Share

Pertandingan Basket

Penulis: Singacala ID
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-28 03:39:41

Lapangan basket siang itu jauh lebih ramai dari biasanya. Spanduk bertuliskan “Friendly Match Antar Sekolah” membentang di atas tribun. Sorak-sorai siswa terdengar memenuhi udara, menciptakan suasana yang membakar semangat. Suara peluit dari wasit terdengar lantang. Semuanya sibuk bersorak, membawa semangat kebanggaan sekolah masing-masing.

Kevin berdiri di pinggir lapangan, mengenakan jersey bernomor punggung 7 dengan emblem kapten. Wajahnya serius, tapi matanya beberapa kali melirik ke arah koridor suatu kelas tempat Alina berada.

Beberapa jam sebelumnya, Kevin sudah memberanikan diri datang langsung ke kelas itu. Ia menunggu di depan kelas sambil menatap pintu yang terbuka. Saat Alina keluar untuk menuju perpustakaan bersama Seruni, Kevin memanggilnya pelan.

“Alina...”

Langkah Alina terhenti. Ia menoleh perlahan, diam menatap Kevin yang berdiri tegak dengan wajah penuh harap.

“Hari ini ada pertandingan antar sekolah. Pertandingan penting bagi kita. Aku ingin kamu nonton pertandingan ini ya.”

Alina tak menjawab, dan tatapannya kosong. Setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang, ia kembali berjalan tanpa sepatah kata pun. Kevin hanya menunduk dan menghela napas dalam.

Sore Hari – Lapangan Basket

Pertandingan dimulai. Suara sepatu yang berdecit di atas lantai lapangan bergantian dengan pantulan bola dan teriakan strategi. Kevin memimpin timnya dengan penuh ketegasan, namun dalam dirinya ada kegelisahan. Ia tetap bermain bagus, tapi fokusnya terpecah.

“Dia datang nggak, ya…?”

Poin sempat tertinggal di kuarter pertama. Kevin terlihat frustrasi, operannya mulai tak akurat, dan bahkan sempat ditegur pelatih saat time out.

“Kevin! Fokus!” bentak pelatih.

“Maaf, Coach…”

Namun pada kuarter kedua, sesuatu mengubah segalanya.

Dari sisi tribun, Seruni muncul terlebih dahulu, lalu menyusul sosok yang sudah tak asing: Alina. Ia memakai jaket abu-abu sekolah dan berdiri tenang di antara kerumunan. Wajahnya datar, tak ada senyum seperti dulu. Tapi matanya lurus menatap ke lapangan ke arah Kevin.

Kevin menangkap tatapan itu sekilas. Tapi cukup untuk menghidupkan kembali semangatnya.

“Dia datang...”

Dan seketika, permainannya berubah drastis.

Umpan-umpannya kembali tajam. Dribble-nya kembali lincah. Ia mencetak poin demi poin, membuat timnya kembali mengejar ketinggalan. Penonton bersorak histeris setiap kali Kevin mencetak three-point atau memotong bola lawan.

Pada detik-detik terakhir pertandingan, skor imbang. Kevin memegang bola, ia menghindari dua pemain lawan, lalu melakukan tembakan melompat dari garis tiga poin dan bola masuk sempurna.

Seluruh tribun meledak dalam sorakan.

Skor 59 – 56.

Tim Kevin menang.

Setelah Pertandingan

Siswa-siswa mulai turun ke lapangan, memberi selamat pada para pemain. Kevin dikerubungi rekan satu tim, dipeluk, dan diangkat tinggi-tinggi. Namun matanya tetap mencari ke arah tribun tempat Alina berdiri.

Tapi... Alina sudah tidak di sana.

Ia hanya datang sebentar. Dan pergi seperti angin.

Kevin mengepalkan tangan, menahan kecewa. Tapi sekaligus ada sedikit harapan di sana.

“Dia datang walau tak berkata apa-apa. Tapi dia peduli. Masih peduli padaku, aku tahu itu…”

Di Tempat Lain

Alina dan Seruni berjalan meninggalkan lapangan. Jalan mereka menyusuri lorong belakang sekolah yang sepi.

“Kenapa kamu tetap datang, Lin?” tanya Seruni pelan.

