Home / Romansa / Crush Sang Kapten Basket / Alina Bersinar, Ranking 1

Share

Alina Bersinar, Ranking 1

Author: Singacala ID
last update Last Updated: 2025-08-02 00:21:38

Hari itu cuaca terasa sangat cerah. Matahari menyinari halaman sekolah dengan lembut, menyapu dedaunan yang bergoyang pelan ditiup angin. Para siswa telah berkumpul di lapangan, membentuk barisan kelas masing-masing. Hari ini adalah hari pengumuman peringkat akademik semester 1, sebuah momen yang ditunggu-tunggu dan kadang ditakuti banyak siswa.

Alina berdiri di barisan depan kelas nya, mengenakan seragam putih abu yang rapi dengan dasi abu-abu menggantung di lehernya. Rambutnya dikuncir satu, wajahnya datar tapi tenang. Di balik ketenangan itu, jantungnya berdetak cepat.

Pengumuman Dimulai

Wakil kepala sekolah, Bu Ratna, naik ke podium dan mengambil mikrofon. Suaranya tegas dan jelas menggema ke seluruh lapangan.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, anak-anak semua. Hari ini, kita akan mengumumkan peringkat sepuluh besar di setiap kelas berdasarkan hasil penilaian semester satu."

Suasana pun mulai ramai. Beberapa siswa mulai berbisik-bisik. Beberapa lainnya tampak gugup, termasuk Alina. Tapi ia tetap berdiri tegak.

“Kita mulai dari kelas XI IPA 2. Untuk posisi ke-10… jatuh kepada…”

Satu per satu nama disebut. Ketika nama teman-temannya disebut, Alina hanya mendengarkan dalam diam. Beberapa siswa tersenyum puas saat namanya terdengar. Tapi Alina tetap tenang, ia bukan menanti pengakuan, namun ia menanti bukti bahwa perjuangannya tidak sia-sia.

“Dan peringkat pertama kelas XI IPA 2, dengan nilai rata-rata tertinggi di antara seluruh kelas XI…”

Suasana hening.

“Alina Putri.”

Beberapa siswa sontak terkejut. Ada yang menatap Alina dengan tidak percaya. Ada yang bertepuk tangan dengan tulus. Bahkan beberapa guru yang mengenalnya hanya menatapnya penuh bangga.

Seruni yang berdiri di sebelahnya langsung merangkul lengannya.

“Alinaaa!! Kamu keren banget!!” bisik Seruni sambil gemetar haru.

Alina sendiri sempat terpaku. Seakan tak percaya bahwa nama itu benar-benar disebut. Nama dirinya. Ia perlahan melangkah maju ke panggung sambil menahan emosi yang menggelegak di dada.

Langkah kakinya berat namun pasti. Ia menatap podium di mana Bu Ratna telah menunggu sambil tersenyum ramah.

Ketika Alina menerima sertifikat penghargaan, tepuk tangan terdengar dari sekelilingnya. Ia membungkuk pelan sebagai tanda hormat, lalu berdiri tegak.

Di barisan belakang, Kevin menatapnya dari jauh. Ia tidak berkata apa-apa, namun matanya berkaca-kaca. Ia melihat gadis yang dulu sering ia buat menangis, kini berdiri di atas panggung, menerima pengakuan seluruh sekolah.

Setelah turun dari panggung, mata Alina tak sengaja bertemu dengan Kevin. Untuk sejenak, waktu terasa melambat. Mata Alina tajam namun damai. Ia tidak marah dan ia juga tidak senang setelah beradu pandang dengan Kevin. Ia hanya sudah selesai dengan masa lalu.

Kevin tersenyum kecil, lirih.

"Dia benar-benar sudah bangkit..."

Di Ruang Kelas

Saat kembali ke kelas, suasana berbeda. Banyak siswa yang biasanya acuh, kini menyapa dan memberi selamat.

“Selamat ya, Lin…”

“Gokil, kamu ranking satu!”

“Keren, Alina. Salut.”

