LOGINHari itu cuaca terasa sangat cerah. Matahari menyinari halaman sekolah dengan lembut, menyapu dedaunan yang bergoyang pelan ditiup angin. Para siswa telah berkumpul di lapangan, membentuk barisan kelas masing-masing. Hari ini adalah hari pengumuman peringkat akademik semester 1, sebuah momen yang ditunggu-tunggu dan kadang ditakuti banyak siswa.
Alina berdiri di barisan depan kelas nya, mengenakan seragam putih abu yang rapi dengan dasi abu-abu menggantung di lehernya. Rambutnya dikuncir satu, wajahnya datar tapi tenang. Di balik ketenangan itu, jantungnya berdetak cepat. Pengumuman Dimulai Wakil kepala sekolah, Bu Ratna, naik ke podium dan mengambil mikrofon. Suaranya tegas dan jelas menggema ke seluruh lapangan. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, anak-anak semua. Hari ini, kita akan mengumumkan peringkat sepuluh besar di setiap kelas berdasarkan hasil penilaian semester satu." Suasana pun mulai ramai. Beberapa siswa mulai berbisik-bisik. Beberapa lainnya tampak gugup, termasuk Alina. Tapi ia tetap berdiri tegak. “Kita mulai dari kelas XI IPA 2. Untuk posisi ke-10… jatuh kepada…” Satu per satu nama disebut. Ketika nama teman-temannya disebut, Alina hanya mendengarkan dalam diam. Beberapa siswa tersenyum puas saat namanya terdengar. Tapi Alina tetap tenang, ia bukan menanti pengakuan, namun ia menanti bukti bahwa perjuangannya tidak sia-sia. “Dan peringkat pertama kelas XI IPA 2, dengan nilai rata-rata tertinggi di antara seluruh kelas XI…” Suasana hening. “Alina Putri.” Beberapa siswa sontak terkejut. Ada yang menatap Alina dengan tidak percaya. Ada yang bertepuk tangan dengan tulus. Bahkan beberapa guru yang mengenalnya hanya menatapnya penuh bangga. Seruni yang berdiri di sebelahnya langsung merangkul lengannya. “Alinaaa!! Kamu keren banget!!” bisik Seruni sambil gemetar haru. Alina sendiri sempat terpaku. Seakan tak percaya bahwa nama itu benar-benar disebut. Nama dirinya. Ia perlahan melangkah maju ke panggung sambil menahan emosi yang menggelegak di dada. Langkah kakinya berat namun pasti. Ia menatap podium di mana Bu Ratna telah menunggu sambil tersenyum ramah. Ketika Alina menerima sertifikat penghargaan, tepuk tangan terdengar dari sekelilingnya. Ia membungkuk pelan sebagai tanda hormat, lalu berdiri tegak. Di barisan belakang, Kevin menatapnya dari jauh. Ia tidak berkata apa-apa, namun matanya berkaca-kaca. Ia melihat gadis yang dulu sering ia buat menangis, kini berdiri di atas panggung, menerima pengakuan seluruh sekolah. Setelah turun dari panggung, mata Alina tak sengaja bertemu dengan Kevin. Untuk sejenak, waktu terasa melambat. Mata Alina tajam namun damai. Ia tidak marah dan ia juga tidak senang setelah beradu pandang dengan Kevin. Ia hanya sudah selesai dengan masa lalu. Kevin tersenyum kecil, lirih. "Dia benar-benar sudah bangkit..." Di Ruang Kelas Saat kembali ke kelas, suasana berbeda. Banyak siswa yang biasanya acuh, kini menyapa dan memberi selamat. “Selamat ya, Lin…” “Gokil, kamu ranking satu!” “Keren, Alina. Salut.” Alina hanya membalas dengan senyum tipis dan anggukan sopan. Tidak berlebihan, tidak juga merendah. Ia tahu siapa yang pernah melukainya, dan siapa yang pernah ada bersamanya. Di meja kelas, Seruni menggeser kursinya, menatap Alina penuh bangga. “Lihat, kan? Kamu udah bilang ke aku waktu itu. Kamu mau bangkit, kamu mau berubah. Dan kamu buktikan semua. Hebat, Lin…” Alina memandangi kertas sertifikat itu. “Aku nggak mau ngebuktiin ke siapa-siapa, Run… Tapi aku janji sama diriku sendiri. Aku harus jadi versi terbaik dari aku sendiri, bukan karena orang lain, tapi karena aku yang pantas bahagia.” Seruni mengangguk. Air matanya menetes kecil, tak bisa menahan haru. Hari itu, langit terasa lebih