“Karena aku ingin melihat apakah Kevin benar-benar berubah. Apakah dia sungguh menyesali semuanya. Dan karena aku ingin lihat pertandingan masa-masa terakhirnya sebelum dia lulus.”

“Kamu masih suka sama dia?”

Alina terdiam sejenak.

“Aku tidak tahu... Mungkin iya. Tapi hatiku bukan seperti dulu. Aku sedang belajar menerima, bukan mengulang kesalahan.”

Seruni mengangguk pelan, paham betul perasaan sahabatnya itu. Di sisi lain, bayang-bayang Radit mulai muncul kembali dalam benak Alina. Sosok yang kini mengisi harinya dengan tawa dan perhatian tanpa syarat.

Keesokan Harinya

Di mading sekolah, foto Kevin saat mencetak point kemenangan dipajang besar-besaran. Semua siswa membicarakan kemenangannya.

Kevin berjalan melewati kerumunan sambil menatap foto itu. Namun hatinya masih kosong, karena satu sorakan yang paling ia rindukan, tak pernah ia dengar.

“Alina…”

**

Hari berikutnya

Hari itu suasana sekolah seperti biasa ramai, hiruk pikuk siswa berseliweran dengan berbagai urusan masing-masing. Tapi di antara keramaian itu, Kevin berjalan sendiri. Wajahnya terlihat sedikit termenung, meski tak ada satu pun yang menyadarinya. Sorak sorai kemenangan kemarin seperti tak meninggalkan jejak kebahagiaan dalam dirinya.

Saat sedang menuju ruang OSIS untuk menyerahkan laporan kegiatan ekstrakurikuler, Kevin tak sengaja berpapasan dengan seseorang di koridor utama, yaitu Radit.

Siswa berambut sedikit acak dan berpenampilan santai itu tengah membawa map dan beberapa kertas fotokopian. Mereka nyaris bertabrakan karena Kevin menoleh ke arah lain saat berjalan.

“Eh, maaf.” kata Radit singkat.

Kevin memicingkan mata, mengenali wajah itu.

“Kamu... Radit, kan?”

Radit mengangguk. “Iya. Kenapa?”

Kevin sempat ragu, tapi akhirnya berkata dengan nada hati-hati. “Bolehkah kita ngobrol sebentar?”

Radit mengangkat alis. “Tentang apa?”

“Alina,” jawab Kevin pelan.

Di Taman Belakang Sekolah

Mereka duduk di bangku tembok yang agak tersembunyi dari pandangan siswa lain. Suasana cukup tenang, hanya suara dedaunan yang bergoyang ditiup angin.

Kevin membuka percakapan lebih dulu.

“Kamu dekat dengan Alina, ya? Aku lihat kalian sering bareng akhir-akhir ini.”

Radit tak langsung menjawab. Ia menatap Kevin dalam-dalam, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. Tak ada arogansi, tak ada ejekan, dan hanya tatapan bingung dan sedikit penyesalan.

“Aku memang dekat dengan Alina,” jawab Radit akhirnya. “Tapi bukan soal pacaran atau apapun itu. Aku cuma ingin selalu ada buat dia. Karena dia pernah di posisi yang sangat hancur.”

Kevin terdiam.

Radit melanjutkan, suaranya mulai terdengar berat.

“Kamu tahu, Kev? Waktu kalian berantem itu, dia pulang ke rumah dengan mata bengkak. Semalaman dia nggak keluar kamar, nggak mau makan, bahkan nyaris pingsan karena nangis terus. Dia bilang nggak apa-apa, tapi ibu dan ayahnya tahu. Dan Alina bilang dia ingin selesaikan semua ini sendiri karena merasa sudah cukup dewasa.”

“Aku nggak tahu kejadian pastinya, tapi dia dihina banyak siswa, dijauhi, dicibir, dan bahkan difitnah. Reva dan teman-temannya bahkan sempat membuat selebaran anonim yang menyudutkan dia. Tapi dia diam dia lawan semua itu dengan satu cara, berubah sikap.”

Kevin kemudian menunduk. Nafasnya mulai tak teratur. Ada gejolak aneh dalam dadanya yang sulit dijelaskan.

