Home / Romansa / Crush Sang Kapten Basket / Kebenaran Yang Terungkap

Share

Kebenaran Yang Terungkap

Author: Singacala ID
last update Last Updated: 2025-07-27 02:56:35

Hari itu cuaca cukup teduh. Setelah jam pelajaran selesai, Alina diminta oleh pihak OSIS untuk menjadi MC dadakan dalam acara dokumentasi profil sekolah yang sedang dikerjakan oleh klub multimedia.

Alina awalnya ragu, tapi akhirnya menerima tugas itu karena merasa ini tantangan baru.

Di Studio Multimedia

Studio kecil di lantai tiga itu penuh dengan alat-alat kamera, laptop editing, dan beberapa siswa sibuk menyusun konsep. Salah satu di antaranya adalah seorang siswa kelas dua bernama Raditya. Rambutnya sedikit gondrong, kacamata tipis, dan selalu membawa kamera DSLR ke mana pun dia pergi.

Saat Alina masuk ruangan, Raditya yang sedang fokus mengatur lensa, dan ia menoleh. Sejenak, pandangan mereka bertemu.

“Oh... kamu Alina, ya?” ucap Radit sambil menurunkan kameranya.

“Iya, katanya aku harus jadi host buat video sekolah.”

“Pas banget,” Radit tersenyum singkat. “Aku yang motret dan ngerekam kamu. Jadi pastikan kamu nggak kaku ya.”

Alina tersenyum tipis.

“Aku bakal coba sebisa mungkin.”

Dari pertemuan pertama itu, Radit langsung bisa melihat aura berbeda dalam diri Alina. Ia bukan sekadar cantik. Tapi ada sesuatu di matanya, semacam luka yang disembunyikan rapat-rapat, tapi justru membuatnya terlihat kuat dan menarik.

Beberapa Hari Kemudian

Setelah proses syuting dan wawancara berjalan lancar, Radit dan Alina jadi lebih sering bertemu. Sesekali Radit mengirimkan potongan video ke W******p Alina untuk diminta feedback-nya.

Percakapan mereka perlahan melebar ke hal-hal di luar tugas. Tentang musik, film, bahkan buku.

Suatu sore, Alina dan Radit duduk di bangku taman sekolah setelah rapat OSIS.

“Kamu tuh beda ya, Lin,” ucap Radit sambil memainkan tutup botol minumnya. “Banyak cewek berusaha kelihatan kuat, tapi kamu memang benar-benar kuat.”

Alina tertawa kecil.

“Mungkin karena aku nggak punya pilihan selain menjadi sosok yang sok kuat.”

Radit menoleh.

“Tapi kamu nggak harus sendiri, tahu.”

Mata mereka bertemu sejenak. Tapi Alina tetap menunduk. Ia belum siap membuka hatinya lagi, meski ia tahu, ada sesuatu yang hangat dari Radit terasa berbeda dari Kevin yang impulsif dan penuh ego.

Sementara Itu...

Kevin tak sengaja melihat Alina dan Radit yang sedang tertawa di taman sekolah. Dadanya kembali berdenyut. Dulu, itu tempat dia biasa duduk bareng Alina. Tempat pertama kali dia memuji rambut Alina yang basah karena hujan.

Kini, orang lain duduk di sana bersamanya.

Temannya menepuk bahunya.

“Vin, lo kelihatan nggak tenang banget tiap liat Alina. Lo yakin nggak nyesel?”

Kevin menunduk.

“Dia udah bukan milik gue lagi, bro…”

Tapi hatinya tak bisa menerima sepenuhnya.

Hari Ujian

Alina kini makin sibuk. Selain organisasi, ia juga jadi pengurus dokumentasi di klub multimedia karena dorongan Radit. Setiap pagi mereka sering tiba lebih awal untuk mempersiapkan alat.

Di depan kelas, Radit menyodorkan air mineral.

“Buat kamu. Biar nggak tegang pas ujian nanti.”

“Wah, terima kasih. Kamu perhatian banget ya.”

“Biasa,” Radit tersenyum. “Kalo aku peduli sama seseorang, ya aku tunjukin.”

