Tatu merasakan sesuatu yang tidak nyaman di antara kakinya. Rasa yang mengganggu, seperti akan meledak juga rasa panas. Sapuan kasar kadang lembut, membuat tidurnya terasa seperti melayang.
“Huhhh.” Tatu mencoba menyingkirkan sesuatu di antara kakinya, tapi saat merasakan surai-surai di jarinya. Tatu tersentak lalu bangkit untuk duduk, tapi karena keterkejutannya membuat perutnya terasa tegang dan kaku. hingga ia merintih.
“Auhhhh!” rintihan nyaring membuat Josh merangkak dengan panik.
“Hunny, what happend?
“Apa yang menjadi masalahmu, Ania? Kau hanya ikut denganku ke negarku, kita tinggal bersama membesarkan anak kita. Its easy, right?” Josh merangkum wajah Tatu, mencoba meyakinkan kekasihnya. Ia hanya ingin hidup bersama agar bisa menjaga keduanya, bertanggung jawab seperti apa yang Tatu inginkan. Tapi tidak untuk pernikahan, hatinya belum pada tahap itu. Menghabiskan seumur hidup dengan orang yang sama belum menjadi target dan rencana dalam hidupnya. Tatu mencoba tetap waras, ia berpikir. Sebenarnya apa alsan Josh begitu kukuh tak ingin menikah. Selama tiga tahun kebersamaan mereka, tak pernah sekalipun ada pembahsan pribadi tentang laki-laki itu. Pria yang otaknya selalu di selangkangan jika sudah dekat dengannya. Dan pagutan lembut yang memabukkan kembali ia rasakan, dengan spontan ia memejamkan mata membalas setiap kuluman yang sebenarnya ia rindukan. Ah hormon sialan. Josh memang pintar mengobrak abrik hati dan jiwanya. Ia selalu kalah, tapi tidak kali ini. Tatu mendoron
Tatu mematut dirinya di depan cermin yang tertempel di lemari pakaiannya. Perutnya sudah terlihat membesar, celana kerjanya sudah tidak bisa ia kancingkan lagi. Gadis itu duduk di ranjang yang berantakan. Menghempaskan badan dengan kasar, ia tak peduli dengan kandungannya. Rasa ingin menyerah dan menggugurkan saja, tapi teringat pesan Pak Wawan dan Ibu Anita membuatnya dilema. Jemari lentik tatu meraih ponsel pintarnya, membuka aplikasi online shop untuk mencari celana kerja yang ban perutnya menggunakan karet. Namun matanya terpaku pada gurita melahirkan juga bengkung. Mengelus perutnya yang tak lagi terlihat rata, Tatu segera memasukkan beberapa item yang fungsinya sama. Josh bilang uang tidak masalah bukan? Tatu menggunakan uang di rekening kekasihnya itu untuk memborong alat untuk membuat perut wanita terlihat langsing lagi. Senyum terbit di bibir tipisnya, dia segera membuka lemari. Lalu mencari korset yang pernah Lara berikan. Ternyata alat yang sering ia gunakan untuk menahan
Lara berjalan gontai ke ruangan suaminya -Gary- yang berada di lantai dua. Ia hanya tersenyum samar pada rekan yang menyapanya. Jam kerja sudah dimulai, tapi kegelisahannya membuat Lara memaksakan diri untuk mengunjungi sang suami. Lara mengetuk pintu putih di hadapannya. Setelah mendengar sahutan untuk masuk, Lara dengan tak sabar memutar gagang monocrom dingin itu. “Sweetie? Ada apa?” Gary yang tadi sempat memasang muka suntuk dan penuh dengan tekanan, memasang mimik bahagia. Setidaknya, penyemangatnya ada di ruangan itu menemuinya. Gary berdiri dan menghampiri Lara, ia membantu menutup pintu dan mengunci. “Mas, sibuk ya? Aku mau cerita dikit. Tapi kalau Mas Gary sibuk terus lagi males dengerin, ntar malam aja deh. Peluk aja boleh?” Lara mengulurkan tangan dan memeluk tubuh tegap suaminya. Gary membalas pelukan Lara, mengelus rambut lurus dan lembut itu dengan sayang. “Aku senang kamu datang, kita bisa bicara sebentar. Pekerjaanmu banyak tidak hari ini?” tanya Gary mengurai peluk
