"Kak Velo, stop, jangan masuk sini! Gantian di depan dong," sergah Selvi saat aku hendak duduk di kursi belakang mobil Mas Vincent. Gadis itu bahkan menggunakan kedua tangannya untuk menghalangiku. Meskipun ia tak mungkin memukul atau menyakitiku, sorot matanya terlihat garang. Gadis itu serius melarangku duduk bersamanya di tengah."Eh, aku kan mesti nemenin Ricky, Vi. Ricky itu kan anakku, sudah seharusnya aku menjaganya, kenapa kamu larang?" keluhku memprotes sikapnya. Kok jadi aneh sih anak ini? Kan sudah biasa kalau kami bepergian naik mobil, aku selalu di belakang bersama Bu Berta dan Ricky. Siang ini keluarga besar 201-203 pergi bersama main ke mall, Mas Vincent mau traktir kami makan karena dia baru dapat bonus. Keluarga besar sih, tapi isinya cuma lima orang. "Heleh, berdalih saja Kakak ini. Ricky anak baik pasti maulah aku temani sama Mamak, biasa pula kami main bareng. Sekali-kali lah Kakak nemenin pak sopir. Hihi." Selvi mengerling manja, menggodaku.Walah! Jadi ini maks
Bekerja sebagai penyanyi di kafe ini cukup menyenangkan. Gajinya memang tidak besar, tapi lumayan sebagai uang tambahan. Belum lagi kalau ada pengunjung yang memberi tips atau hadiah. Jadwal kerjanya juga tidak terlalu mengikat. Kami bisa minta libur saat sakit atau ada keperluan. "Pokoknya kita masing-masing bebas atur jadwal sebagai satu tim, saling pengertian, saling terbuka, dan yang penting panggung tetap jalan, ya," kata Mas Randy yang jadi penanggung jawab pertunjukan.Kami berkomitmen agar jangan sampai semua penyanyi libur di hari yang sama, jadi tetap ada yang menyanyi setiap malamnya. Saling pengertian dan koordinasi sajalah. Selain itu bos dan teman-teman yang bekerja di kafe ini sangat bersahabat. Walaupun aku seorang janda muda beranak satu, mereka tetap merespek dan tidak merendahkan aku. Mungkin karena bos kami, Pak Benny, menanamkan sikap itu dalam dirinya, juga anak buahnya. "Semangat, Velove! Kamu pasti bisa membesarkan Ricky dengan baik." Demikian bosku sering m
"Hai, Love!" Erick menyapaku dengan senyuman terbaiknya. Penampilannya pun tak kalah ciamik.Hari ini nampaknya aku harus menyiapkan diri untuk terpesona pada Erick. Si Jarjit ekstra charming. Kenapa tiba-tiba aku menyebutnya sebagai Jarjit lagi? Karena pria ini mendadak mengingatkanku akan masa saat kami masih berpacaran di bangku SMA. Untuk kali kedua Erick mengajak aku dan Ricky pergi. Katanya sih mau ke taman rekreasi terbesar di Jakarta itu, yang ada badutnya itu, bukan yang ada badaknya ya. Eh?Papa si Ricky bertekad untuk menyenangkan anak lelakinya tersayang."Sudah siap?" tanyanya sewaktu tiba di depan pintu rusun kami. "Siap! Tinggal berangkat saja," jawabku riang."Ricky, ikut Papa." Erick mengulurkan tangan agar anakku ikut dengannya. Mereka berdua turun duluan, sedangkan aku mengunci pintu. "Jadi pergi, Ve?" Tetangga sebelahku tiba-tiba nongol. "Jadi, Mas. Mau ikut?" kekehku tak serius.Pria itu tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Kalian saja ya, aku jaga rumah. I
"Mas, bisa minta tolong ambilkan foto kami?" Sepasang suami istri dengan kedua anak mereka menghampiri kami guna meminta tolong mengambilkan foto mereka sekeluarga. "Baik, Pak," sahut Erick. Dengan cekatan ia memotret mereka beberapa kali. Erick bahkan bertindak sebagai pengarah gaya. "Terima kasih, Mas. Mau sekalian saya ambilkan foto dengan istri dan anaknya?" Bapak itu menawarkan diri untuk memotret kami bertiga: aku, Erick, dan Ricky. "Eh ...." Aku kaget mendengar ucapannya. "Boleh, Pak. Pakai ponsel saya ya," sahut Erick cepat. Ia menyerahkan ponselnya kepada bapak itu, lalu sejenak meringis padaku. Aku memelototinya sebentar, tapi aku tidak tega untuk menjelaskan kalau kami hanya mantan pasangan. Ya sudah, aku ikuti saja kemauannya, toh cuma berfoto. "Satu, dua, tiga." Pria itu beberapa kali mengambil foto kami. "Yang mesra dong, Mas. Dirangkul gitu, istrinya .... Nah, bagus! Sekali lagi ya, satu, dua, tiga." Berkat pengarahan gaya dari si bapak, Erick berhasil melancarkan