biru. Burung-burung terdengar lebih nyaring. Dan di tengah hiruk-pikuk dunia remaja yang penuh drama, ada satu nama yang bersinar dengan caranya sendiri. Alina. Seorang gadis yang pernah dihinakan. Pernah disalahkan. Tapi bangkit, dan berdiri lebih tinggi dari sebelumnya; karena ia tahu, dirinya sangat berharga. ** Hari-hari berlalu, dan suasana sekolah perlahan berubah. Nama Alina yang dulu sering menjadi bahan gunjingan kini menjadi buah bibir karena prestasinya yang luar biasa. Di mading sekolah, terpampang nama siswa berprestasi. Di urutan pertama: Alina Putri – Ranking 1 Kelas XI IPA 2. Seluruh siswa tak bisa tidak mengakui: gadis itu telah bangkit. Bukan hanya dari luka batin dan perundungan, tapi juga dari keraguan yang dulu menutup jalannya. Di Koridor Sekolah Alina berjalan tenang di koridor sekolah, diiringi lirikan banyak mata. Namun kali ini bukan lirikan menghina, melainkan lirikan kagum. Seragamnya rapi dan sederhana, rambutnya tetap dikuncir, tapi auranya berbeda. Matanya tajam, wajahnya tegas, langkahnya mantap. Di sebelahnya, Seruni dan Radit menyusulnya sambil bercanda kecil. “Eh, anak ranking satu, traktir dong!” canda Radit sambil tertawa kecil. “Traktir makanan sehat aja ya, biar otaknya tetap encer,” sahut Seruni, ikut tersenyum. Alina tersenyum tipis. Ia tidak banyak bicara, tapi senyumnya kini punya arti yang dalam, seperti orang yang sudah berdamai dengan luka, tapi tidak melupakan pelajaran dari masa lalunya. Di sisi lain, Reva kini duduk sendiri di bangku dekat taman belakang sekolah. Tak ada yang lagi mengelilinginya seperti dulu. Teman-temannya menjauh setelah kebenaran terkuak, tentang video palsu, fitnah terhadap Alina, dan rencana manipulatifnya demi memisahkan Kevin dan Alina. Salah satu teman lamanya hanya melirik sekilas lalu berlalu sambil berbisik ke temannya, “Udah ketahuan busuknya, masih aja bisa datang sekolah…” Reva hanya menggigit bibir, menahan rasa malu yang begitu dalam. Ia tahu posisinya kini berada di bawah dan tak ada yang peduli. Tak ada yang percaya lagi. Semua sudah tahu siapa yang sesungguhnya bersinar dan siapa yang mencoba memadamkannya dengan cara kotor. Dari lantai dua gedung sekolah, Kevin berdiri menatap ke bawah. Pandangannya jatuh pada Alina yang sedang berbicara serius dengan guru pembina OSIS. Ia memakai selempang kecil bertuliskan “Ketua Bidang Kegiatan”. Wajah Kevin tak berbohong: ia menyimpan rindu. Tapi juga penyesalan yang besar. "Dia makin bersinar sekarang tanpa aku." "Dia berdiri dengan kakinya sendiri, bahkan lebih kuat dari siapapun." Kevin menghela napas panjang. Ia sadar kini bukan waktunya memaksa. Ia juga tahu bahwa luka yang ia tinggalkan terlalu dalam, dan kepercayaan itu tak bisa kembali hanya dengan maaf. "Mungkin yang bisa kulakukan sekarang hanya berusaha menjadi orang yang pantas, meskipun dari jauh." Di Perpustakaan Hari itu sepulang sekolah, Alina duduk di perpustakaan membaca buku tentang teknik kepemimpinan. Radit datang, duduk di sebelahnya tanpa suara. “Kamu keren, Lin.” Alina menoleh, alisnya terangkat. “Maksudnya?” “Dulu kamu selalu bilang ingin jadi orang kuat, berdiri sendiri, dan membuktikan dirimu. Sekarang, kamu benar-benar mewujudkannya.” Alina menatap buku di tangannya, lalu menutupnya perlahan. “Aku nggak ingin menang atas orang lain. Aku cuma ingin menang atas diriku sendiri.” Radit tersenyum. Ia tahu, itulah sisi Alina yang membuatnya berbeda. Suara lonceng sore sekolah menggema. Beberapa siswa bersiap pulang. Alina berdiri dan menyampirkan tasnya. Dari kejauhan, Kevin melihatnya. Ia tersenyum getir, lalu berbalik arah. "Senyumnya bukan lagi untukku, tapi semoga senyum itu tetap ada selamanya."Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l







