakit tempo hari?"Senyum menghiasi bibir Samudra. "I
"Cie, yang dijemput!" goda Mbak Ida pada Delia yang masih termangu memandang Barra yang melangkah menghampirinya.Tidak menyangka kalau Barra datang di hari terakhir Delia training. Padahal tadi pagi bilang kalau hari ini dia sangat sibuk. Nyatanya sekarang sudah ada di depan mata."Selamat berakhir pekan, Mbak Delia. Nikmati waktumu selagi masih berdua," ucap Mbak Ida sambil menepuk bahu putri big bosnya, tersenyum hormat pada Barra, kemudian melangkah pergi bergabung dengan rekan yang lain untuk kembali ke hotel dan bersiap pulang ke Surabaya."Loh, katanya Mas sibuk hari ini?" tanya Delia setelah berhadapan dengan suaminya."Sibuk, tadi siang. Habis ketemu relasi, aku langsung pulang dan berangkat menjemputmu ke sini. Kita akan habiskan akhir pekan di sini," jawab Barra sambil membuka pintu mobil untuk istrinya. Delia tidak segera masuk, tapi tengadah menatap sang suami."Kenapa?""Malam nanti ada acara dinner bersama di rumah mama, Mas. Acara ulang tahunnya Mas Sam.""Kamu udah ke
"Delia nggak bisa datang, Sam. Katanya Barra menyusul ke Malang sore tadi," kata Bu Hesti pada Samudra ketika mereka sudah berkumpul di ruang makan."Nggak apa-apa, Ma. Tadi sebenarnya Delia menelepon, tapi pas saya lagi mandi.""Mereka sedang ngebut bikinin baby buat keluarga kita," sahut Nira sambil terkekeh. Pak Irawan dan Bu Hesti tersenyum, hanya perasaan Samudra yang tergilas. Namun ia buru-buru sadar, tak boleh menyimpan rasa itu lebih lama lagi. Semoga hubungan Delia dan Barra makin membaik. Dan dirinya move dari perasaan itu."Mas, kapan ngenalin cewek nih pada kami?" todong Nira sambil membantu mamanya menyusun makanan di atas meja. Menu yang tersedia lebih lengkap malam itu. Samudra tersenyum memandang adik bungsunya. "Nggak sabaran kamu, Ra.""Bukan nggak sabar, Mas. Tapi penasaran tau, nggak?""Sama aja itu!""Nggak aku aja lho yang penasaran. Papa dan mama juga. Mereka nggak sabar pengen lekas dapat mantu," jawab Nira sambil melirik kepada kedua orang tuanya. Bu Hesti