Menghadapi pria-pria penggoda bagiku sudah tidak mengganggu lagi. Cuekin sajalah intinya. Dan berurusan dengan dua pria pengejar hatiku, mantan suami dan tetanggaku, juga sudah membuatku terbiasa. Mereka berdua memang kadang masih nyebelin, tapi tidak ada lagi ribut atau persaingan sengit. Entah perjanjian apa yang sudah mereka buat, kemungkinan sudah ada kesepakatan di antara keduanya untuk bersaing secara sehat dan tidak saling menjatuhkan. Nggak ada yang mau ngaku kalau aku tanyain. Ah, biarin saja mereka! Selain kedua jenis pria ini, yang serius atau yang sekadar menggoda, aku menemukan satu jenis lain yang sedikit unik.Di suatu malam seorang pria muda dan tampan menemuiku. "Selamat malam, Velove," sapanya dengan seulas senyum di wajahnya. Penampilannya trendi, dan wajahnya tampak dandy khas pria metroseksual.Bukan berarti aku melihatnya dengan make-up mencolok seperti anggota-anggota boyband Korea yang mau tampil di panggung, tapi tampak jelas kalau ia merawat wajah dan tubuhn
Tidak butuh waktu lama bagi Charlie untuk mendapatkan kepercayaanku. Dalam pikiranku selama ini Charlie yang selalu sopan itu lelaki yang baik. Pria itu masih suka memberikan hadiah kecil setelah aku tampil. Ia juga sering menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang, namun untuk yang satu ini aku lebih memilih untuk menolak. Erick dan Mas Vincent saja sampai saat ini masih belum aku beri kesempatan untuk itu, apalagi Charlie. Lalu suatu malam job menyanyiku selesai lebih awal, Charlie datang menemuiku. "Hai, penyanyi kesayangan Charlie," sapanya riang. Seperti biasanya penampilan Charlie tidak pernah gagal, selalu memesona. "Hahaha. Hai, Charlie. Masih di sini?" sahutku sembari mengemasi barang-barangku yang tak seberapa. "Masih dong, aku menantimu supaya kita bisa pulang bareng. Boleh kan? Mumpung belum terlalu malam." Lagi-lagi pria itu meminta sambil memasang muka memohon dengan wajah tampannya. "Hehe. Boleh deh, aku juga belum pesan ojol kok. Sekarang saja ya, biar nggak kema
"Sudah, tenanglah, Velove. Ada aku di sini, jangan takut lagi." Pria itu terus berupaya menenangkanku, membiarkan aku menangis di dadanya, sambil sesekali mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan. Sikapnya seperti seorang bapak yang menenangkan anak perempuannya. Setelah mengalami kejadian naas dengan Charlie tadi, aku hanya bisa syok dan terdiam. Di depan para polisi pun aku tak bisa menangis. Namun, ketika tetangga yang aku sayangi ini datang, aku merasa diriku sangat lemah, dan butuh dilindungi, hingga akhirnya aku mencurahkan seluruh air mataku kepadanya. Memang, orang yang berhasil dihubungi oleh pak polisi tadi adalah tetanggaku, entah bagaimana ceritanya bisa begitu. Barang kali Mas Vincent mengirimiku pesan karena aku belum juga pulang. Walau tidak bisa menjemputku, pria itu selalu memastikan aku pulang dengan selamat. "Sepertinya istri Bapak mengalami pelecehan seksual," ujar salah satu polisi itu kepada Mas Vincent sewaktu tangisanku mulai mereda. Cukup lama juga aku mena
"Turunkan aku, Mas," desakku dengan suara bernada keras. Kami sudah sampai di depan rumahku di lantai dua. Tadinya aku bilang pada Mas Vincent untuk membiarkan aku naik tangga sendiri. Kasihan kan kalau dia harus menggendongku sampai ke lantai dua. "Mas, aku jalan sendiri saja. Kasihan Mas Vincent kalau gendong aku terus, aku berat, Mas," ucapku memintanya untuk tidak bersikap berlebihan lagi. Apa coba katanya? "Kamu berat? Enggak ah, badanmu tuh ringan, seringan badan Ricky. Kalau harus membawa kamu sampai lantai lima pun aku sanggup," sahutnya, lalu dengan santai membawaku berputar seperti orang yang menari. "Udah kayak pengantin baru saja ya kita ini," kekehnya. Edan memang nih orang! Pingin aku timpuk rasanya, tapi kok sayang? Eh, maksudku sayang kalau sampai dia jatuh, nanti aku ikutan jatuh, gitu. Terus apa tadi katanya, bobotku seringan Ricky? Aku disamain dengan bocah umur tiga tahun? Dia pikir tulangku terbuat dari apa? Daun bambu? Ampun deh! Yang lebih edan lagi, setel