Alina hanya membalas dengan senyum tipis dan anggukan sopan. Tidak berlebihan, tidak juga merendah. Ia tahu siapa yang pernah melukainya, dan siapa yang pernah ada bersamanya.

Di meja kelas, Seruni menggeser kursinya, menatap Alina penuh bangga.

“Lihat, kan? Kamu udah bilang ke aku waktu itu. Kamu mau bangkit, kamu mau berubah. Dan kamu buktikan semua. Hebat, Lin…”

Alina memandangi kertas sertifikat itu.

“Aku nggak mau ngebuktiin ke siapa-siapa, Run… Tapi aku janji sama diriku sendiri. Aku harus jadi versi terbaik dari aku sendiri, bukan karena orang lain, tapi karena aku yang pantas bahagia.”

Seruni mengangguk. Air matanya menetes kecil, tak bisa menahan haru.

Hari itu, langit terasa lebih biru. Burung-burung terdengar lebih nyaring. Dan di tengah hiruk-pikuk dunia remaja yang penuh drama, ada satu nama yang bersinar dengan caranya sendiri.

Alina.

Seorang gadis yang pernah dihinakan. Pernah disalahkan. Tapi bangkit, dan berdiri lebih tinggi dari sebelumnya; karena ia tahu, dirinya sangat berharga.

**

Hari-hari berlalu, dan suasana sekolah perlahan berubah. Nama Alina yang dulu sering menjadi bahan gunjingan kini menjadi buah bibir karena prestasinya yang luar biasa. Di mading sekolah, terpampang nama siswa berprestasi. Di urutan pertama: Alina Putri – Ranking 1 Kelas XI IPA 2.

Seluruh siswa tak bisa tidak mengakui: gadis itu telah bangkit. Bukan hanya dari luka batin dan perundungan, tapi juga dari keraguan yang dulu menutup jalannya.

Di Koridor Sekolah

Alina berjalan tenang di koridor sekolah, diiringi lirikan banyak mata. Namun kali ini bukan lirikan menghina, melainkan lirikan kagum. Seragamnya rapi dan sederhana, rambutnya tetap dikuncir, tapi auranya berbeda. Matanya tajam, wajahnya tegas, langkahnya mantap.

Di sebelahnya, Seruni dan Radit menyusulnya sambil bercanda kecil.

“Eh, anak ranking satu, traktir dong!” canda Radit sambil tertawa kecil.

“Traktir makanan sehat aja ya, biar otaknya tetap encer,” sahut Seruni, ikut tersenyum.

Alina tersenyum tipis. Ia tidak banyak bicara, tapi senyumnya kini punya arti yang dalam, seperti orang yang sudah berdamai dengan luka, tapi tidak melupakan pelajaran dari masa lalunya.

Di sisi lain, Reva kini duduk sendiri di bangku dekat taman belakang sekolah. Tak ada yang lagi mengelilinginya seperti dulu. Teman-temannya menjauh setelah kebenaran terkuak, tentang video palsu, fitnah terhadap Alina, dan rencana manipulatifnya demi memisahkan Kevin dan Alina.

Salah satu teman lamanya hanya melirik sekilas lalu berlalu sambil berbisik ke temannya,

“Udah ketahuan busuknya, masih aja bisa datang sekolah…”

Reva hanya menggigit bibir, menahan rasa malu yang begitu dalam. Ia tahu posisinya kini berada di bawah dan tak ada yang peduli. Tak ada yang percaya lagi. Semua sudah tahu siapa yang sesungguhnya bersinar dan siapa yang mencoba memadamkannya dengan cara kotor.

Dari lantai dua gedung sekolah, Kevin berdiri menatap ke bawah. Pandangannya jatuh pada Alina yang sedang berbicara serius dengan guru pembina OSIS. Ia memakai selempang kecil bertuliskan “Ketua Bidang Kegiatan”.

Wajah Kevin tak berbohong: ia menyimpan rindu. Tapi juga penyesalan yang besar.