Tatu hanya bisa menghela napas lelah, saat ia menginjakkan kaki di garasi rumah sahabatnya -Lara-. Josh sudah duduk nyaman di kursi santai di samping kolam renang memangku Sean dengan sebuah buku di tangannya. "Onty Tatu!" Sean berteriak kegirangan, lalu turun dari pangkuan Josh berlari ke arah Tatu yang masih berjalan pelan menuju bagian dalam rumah. “Gantengnya Onty!” Tatu menunduk menyambut anak pertama Lara lalu menggendongnya dan menciumi pipi putih yang memerah itu dengan gemas, membuat Sean tertawa cekikikan. Josh yang melihat merasa geram, kekasihnya itu sedang mengandung, tapi dengan santai menggendong Sean yang terlihat berat untuk Tatu. “Turunkan Sean, Ania!” Josh bangkit. “Sean rindu sama ontynya uncle Josh
“Singkirkan tanganmu!” ketus Tatu mencoba menepis tangan hangat Josh yang ternyata mampu membakar gairahnya. Ini sudah maghrib, ia tak ingin membuat Lara curiga. “Mau menginap di sini atau di rumah?” tanya Josh tak terpengaruh dengan aura Tatu yang terlihat tak suka. “Aku sudah berjanji pada Lara untuk menginap di sini, tolong hormati keputusanku. Seperti aku yang sudah menghormati keputusanmu.” Tatu bangkit, menuju lemari untuk mengambil handuk. “Hei, keputusan yang mana?” Josh mengekori Tatu, dia sangat merindukan wanita keras kepala itu. Tapi begitu sulit hanya sekedar merengkuhnya, atau setidaknya sebuah ciuman panas. Ah, Josh bisa gila hanya memikirkan Tatu. “Keputusanmu yang tak mau
Tatu tak bisa melukiskan kesedihan Lara sahabatnya, saat ia keluar dari kamar mandi masih mengenakan handuk. Lara masih terpekur di ujung ranjang. Pandangannya menerawang entah kemana. Mukena yang akan dipinjamkan pada Tatu masih ia peluk erat. Tatu segera menuju lemari dan mengambil bajun dan kembali ke kamar mandi untuk memakainya. Saat ia berjalan kembali dan menarik mukena di pelukan Lara, ibu dari Sean dan Sieana itu terperanjat menatap Tatu yang tersenyum lemah. “Walau aku penuh dosa, masih boleh sholat ‘kan, Ra?” tanya Tatu. Tanpa menunggu jawaban, wanita itu segera membentangkan sajadah dan memakai mukenanya. Hingga sampai rakaat terakhir dan menutup dengan doa singkat. Lara masih setia menunggunya, tanpa ada tatapan cemoohan atau kemarahan. Hanya ada tatapa
“Kamu boleh menghajar atau memukulku, Gar. Sampai kapan kamu akan menyembunyikan masalahmu dari Lara? Dia berhak tahu, harus bersiap dengan segala kemungkinan baik dan buruknya.” Josh menyeka sudut bibirnya yang terasa asin. Bibirnya sedikit robek karena pukulan dari Gary. “Pukulan itu bukan untuk masalahku! Aku memang sudah berniat mengatakan pada istriku. Itu hadiah karena kamu tak mau bertanggung jawab pada Tatu!” seru Gary.“Aku mau bertanggung jawab! Aku mau mengajaknya hidup bersama, semua yang Ania butuhkan aku yang akan menanggungnya. Tapi asal kau tahu, Ania tidak mau. Dia bersikeras ingin membesarkan anak kami sendiri,” ucap Josh membela diri.“Aku ingin dinikahi Josh, bukan diajak kumpul kebo!” Tatu ikut tersulut emosinya. Dia berdiri menantang Josh, matany
Pada tikaman pilu yang ia rasakan sudah semakin beradu,Tatu tak akan lagi berharap semarak akan melagu. Hatinya sudah cukup tersayat-sayat maka ia enggan meratap. Nelangsanya pun kian merintihkan derita. Ia tak akan lagi mengharap semburat merah muda, cukup pada jingga yang menaungi jiwa. Ia akan terima pada setiap duka maupun nestapa yang memang setia menyelimutinya sejak dulu kala. Pada dinding putih nan bersih yang tanpa cela, iris matanya menumbukkan tanya. Ia yang hanya setitik noda haruskan merasa dengki dengan kemurnian yang terasa menusuk mata di hadapannya. Deru mobil di luar jendela mengalihkan perhatiannya. Ia tatap mobil sedan keluaran Jerman itu yang melaju kencang. Ada bisikan tak kasat mata yang menginginkannya menentang semesta. Ia yang tak berdaya tak mungkin menutup mata.Pada setiap