LOGINJam pulang sekolah sudah mendekati. Lorong-lorong mulai dipenuhi oleh suara langkah kaki, derit kursi, dan sapaan-sapaan seperti biasa. Tapi tidak bagi Alina. Hari itu terasa berat, meski ia sudah bersiap menghadapi apapun.
Saat ia dan Seruni hendak keluar dari ruang kelas, langkah mereka terhenti di ujung lorong. Kevin. Ia berdiri sendiri, bersandar di dinding dekat rak loker. Seragamnya seperti biasa sedikit berantakan, tak terlalu rapi. Tapi matanya bukan seperti mata Kevin yang dulu. Mata itu kini tampak keras, tajam, dan dingin. Seruni menoleh pada Alina yang refleks menghentikan langkahnya. “Mau ngomong sama dia?” Alina menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini mungkin satu-satunya kesempatan menjelaskan segalanya. Ia tak bisa lari selamanya. “Aku harus coba, Runi. Kalau aku nggak bilang sekarang, dia akan terus salah paham.” Seruni mengangguk pelan. “Aku tunggu di depan ya.” Dengan langkah penuh tekad namun berat, Alina mendekat ke Kevin. “Kevin... Bisa minta waktunya sebentar saja. Aku cuma mau jelasin sesuatu. Aku nggak pernah.....” “Udah cukup, Alina.” Nada suara Kevin membuat langkah Alina terhenti. “Aku udah tahu semuanya. Nggak usah pura-pura polos lagi.” “Tapi... yang kamu lihat itu nggak benar! Itu bukan aku!” Alina mulai panik, matanya berkaca-kaca. Kevin mendengus, dan saat Alina mencoba menyentuh lengan bajunya, ia menepisnya dengan kasar. “Jangan sentuh aku.” Ucap Kevin dengan tegas dan mata yang sedikit melotot ke arah Alina. Alina hanya terpaku. Seolah hatinya yang ditepis, bukan sekadar tangannya. “Aku kira kamu beda dari cewek-cewek lain. Tapi ternyata kamu lebih lihai. Manis di luar tapi busuk di dalam.” Itu kalimat terakhir yang Kevin ucapkan sebelum berjalan melewatinya begitu saja, tanpa menoleh sedikit pun. Alina hanya berdiri mematung. Saat itu dunia terasa memudar. Suara siswa lain hanya terdengar menggema dan terasa jauh. Lalu air matanya pecah, xan ia pun berlari. Di Luar Gerbang Sekolah Langit sore tiba-tiba mendung. Gerimis kecil mulai turun ketika Alina berdiri memeluk tasnya. Seruni mengejarnya, tapi tak sempat berkata apa-apa ketika Alina naik ke mobil ayahnya dan membisu selama perjalanan pulang. Malam Hari di Kamar Alina Tak ada suara, tak ada tangis. Hanya tatapan kosong ke langit-langit kamar. Foto Kevin yang dulu diam-diam ia cetak dan tempel di bagian belakang buku hariannya, kini ia cabut. Ia robek satu persatu. Lalu ia tutup bukunya, dan berbisik pada diri sendiri: “Mulai sekarang, aku nggak akan peduli lagi. Nggak peduli sama Kevin, nggak peduli sama siapapun.” Hari-Hari Berikutnya Setelag kejadian kemarin senyum Alina tak lagi terlihat. Di kelas, ia duduk di barisan paling depan, mencatat dengan fokus di saat pelajaran berlangsung. Ia tak bicara kecuali ditanya oleh guru. Suara-suara cibiran masih ada, tapi ia tak bereaksi. Hanya mata yang tenang, wajah yang dingin. Seruni sering mencoba membuatnya tertawa. Tapi hasilnya sama. Alina hanya akan menjawab pendek: “Aku baik-baik saja, Seruni.” Di perpustakaan, Alina lebih sering menyendiri. Buku-buku yang ia baca kini bukan hanya fiksi, tapi juga tentang psikologi, filsafat, dan sejarah. Seolah ia sedang memperkaya dirinya, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri. Di Lapangan Basket Kevin masih memimpin tim. Tapi dia mulai menyadari sesuatu. Setiap kali bola melayang dan masuk ke ring, tak ada tepuk tangan kecil dari sisi perpustakaan. Tak ada tatapan hangat dari balik jendela. Alina tak pernah muncul lagi di sela latihan. Dan anehnya hal itu membuat Kevin gelisah. Tapi egonya masih terlalu tinggi untuk mengakui ada kesalahan. Di Balkon Kelas Dua Reva duduk santai, melihat Alina yang berjalan melewati lorong sendirian. Ia tersenyum, tapi ada sesuatu yang berbeda. Kali ini bukan senyum puas. Tapi sebuah senyum yang bingung. “Kok dia malah makin keren, ya?” gumam Reva sendiri. Kemenangan yang ia rasakan justru membuatnya risih. Karena Alina tak hancur, dia justru berubah. Dan perubahan itu tidak seperti yang Reva inginkan. Alina (Dalam Hati) Cinta pertama memang tak mudah. Tapi aku tak akan jatuh untuk kedua kalinya tanpa belajar dari yang pertama. Kalau