Alina menahan napas sejenak. Kata-kata itu seolah menusuk sesuatu dalam hatinya.

Di Rumah

Alina duduk di kamarnya sambil melihat layar ponselnya. Sebuah pesan dari Radit masuk:

“Makasih ya buat hari ini. Aku senang bisa jadi bagian dari keseharian kamu. :)”

Alina membaca ulang pesan itu berkali-kali. Jantungnya tak berdebar secepat dulu saat bersama Kevin. Tapi ada rasa damai, nyaman dan perlahan, rasa itu tumbuh.

Ia menulis di buku hariannya:

Aku belum tahu apakah Radit akan menjadi orang yang bisa mengobati semuanya. Tapi untuk pertama kalinya aku merasa ada seseorang yang melihat aku bukan karena rumor, bukan karena wajahku, tapi karena melihat aku yang sebenarnya.

Langit sore berwarna keemasan saat suara bel pulang sekolah menggema di seluruh lorong. Siswa-siswa mulai berhamburan dari kelas, beberapa menuju gerbang, beberapa mampir ke kantin seperti biasa.

Kevin, yang hari itu sedang tidak ada latihan basket, memilih duduk sendiri di sudut kantin. Pandangannya kosong, memikirkan banyak hal. Tentang Alina yang kini tak lagi melihatnya. Tentang Radit yang mulai mengisi ruang yang dulu ia abaikan. Dan tentang kata-kata yang pernah ia lontarkan dan kini ia sesali.

Di tengah lamunannya, pandangannya tertuju pada sebuah ponsel yang tertinggal di atas meja tak jauh darinya. Ia mengenali casing glitter pink itu adalah punya Reva.

“Tumben dia ceroboh...” gumam Kevin pelan.

Kevin sempat hendak menyerahkan ke petugas kantin, namun layar ponsel itu tiba-tiba menyala dengan notifikasi dari aplikasi chat:

“Akun fake-nya aman kok. Gw udah blokir semua aksesnya biar nggak ketahuan.”

Kevin terdiam.

Seketika, rasa curiga membuncah dalam dirinya. Ia tak berniat mengintip, tapi sesuatu menahannya. Dengan ragu, ia membuka layar dan tanpa disengaja, ponsel itu tidak terkunci.

Jemarinya bergerak perlahan, membuka aplikasi pesan. Di sana, ia menemukan chat grup beranggotakan Reva dan gengnya: Nadine, Melisa, dan Fira. Dan isi chat itu membuat darah Kevin seakan berhenti mengalir.

Nadine: “Gila, itu Alina sekarang malah makin populer. Padahal Reva udah bikin dia malu total.”

Melisa: “Yg penting Kevin udah menjauh dari dia. Mission accomplished.”

Reva: “Cuma butuh akun fake dan kata-kata manis. Cowok mana sih yg gak kepancing? 😏”

Fira: “Tapi Kevin kok malah makin diem? Gak takut dia tahu?”

Reva: “Dia gak bakal tahu. Lagian, aku udah hapus semua log history akun fake itu di lab OSIS.”

Kevin terpaku.

“Jadi selama ini, Alina enggak bersalah?”

Tangannya mengepal dengan kuat. Kepalanya mendadak panas, dan dadanya penuh amarah; bukan hanya pada Reva, tapi pada dirinya sendiri.

“Aku udah nyakitin dia karena kepercayaan buta dan sebuah kebohongan.”

Beberapa Menit Kemudian

Reva kembali ke kantin dengan langkah santai, sambil memainkan rambutnya. Ia hendak mengambil ponselnya, namun wajahnya berubah pucat saat melihat Kevin berdiri di depan meja dengan ponsel itu di tangannya.

“Kevin...? Itu... hp aku...”

Kevin menatapnya tajam, mata yang dulu hangat kini seperti pisau.

“Berapa lama kamu mau mainin aku kayak gini, Reva?”

“Hah? Maksud kamu apa—”

“Cukup!” Kevin membentak. “Aku sudah lihat semuanya. Chat grup kamu, akun fake, rencana kamu ngejebak Alina, bahkan semua rencana busukmu!”