“Alina wanita yang kuat. Serius, Kev, kalau bukan dia, mungkin cewek lain udah pindah sekolah, atau mogok belajar. Tapi dia? Dia malah masuk organisasi, bantu OSIS, ikut PMR, pramuka, paskibra. Dia tetap belajar, tetap tampil di depan umum. Dia ubah semua cibiran jadi kekuatan.”

Radit menatap Kevin tajam.

“Dan kamu!! seharusnya tahu semua itu lebih awal.”

Kevin mendongak pelan, kemudian matanya sedikit basah. Rahangnya mengeras, seperti menahan guncangan hebat dalam dirinya.

“Aku… aku kira dia memang begitu. Aku kira semua itu bener. Reva, dia buat aku percaya semua kebohongan itu...”

Radit hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri.

“Terlambat menyesal itu wajar, Kev. Tapi jangan ulangi kesalahan yang sama. Kalau kamu memang ingin memperbaiki, jangan cuma datang waktu saat butuh saja, tapi buktikan. Dan ingat, Alina sekarang bukan yang dulu. Dia udah berdiri di kakinya sendiri.”

Radit pergi meninggalkan Kevin yang masih duduk membeku.

Kevin duduk sendirian menatap langit yang tertutup daun-daun rimbun. Hatinya seperti terjepit.

“Apa aku benar-benar menghancurkan dia selama ini? Apa aku terlalu mudah percaya dan meninggalkannya begitu saja...?”

Bayangan Alina melintas dalam benaknya, senyum hangat yang dulu selalu menyambutnya di kantin, tatapan kagum saat Kevin latihan basket, bahkan cara dia tertawa kecil saat Kevin menggoda hal-hal sepele.

Semuanya kini hanya kenangan.

Dan Alina yang sekarang?

Dingin, tenang, dan tertutup. Tapi lebih kuat dari siapa pun.

“Kamu pengecut, Kev. Kamu tinggalin dia karena kamu terlalu percaya sama orang yang salah. Dan sekarang kamu bahkan nggak tahu harus mulai dari mana.” Gumamnya dalam hati.

Tangannya mengepal kuat.

“Tapi aku akan cari caranya. Aku harus bisa mendapatkan maaf dan mengembalikan Alina yang ceria seperti dulu lagi."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin dan Tentang Masalahnya

    Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l

  • Crush Sang Kapten Basket   Hari-hari Bersama Kevin

    Malam itu, setelah Kevin pulang, Alina kembali ke kamarnya. Ia merebahkan diri sambil menatap atap kamarnya, membiarkan pikirannya berkelana. Entah kenapa, wajah Kevin yang tadi tersenyum sambil bercanda di jalan pulang masih terbayang jelas. Tapi ia cepat-cepat mengalihkan pikirannya, mengingat semua luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Keesokan harinya, suasana rumah Alina tenang. Ayahnya berangkat kerja, ibunya sibuk di dapur, sementara Alina duduk di teras sambil membaca novel. Udara pagi terasa segar, suara burung bercampur dengan aroma wangi kopi yang diseduh ibunya.Tiba-tiba suara motor kembali terdengar di depan pagar.“Aduh… jangan bilang…” gumam Alina sambil melirik.Dan benar saja, Kevin.Bedanya, kali ini dia membawa dua gelas minuman dingin dan sekantong kertas berlogo toko roti terkenal di kota.Kevin melambai,“Pagi, Lin. Aku nggak ngajak jalan kok, cuma mau nitip sarapan.”Alina menatap curiga.“Nitip sarapan? Itu bahasa lain dari ngajak ketemu kan?”Kevin nyengir,

  • Crush Sang Kapten Basket   Momen Indah Bersama Kevin

    Motor Kevin melaju menembus jalanan Jakarta yang sore itu tak terlalu macet. Mereka melewati beberapa jalan kecil hingga akhirnya keluar di sebuah kawasan yang terasa berbeda dari hiruk-pikuk kota. Pepohonan rindang menaungi jalan, udara lebih sejuk, dan di kejauhan mulai terlihat kilauan air yang memantulkan cahaya matahari senja.Begitu mereka sampai, Alina langsung tertegun. Di hadapannya terbentang sebuah waduk luas dengan air yang tenang. Di sekelilingnya, pepohonan hijau berjajar, burung-burung sesekali melintas, dan angin membawa aroma segar yang jarang ia rasakan di tengah padatnya kota.Kevin memarkir motor di dekat jalan setapak menuju tepian waduk.“Wow…” gumam Alina tanpa sadar, matanya berbinar. “Aku nggak nyangka di Jakarta masih ada tempat kayak gini.”Kevin tersenyum kecil, melepas helmnya dan ikut berjalan di samping Alina.“Banyak yang nggak tahu. Aku nemuin tempat ini pas lagi nyari spot buat latihan lari waktu dulu.”Mereka berjalan pelan di tepi air, sesekali omba