dulu aku menangis karena kehilangan... sekarang aku akan tersenyum karena aku menemukan siapa diriku yang sebenarnya. ** Hari-hari berlalu dengan cepat. Alina bukan lagi gadis yang mudah menangis atau berharap banyak pada seseorang yang belum tentu mengerti isi hatinya. Luka karena pengkhianatan dan salah paham itu perlahan berubah menjadi bahan bakar semangatnya untuk bangkit. Pagi Hari di Sekolah Jam masih menunjukkan pukul 06.45, halaman sekolah baru mulai ramai. Tapi Alina sudah ada di sana sejak pukul enam pagi, mengenakan seragam Paskibra dengan rambut diikat rapi dan wajah yang bersih tanpa makeup. Pelatihnya, Pak Junaedi, tersenyum melihat konsistensinya. “Kamu serius banget ya, Lin. Baru daftar minggu lalu, sekarang udah hafal semua aba-aba.” Alina tersenyum singkat. “Saya nggak mau setengah-setengah, Pak. Kalau saya sudah pilih sesuatu, saya harus maksimal.” Tak lama kemudian, setelah latihan, dia langsung berganti seragam dan menuju ruang OSIS. Di Ruang OSIS Meja-meja penuh kertas rencana kegiatan sekolah, banner digital yang harus disetujui kepala sekolah, serta proposal kegiatan Jumat bersih. Alina duduk di samping Ketua OSIS, seorang siswa kelas tiga bernama Rendra, yang memperhatikannya dengan kagum. “Alina... Kamu tuh ya, baru gabung OSIS dua minggu, tapi ide-ide kamu lebih matang dari anggota lama.” “Aku cuma nggak mau waktu aku sia-sia, Kak Ren. Aku mau buktiin kalau aku bisa, walau tanpa siapapun di belakangku.” Rendra mengangguk perlahan. Ia paham betul maksud tersirat di balik kalimat itu. Makan Siang di Kantin Alina duduk bersama beberapa anggota Pramuka dan PMR. Kini ia tak lagi sendirian. Seruni tetap jadi sahabat terdekatnya, tapi sekarang ia juga punya teman-teman lain seperti Dira si ceria dari PMR, Agni dari Pramuka, dan Tia dari divisi dokumentasi OSIS. “Lin, lo tuh cewek super deh. Bisa ngatur jadwal organisasi, belajar, ranking satu pula. Cowok mana yang berani nolak lo sekarang?” canda Dira sambil menyuap nasi. Alina tertawa kecil, tapi nadanya dingin. “Aku nggak perlu mereka. Aku nggak hidup untuk disukai cowok. Aku hidup untuk jadi versi terbaik dari diriku sendiri.” Semua diam sejenak. Seruni hanya bisa menatap Alina dengan rasa bangga dan sedikit haru. Ia tahu, sahabatnya ini sedang menyembuhkan dirinya dengan cara yang luar biasa. Sementara Itu… Di Sudut Lapangan Basket Kevin duduk di bangku kayu, membolak-balik buku catatan tak jelas sambil menunggu giliran latihan. Ia mendengar desas-desus bahwa Alina kini aktif di berbagai kegiatan sekolah. Bahkan guru-guru mulai menyebut namanya saat membahas calon ketua OSIS masa depan. Teman satu timnya, Haris, nyeletuk sambil membuka botol air. “Eh Vin, lo masih dendam sama Alina? Atau udah mulai mikir dia bukan cewek sembarangan?” Kevin mendesis kecil. “Gue nggak peduli sama dia.” “Padahal dia makin keren sih. Gue sampe bingung lo kok bisa ngelepasin dia cuma gara-gara isu yang belum tentu bener.” Kevin menatap ke arah gedung utama, di mana ia bisa melihat sekilas Alina yang sedang mengatur barisan Paskibra dari lantai dua. Dalam hatinya ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Antara rindu dan rasa bersalah. Tapi egonya belum luluh. Malam Hari di Rumah Alina Setelah belajar dan menyusun ulang jadwal organisasinya, Alina membuka buku hariannya. Ia menulis: Hari ini aku mulai merasa kuat. Bukan karena aku ingin balas dendam. Tapi karena aku sadar, satu-satunya yang bisa aku andalkan adalah diriku sendiri. Kevin… terima kasih sudah membuatku hancur. Karena dari reruntuhan itulah aku menemukan pondasi yang lebih kokoh dari sebelumnya. Hari Berikutnya Di lapangan upacara, semua siswa berdiri rapi. Alina, yang bertugas sebagai pemimpin upacara dari Paskibra, tampak anggun dan tegas. Suaranya lantang, tubuhnya tegap, dan matanya menatap lurus ke depan. Di antara ratusan siswa yang berdiri, Kevin memperhatikannya diam-diam. Ada rasa asing di dadanya. Rasa bangga, tapi juga sakit. Karena kini Alina bersinar terlalu terang untuk bisa dijangkau. Dan untuk pertama kalinya, Kevin berpikir… “Apa aku sudah kehilangan dia untuk selamanya?”Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l