Reva terdiam. Untuk pertama kalinya, lidahnya kelu. Teman-temannya berdiri tak jauh, dan ikut membisu.

“Kamu ngehancurin hidup seseorang. Kamu bikin aku benci orang yang bahkan gak pernah salah. Kamu tahu itu?!”

“Aku... aku cuma gak pengen kamu dekat sama dia. Aku... sayang sama kamu, Vin.”

“Sayang?” Kevin tertawa sinis. “Kalau itu sayang, kamu gak akan hancurin orang lain buat dapatin aku.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Kevin melemparkan ponsel itu ke atas meja dan berbalik pergi dengan langkah cepat.

Malam Hari

Kevin duduk di kamarnya. Tangannya sedikit gemetar saat mengetik pesan. Berkali-kali ia hapus, lalu ketik ulang.

Akhirnya ia mengirim satu kalimat pendek ke W******p Alina yang ia dapatkan dari ketua OSIS:

“Aku perlu bicara. Tolong beri aku kesempatan satu kali aja.”

Tapi tak ada balasan malam itu.

Di Rumah Alina

Alina membaca pesan pop up yang muncul di layar hp nya itu berkali-kali. Ia tahu siapa pengirimnya.

Tapi hatinya tak bergerak seperti dulu. Ia tak tahu apakah ia siap mendengar apa pun dari Kevin. Hatinya masih terluka. Dan ada sosok baru yang kini mengisi hari-harinya dengan senyuman tulus—Radit.

Ia mematikan layar ponselnya. Tak ada niatan untuk membalas pesan tersebut.

Besoknya di Sekolah

Kevin berdiri di depan kelas Alina saat jam istirahat. Seruni keluar lebih dulu, kaget melihat Kevin di sana.

“Dia nggak mau ketemu kamu, Vin,” kata Seruni dingin.

“Tolong... kasih tahu dia, aku cuma mau bicara.”

Seruni menghela napas panjang, lalu masuk kembali.

Beberapa menit kemudian, Alina keluar dengan ekspresi datar.

“Kamu mau bicara apa?”

“Iya. Aku tahu aku salah besar.”

Alina terdiam sejenak lalu menjawab nya dengan tenang. “Kamu nggak salah, Kevin,” jawab Alina pelan. “Kamu cuma percaya sama orang yang salah. Dan kamu menghukum orang yang bahkan gak pernah minta apa-apa padamu.”

“Alina... aku udah tahu semuanya. Soal Reva, soal akun fake itu. Aku nyesel. Aku bener-bener—”

“Penyesalanmu gak akan menghapus semua yang sudah terjadi.”

“Aku bukan Alina yang kamu kenal dulu, Kevin.”

“Aku tahu. Tapi aku masih...”

Alina menoleh, matanya tenang tapi tajam.

“Kalau kamu bener-bener peduli, kamu gak akan tinggalin aku di saat paling sulit saat itu. Sekarang... aku punya jalan sendiri.”

Dan tanpa berkata apa-apa lagi, Alina berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Kevin yang masih berdiri mematung.

Di Taman Sekolah, Tak Lama Setelah Itu

Radit sudah menunggu dengan dua botol jus dan laptop terbuka. Ia tersenyum saat melihat Alina datang.

“Kamu nggak apa-apa?”

“Aku baik.”

“Kevin?”

“Sudah selesai.”

Radit menatapnya dalam-dalam.

“Kalau suatu hari kamu butuh seseorang yang nggak akan percaya kata orang lain tanpa dengar dari kamu dulu, aku ada di sini.”

Alina tersenyum kecil.

“Terima kasih, Radit.”

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, senyum Alina terlihat kembali.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Crush Sang Kapten Basket   Libur Yang Usai dan Hati Yang Hancur

    Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Bersama Siapa

    Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na

  • Crush Sang Kapten Basket   Liburan Ke Puncak

    Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Semakin Dekat Dengan Keluarga Alina

    Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun

  • Crush Sang Kapten Basket   Menonton Langsung Kevin Bertanding

    Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin dan Tentang Masalahnya

    Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status