"Dia makin bersinar sekarang tanpa aku."

"Dia berdiri dengan kakinya sendiri, bahkan lebih kuat dari siapapun."

Kevin menghela napas panjang. Ia sadar kini bukan waktunya memaksa. Ia juga tahu bahwa luka yang ia tinggalkan terlalu dalam, dan kepercayaan itu tak bisa kembali hanya dengan maaf.

"Mungkin yang bisa kulakukan sekarang hanya berusaha menjadi orang yang pantas, meskipun dari jauh."

Di Perpustakaan

Hari itu sepulang sekolah, Alina duduk di perpustakaan membaca buku tentang teknik kepemimpinan. Radit datang, duduk di sebelahnya tanpa suara.

“Kamu keren, Lin.”

Alina menoleh, alisnya terangkat.

“Maksudnya?”

“Dulu kamu selalu bilang ingin jadi orang kuat, berdiri sendiri, dan membuktikan dirimu. Sekarang, kamu benar-benar mewujudkannya.”

Alina menatap buku di tangannya, lalu menutupnya perlahan.

“Aku nggak ingin menang atas orang lain. Aku cuma ingin menang atas diriku sendiri.”

Radit tersenyum. Ia tahu, itulah sisi Alina yang membuatnya berbeda.

Suara lonceng sore sekolah menggema. Beberapa siswa bersiap pulang. Alina berdiri dan menyampirkan tasnya.

Dari kejauhan, Kevin melihatnya. Ia tersenyum getir, lalu berbalik arah.

"Senyumnya bukan lagi untukku, tapi semoga  senyum itu tetap ada selamanya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin dan Tentang Masalahnya

    Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l

  • Crush Sang Kapten Basket   Hari-hari Bersama Kevin

    Malam itu, setelah Kevin pulang, Alina kembali ke kamarnya. Ia merebahkan diri sambil menatap atap kamarnya, membiarkan pikirannya berkelana. Entah kenapa, wajah Kevin yang tadi tersenyum sambil bercanda di jalan pulang masih terbayang jelas. Tapi ia cepat-cepat mengalihkan pikirannya, mengingat semua luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Keesokan harinya, suasana rumah Alina tenang. Ayahnya berangkat kerja, ibunya sibuk di dapur, sementara Alina duduk di teras sambil membaca novel. Udara pagi terasa segar, suara burung bercampur dengan aroma wangi kopi yang diseduh ibunya.Tiba-tiba suara motor kembali terdengar di depan pagar.“Aduh… jangan bilang…” gumam Alina sambil melirik.Dan benar saja, Kevin.Bedanya, kali ini dia membawa dua gelas minuman dingin dan sekantong kertas berlogo toko roti terkenal di kota.Kevin melambai,“Pagi, Lin. Aku nggak ngajak jalan kok, cuma mau nitip sarapan.”Alina menatap curiga.“Nitip sarapan? Itu bahasa lain dari ngajak ketemu kan?”Kevin nyengir,

  • Crush Sang Kapten Basket   Momen Indah Bersama Kevin

    Motor Kevin melaju menembus jalanan Jakarta yang sore itu tak terlalu macet. Mereka melewati beberapa jalan kecil hingga akhirnya keluar di sebuah kawasan yang terasa berbeda dari hiruk-pikuk kota. Pepohonan rindang menaungi jalan, udara lebih sejuk, dan di kejauhan mulai terlihat kilauan air yang memantulkan cahaya matahari senja.Begitu mereka sampai, Alina langsung tertegun. Di hadapannya terbentang sebuah waduk luas dengan air yang tenang. Di sekelilingnya, pepohonan hijau berjajar, burung-burung sesekali melintas, dan angin membawa aroma segar yang jarang ia rasakan di tengah padatnya kota.Kevin memarkir motor di dekat jalan setapak menuju tepian waduk.“Wow…” gumam Alina tanpa sadar, matanya berbinar. “Aku nggak nyangka di Jakarta masih ada tempat kayak gini.”Kevin tersenyum kecil, melepas helmnya dan ikut berjalan di samping Alina.“Banyak yang nggak tahu. Aku nemuin tempat ini pas lagi nyari spot buat latihan lari waktu dulu.”Mereka berjalan pelan di tepi air, sesekali omba

