Hari itu langit Jakarta sedikit mendung. Udara cukup sejuk, menyisakan kabut tipis di sela-sela pepohonan taman sekolah. Namun di antara keremangan cuaca itu, Kevin punya harapan baru.
Beberapa hari setelah percakapannya dengan Radit, Kevin mulai bergerak. Ia menyadari bahwa menebus kesalahannya tak akan semudah meminta maaf. Ia butuh keberanian, ketulusan, dan waktu. Dan hari itu ia memilih memberi kejutan kecil. Bukan untuk membuat Alina luluh, tapi sekadar ingin melihat senyumnya kembali, walau hanya sebentar. Taman Belakang Sekolah Sebuah paket kecil berbungkus kertas cokelat manis dengan pita biru diselipkan Kevin diam-diam di loker Alina. Di atasnya ada secarik kertas dengan tulisan tangan rapi: “Semoga ini bisa menemani waktu membaca kamu. Aku nggak berharap apa-apa, hanya ingin kamu tahu bahwa kamu layak mendapat yang terbaik. —Temanmu.” Isinya adalah buku klasik terbitan terbatas yaitu Little Women, cetakan edisi ilustrasi yang sangat jarang ditemukan di toko buku biasa. Kevin tahu itu buku favorit Alina, karena dulu Alina pernah bercerita dengan mata berbinar saat membahas tokoh Jo March. Di Ruang OSIS Alina membuka lokernya sepulang sekolah, dan menemukan hadiah itu. Seruni yang ikut bersamanya langsung berdecak kagum. “Waah! Siapa yang ngasih ini, Lin? Cantik banget bungkusnya, dan ini buku yang kamu pengen banget, kan?” Alina mengangguk pelan, matanya membulat saat melihat edisi langka buku itu. Jemarinya gemetar saat membuka halaman pertama dan melihat ilustrasi khas yang ia impikan. “Ini… ini nggak mungkin,” gumamnya pelan. “Ini edisi yang susah banget dicari...” Seruni tersenyum lebar. “Wah, penggemar rahasia kamu keren juga ya. Bisa tahu buku favorit kamu.” Alina membaca surat kecil yang menyertainya. Ia terdiam, wajahnya memerah, ada binar bahagia di matanya. Senyumnya perlahan muncul dengan hangat dan alami. Seruni pun ikut takjub melihatnya. “Akhirnya kamu tersenyum juga. Tumben banget loh,” kata Seruni menggoda. Alina hanya menunduk malu-malu. Namun beberapa menit kemudian, saat mereka sedang bersiap pulang, salah satu anggota OSIS yang baru datang berkata tanpa sadar: “Eh, itu buku dari Kevin, kan? Aku lihat dia nanya ke Bu Erna tentang koleksi perpustakaan langka minggu lalu. Ternyata buat kamu ya?” Seketika senyum di wajah Alina hilang. Langkah Alina terhenti. Ia menunduk, lalu memasukkan buku itu ke dalam tasnya tanpa sepatah kata. Seruni yang awalnya ikut senang, kini menatapnya dengan khawatir. “Lin...? Kamu nggak apa-apa?” Tanya Seruni. Alina menggeleng pelan. Tapi ekspresi wajahnya berubah menjadi datar. Sorot matanya kembali dingin lagi. Tak ada binar bahagia seperti beberapa menit sebelumnya. “Aku pikir ini dari orang yang benar-benar mengagumi aku, bukan karena rasa bersalah,” katanya pelan. “Tapi ternyata ini dari dia.” “Dari Kevin?” Alina mengangguk pelan. “Kenapa dia harus muncul lagi saat aku sudah belajar untuk nggak mengharapkan apa pun darinya?” Seruni tak menjawab. Ia paham luka yang dalam butuh lebih dari sekadar hadiah kecil untuk kembali sembuh seutuhnya Di Kamar Alina Malam itu, Alina duduk di kursi belajar. Buku hadiah dari Kevin tergeletak di mejanya. Ia menatapnya beberapa lama. Bahkan tidak menyentuhnya sejak pulang dari sekolah. “Kenapa kamu harus tahu semua itu sekarang, Kev...? Kenapa bukan dulu, saat aku masih bisa berharap kamu percaya padaku...?” Gumam nya dalam hati. Ia memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya. Tangannya perlahan membuka halaman pertama. Di balik halaman sampul, ia menemukan coretan tangan: “Kadang, kita terlambat menyadari orang yang paling berharga itu bukan karena kita tak peduli, tapi karena kita terlalu buta melihat kebaikannya. Maafkan aku. —K.” Air mata Alina jatuh menimpa halaman itu. Tapi ia tak menangis keras. Hanya diam, dengan sesak yang mengendap. “Aku bahagia, tapi aku juga takut. Takut berharap lagi dan takut patah lagi. Karena aku bukan Alina yang dulu. Aku bukan gadis manja yang mudah percaya.” Keesokan harinya. Pagi itu langit masih kelabu, menyisakan embun tipis di dedaunan taman depan sekolah. Siswa-siswi mulai berdatangan satu per satu, beberapa sedang mengobrol riang, beberapa sibuk dengan gawai masing-masing. Di sisi kanan gerbang utama, Kevin berdiri sendiri. Seragamnya rapi, sepatu bersih, namun wajahnya gelisah. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, menanti seseorang yang sudah dua malam menghantui pikirannya: Alina. Tangannya meremas kertas kecil berisi catatan yang ia tulis semalam. Tapi kini, catatan itu tak berarti apa-apa. Ia memilih mengatakannya langsung. Dari kejauhan, terlihat sosok gadis dengan seragam rapi dan langkah tenang. Rambutnya di kuncir sederhana, wajahnya polos tanpa riasan. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Kevin, melainkan ketenangan yang dingin dari sorot matanya. Ia tak lagi melihat Alina yang dulu yang ceria dan penuh senyum saat pagi menyapa. Alina berjalan mendekat bersama Seruni. Saat jarak mereka hanya beberapa meter, Kevin melangkah maju, mengangkat tangan pelan. “Alina…” Alina sempat berhenti. Mata mereka bertemu sejenak. Wajah Kevin menunjukkan kesungguhan yang tak dibuat-buat. “Boleh bicara sebentar?” tanyanya pelan. Seruni menoleh pada Alina. Gadis itu mengangguk singkat dan memberikan ruang. Kevin berdiri canggung, menatap mata Alina yang kini terasa jauh. “Aku tahu kamu mungkin nggak ingin dengar apa pun dariku. Tapi aku nggak bisa diem aja tanpa minta maaf. Aku mengaku salah, Alina.” “Aku terlalu cepat menilai, terlalu bodoh buat percaya apa yang aku lihat, dan terlalu pengecut buat dengar penjelasan kamu waktu itu.” Lanjut Kevin. Alina hanya diam dengan tatapannya yang datar. Ia menatap Kevin seolah ingin percaya tapi hatinya belum siap membuka diri seperti dulu. “Aku nemu semuanya. Dari handphone Reva, aku baru sadar dan tahu bahwa itu bukan kamu. Aku tahu kamu difitnah. Aku nyesel banget sekarang.” “Kalau kamu bisa maafin aku, aku janji bakal jadi cowok dan pribadi yang lebih baik. Tapi kalau nggak, setidaknya aku ingin kamu tahu kalau aku benar-benar minta maaf dan mengakui kesalahanku.” Kevin sedikit menunduk. Dadanya sesak menunggu reaksi Alina. Alina menarik napas dalam. Matanya sedikit memerah. Ia menoleh ke arah gerbang sekolah, lalu kembali menatap Kevin. “Aku udah maafin kamu, Kev…” Kevin langsung mendongak, matanya berbinar. “Tapi…” Satu kata itu langsung membekukan semangatnya kembali. “…jangan berharap semuanya bisa balik kayak dulu.” Alina melanjutkan dengan nada pelan tapi jelas. “Aku bukan Alina yang kamu kenal sebelumnya. Yang gampang senyum, gampang nangis, dan gampang jatuh hati. Sekarang aku belajar untuk nggak bergantung sama siapa pun lagi. Bahkan sama kamu.” Kevin hanya menatapnya tak membantah dan tak menyela. Karena dia tahu, semua itu benar. “Aku maafin kamu, tapi aku nggak bisa jamin hatiku masih sama.” “Terima kasih udah jujur. Tapi untuk sekarang cukup sampai di sini dulu.” Alina mengangguk kecil, lalu melangkah masuk ke halaman sekolah. Seruni segera bergabung di sisinya. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, ia sempat menoleh dan berkata, “Kevin, terima kasih untuk bukunya. Itu hadiah paling indah yang pernah aku terima.” Dan setelah itu, ia melangkah tanpa menoleh lagi. Kevin berdiri membeku. Tapi meski hatinya remuk, senyum kecil muncul di bibirnya. "Setidaknya dia sudah memaafkan ku." "Dan aku akan terus berusaha sampai dia percaya lagi bahwa aku pantas berada di sisinya."Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l
Malam itu, setelah Kevin pulang, Alina kembali ke kamarnya. Ia merebahkan diri sambil menatap atap kamarnya, membiarkan pikirannya berkelana. Entah kenapa, wajah Kevin yang tadi tersenyum sambil bercanda di jalan pulang masih terbayang jelas. Tapi ia cepat-cepat mengalihkan pikirannya, mengingat semua luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Keesokan harinya, suasana rumah Alina tenang. Ayahnya berangkat kerja, ibunya sibuk di dapur, sementara Alina duduk di teras sambil membaca novel. Udara pagi terasa segar, suara burung bercampur dengan aroma wangi kopi yang diseduh ibunya.Tiba-tiba suara motor kembali terdengar di depan pagar.“Aduh… jangan bilang…” gumam Alina sambil melirik.Dan benar saja, Kevin.Bedanya, kali ini dia membawa dua gelas minuman dingin dan sekantong kertas berlogo toko roti terkenal di kota.Kevin melambai,“Pagi, Lin. Aku nggak ngajak jalan kok, cuma mau nitip sarapan.”Alina menatap curiga.“Nitip sarapan? Itu bahasa lain dari ngajak ketemu kan?”Kevin nyengir,