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Ke Rumah Alina dan Mengajak Jalan

    Hari berikutnya pagi itu langit tampak cerah, meski udara masih membawa embun tipis. Alina baru selesai sarapan dan sedang menyiram tanaman di balkon ketika ibunya memanggil dari ruang tamu.“Alina, ada tamu, Nak. Cepat turun, ya. Ibu lagi bikin teh dulu di dapur.”Alina mengernyit heran.“Tamu? Siapa, Bu?”“Pokoknya turun dulu aja. Nggak sopan bikin orang nunggu lama-lama.”Dengan langkah santai dan masih mengenakan sweater tipis dan celana santai rumahan, Alina pun berjalan menuruni tangga. Tapi begitu matanya menyapu ruang tamu, ia langsung berhenti di anak tangga keempat.Kevin.Cowok itu duduk santai di sofa ruang tamu dengan senyum ramah. Tapi yang membuat Alina terbelalak bukan karena kehadirannya saja, melainkan penampilannya yang berbeda total. Rambutnya kini rapi dengan potongan undercut bersih, wajahnya segar seolah baru keluar dari majalah gaya hidup remaja. Ia memakai kemeja putih bersih yang dilipat rapi di lengan dan celana bahan gelap. Alina berdiri terpaku beberapa d

  • Crush Sang Kapten Basket   Hari Libur dan Ketenangan yang Terusik

    Hari libur pertama setelah pengumuman hasil nilai semester. Kota terasa lebih tenang dari biasanya. Suara kendaraan berkurang, hanya sesekali terdengar tawa anak-anak yang bermain di gang kecil, atau suara pedagang es keliling yang lewat dengan nyanyian khasnya.Di dalam rumah mungil bernuansa cokelat pastel itu, Alina duduk di lantai kamarnya bersandar pada rak buku. Rambutnya digelung seadanya, kaos longgar dan celana pendek menjadi pakaian harian andalannya. Di tangannya sebuah novel terbitan lama yang sudah mulai menguning di pinggirannya. Ia tampak tenang. Damai. Momen seperti ini adalah hal yang ia rindukan setelah masa-masa sulit selama satu semester terakhir.Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.TIIIN… TIIIINNN!!!Tiba-tiba suara klakson motor terdengar nyaring dari halaman depan rumah. Alina mengernyit, mendongak. Ia meletakkan buku di dadanya dan bangkit pelan, mendekat ke jendela kamar yang menghadap ke depan rumah.Ketika tirai disingkap sedikit…"Astaga…"Jantung

  • Crush Sang Kapten Basket   Alina Bersinar, Ranking 1

    Hari itu cuaca terasa sangat cerah. Matahari menyinari halaman sekolah dengan lembut, menyapu dedaunan yang bergoyang pelan ditiup angin. Para siswa telah berkumpul di lapangan, membentuk barisan kelas masing-masing. Hari ini adalah hari pengumuman peringkat akademik semester 1, sebuah momen yang ditunggu-tunggu dan kadang ditakuti banyak siswa.Alina berdiri di barisan depan kelas nya, mengenakan seragam putih abu yang rapi dengan dasi abu-abu menggantung di lehernya. Rambutnya dikuncir satu, wajahnya datar tapi tenang. Di balik ketenangan itu, jantungnya berdetak cepat.Pengumuman DimulaiWakil kepala sekolah, Bu Ratna, naik ke podium dan mengambil mikrofon. Suaranya tegas dan jelas menggema ke seluruh lapangan."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, anak-anak semua. Hari ini, kita akan mengumumkan peringkat sepuluh besar di setiap kelas berdasarkan hasil penilaian semester satu."Suasana pun mulai ramai. Beberapa siswa mulai berbisik-bisik. Beberapa lainnya tamp

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status