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Ke Rumah Alina dan Mengajak Jalan

    Hari berikutnya pagi itu langit tampak cerah, meski udara masih membawa embun tipis. Alina baru selesai sarapan dan sedang menyiram tanaman di balkon ketika ibunya memanggil dari ruang tamu.“Alina, ada tamu, Nak. Cepat turun, ya. Ibu lagi bikin teh dulu di dapur.”Alina mengernyit heran.“Tamu? Siapa, Bu?”“Pokoknya turun dulu aja. Nggak sopan bikin orang nunggu lama-lama.”Dengan langkah santai dan masih mengenakan sweater tipis dan celana santai rumahan, Alina pun berjalan menuruni tangga. Tapi begitu matanya menyapu ruang tamu, ia langsung berhenti di anak tangga keempat.Kevin.Cowok itu duduk santai di sofa ruang tamu dengan senyum ramah. Tapi yang membuat Alina terbelalak bukan karena kehadirannya saja, melainkan penampilannya yang berbeda total. Rambutnya kini rapi dengan potongan undercut bersih, wajahnya segar seolah baru keluar dari majalah gaya hidup remaja. Ia memakai kemeja putih bersih yang dilipat rapi di lengan dan celana bahan gelap. Alina berdiri terpaku beberapa d

  • Crush Sang Kapten Basket   Hari Libur dan Ketenangan yang Terusik

    Hari libur pertama setelah pengumuman hasil nilai semester. Kota terasa lebih tenang dari biasanya. Suara kendaraan berkurang, hanya sesekali terdengar tawa anak-anak yang bermain di gang kecil, atau suara pedagang es keliling yang lewat dengan nyanyian khasnya.Di dalam rumah mungil bernuansa cokelat pastel itu, Alina duduk di lantai kamarnya bersandar pada rak buku. Rambutnya digelung seadanya, kaos longgar dan celana pendek menjadi pakaian harian andalannya. Di tangannya sebuah novel terbitan lama yang sudah mulai menguning di pinggirannya. Ia tampak tenang. Damai. Momen seperti ini adalah hal yang ia rindukan setelah masa-masa sulit selama satu semester terakhir.Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.TIIIN… TIIIINNN!!!Tiba-tiba suara klakson motor terdengar nyaring dari halaman depan rumah. Alina mengernyit, mendongak. Ia meletakkan buku di dadanya dan bangkit pelan, mendekat ke jendela kamar yang menghadap ke depan rumah.Ketika tirai disingkap sedikit…"Astaga…"Jantung

  • Crush Sang Kapten Basket   Alina Bersinar, Ranking 1

    Hari itu cuaca terasa sangat cerah. Matahari menyinari halaman sekolah dengan lembut, menyapu dedaunan yang bergoyang pelan ditiup angin. Para siswa telah berkumpul di lapangan, membentuk barisan kelas masing-masing. Hari ini adalah hari pengumuman peringkat akademik semester 1, sebuah momen yang ditunggu-tunggu dan kadang ditakuti banyak siswa.Alina berdiri di barisan depan kelas nya, mengenakan seragam putih abu yang rapi dengan dasi abu-abu menggantung di lehernya. Rambutnya dikuncir satu, wajahnya datar tapi tenang. Di balik ketenangan itu, jantungnya berdetak cepat.Pengumuman DimulaiWakil kepala sekolah, Bu Ratna, naik ke podium dan mengambil mikrofon. Suaranya tegas dan jelas menggema ke seluruh lapangan."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, anak-anak semua. Hari ini, kita akan mengumumkan peringkat sepuluh besar di setiap kelas berdasarkan hasil penilaian semester satu."Suasana pun mulai ramai. Beberapa siswa mulai berbisik-bisik. Beberapa lainnya tamp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status