Motor Kevin melaju menembus jalanan Jakarta yang sore itu tak terlalu macet. Mereka melewati beberapa jalan kecil hingga akhirnya keluar di sebuah kawasan yang terasa berbeda dari hiruk-pikuk kota. Pepohonan rindang menaungi jalan, udara lebih sejuk, dan di kejauhan mulai terlihat kilauan air yang memantulkan cahaya matahari senja.Begitu mereka sampai, Alina langsung tertegun. Di hadapannya terbentang sebuah waduk luas dengan air yang tenang. Di sekelilingnya, pepohonan hijau berjajar, burung-burung sesekali melintas, dan angin membawa aroma segar yang jarang ia rasakan di tengah padatnya kota.Kevin memarkir motor di dekat jalan setapak menuju tepian waduk.“Wow…” gumam Alina tanpa sadar, matanya berbinar. “Aku nggak nyangka di Jakarta masih ada tempat kayak gini.”Kevin tersenyum kecil, melepas helmnya dan ikut berjalan di samping Alina.“Banyak yang nggak tahu. Aku nemuin tempat ini pas lagi nyari spot buat latihan lari waktu dulu.”Mereka berjalan pelan di tepi air, sesekali omba
Hari berikutnya pagi itu langit tampak cerah, meski udara masih membawa embun tipis. Alina baru selesai sarapan dan sedang menyiram tanaman di balkon ketika ibunya memanggil dari ruang tamu.“Alina, ada tamu, Nak. Cepat turun, ya. Ibu lagi bikin teh dulu di dapur.”Alina mengernyit heran.“Tamu? Siapa, Bu?”“Pokoknya turun dulu aja. Nggak sopan bikin orang nunggu lama-lama.”Dengan langkah santai dan masih mengenakan sweater tipis dan celana santai rumahan, Alina pun berjalan menuruni tangga. Tapi begitu matanya menyapu ruang tamu, ia langsung berhenti di anak tangga keempat.Kevin.Cowok itu duduk santai di sofa ruang tamu dengan senyum ramah. Tapi yang membuat Alina terbelalak bukan karena kehadirannya saja, melainkan penampilannya yang berbeda total. Rambutnya kini rapi dengan potongan undercut bersih, wajahnya segar seolah baru keluar dari majalah gaya hidup remaja. Ia memakai kemeja putih bersih yang dilipat rapi di lengan dan celana bahan gelap. Alina berdiri terpaku beberapa d
Hari libur pertama setelah pengumuman hasil nilai semester. Kota terasa lebih tenang dari biasanya. Suara kendaraan berkurang, hanya sesekali terdengar tawa anak-anak yang bermain di gang kecil, atau suara pedagang es keliling yang lewat dengan nyanyian khasnya.Di dalam rumah mungil bernuansa cokelat pastel itu, Alina duduk di lantai kamarnya bersandar pada rak buku. Rambutnya digelung seadanya, kaos longgar dan celana pendek menjadi pakaian harian andalannya. Di tangannya sebuah novel terbitan lama yang sudah mulai menguning di pinggirannya. Ia tampak tenang. Damai. Momen seperti ini adalah hal yang ia rindukan setelah masa-masa sulit selama satu semester terakhir.Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.TIIIN… TIIIINNN!!!Tiba-tiba suara klakson motor terdengar nyaring dari halaman depan rumah. Alina mengernyit, mendongak. Ia meletakkan buku di dadanya dan bangkit pelan, mendekat ke jendela kamar yang menghadap ke depan rumah.Ketika tirai disingkap sedikit…"Astaga…"Jantung
Hari itu cuaca terasa sangat cerah. Matahari menyinari halaman sekolah dengan lembut, menyapu dedaunan yang bergoyang pelan ditiup angin. Para siswa telah berkumpul di lapangan, membentuk barisan kelas masing-masing. Hari ini adalah hari pengumuman peringkat akademik semester 1, sebuah momen yang ditunggu-tunggu dan kadang ditakuti banyak siswa.Alina berdiri di barisan depan kelas nya, mengenakan seragam putih abu yang rapi dengan dasi abu-abu menggantung di lehernya. Rambutnya dikuncir satu, wajahnya datar tapi tenang. Di balik ketenangan itu, jantungnya berdetak cepat.Pengumuman DimulaiWakil kepala sekolah, Bu Ratna, naik ke podium dan mengambil mikrofon. Suaranya tegas dan jelas menggema ke seluruh lapangan."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, anak-anak semua. Hari ini, kita akan mengumumkan peringkat sepuluh besar di setiap kelas berdasarkan hasil penilaian semester satu."Suasana pun mulai ramai. Beberapa siswa mulai berbisik-bisik. Beberapa lainnya tamp