Saat Arina masuk kamar mandi, Damar membuka pintunyang dari tadi diketuk dari luar. Nampak Rahma yang datang, membawa map kuning berisi laporan penjualan bulan lalu.“Pemisi, pak!” Rahma menyodorkan map kuning ke atas meja Damar, lalu mundur bebrapa senti dari meja bosnya itu.“ Ini laporan penjualan parfum bulan lalu pak!” Rahma memberitahu, bosnya itu yang nampak memperhatikan laporan penjualan yang cukup bagus. Sebagai produk baru yang dimiliki hak jualnya oleh perasaan ini, tentu membahagiakan pemiliknya yang tak lain adalah orang tua Damar sendiri, dan bila penjualan bagus, bonus untuk Karyawan pun akan ditambah. Damar meminta tim HRD untuk merekrut karyawan bagian penjualan yang memiliki jiwa memiliki jiwa sales yang tinggi, tentu mereka diberikan gaji dan tunjangan yang sesuai dengan kondisi pekerjaan mereka yang harus turun ke lapangan menawarkan produk pada toko- toko grosir di kota ini. Leader sales Parfum ini bernama pak Duta, sudah bekerja di perusahaan ini hampir tujuh
POV. Damar“Habis ini antarkan aku ke dokter kandungan, mas!” pinta Arina padaku, saat kupeluk dari belakang di ruang kerjaku. Arina, takut hamil lagi dengan alasan, Davian, putra kami masih kecil dan takut kutinggalkan, katanya. Pikiran yang jelas-jelas tak akan kulakukan. Cukup sekali aku kehilangan dirinya. Bahkan,dia hamil anak kami tanpa sepengetahuan dan tanpa kubersamai. Tentu saja kehamilannya nanti akan kubersamai istriku ini. Ingin kutebus semua dosa-dosaku yang telah menelantarkan wanita baik ini, walau tak mungkin menghapus semua luka yang pernah kucipta di hati dan hidupnya.“Habis dari dokter kandungan, kita singgah ke toko beli jilbab buat, sayang ya!” pintaku sambil menempelkan pipiku pada pipi mulusnya.Hari menjelang maghrib, banyak karyawan yang telah pulang, mungkin di lantai tiga ini tersisa, aku dan Arina. Entahlah akhri-akhir ini, hasratku selalu ingin menyentuhnya dan kurasa Arina juga tak menolakku. Seperti saat ini saat kupeluk dirinya, bersamaan dengan gerim
“Sendirian saja?” Arzan pria tiga puluh empat tahun, kawan Sofyan, yang tadi memanggil Yasmin.Arzan ini yang tahu, sepak terjang Sofyan di luar sana, bagaiamana kelakuannya yang kerap bermain judi dan main perempuan tanpa sepengetahuan keluarganya, terutama Yasmin. Sebab dulu orang tua mereka membuat surat pernyataan, bila salah satu anak mereka membuat perusahaan bangkrut dengan jalan main judi, maka tak akan mendapat apa-apa dari hasil perusahaan tersebut, bahkan wajib mengganti kerugian yang ditimbulkan. Namun entah karna karma atau alam yang sudah bekerja dengan sendirinya, orang tua Yasmin yang dulu menipu pak Mahmud, ayah Damar, malah sekarang perusahaannya di ambang kebangkrutan sebab, Sofyan sang putra yang diandalkan malah kerap bermain judi dengan uang operasiona perusahaan dan sekarang malah kena tipu pula dari bandar judi yang kabarnya telah lari ke luar negeri. Bukan hanya Sofyan, yang ditipunya, namun beberapa member judi di tempat paktek perjudian itu juga kena tipu. N
“Papaaa...” suara bahagia Davian melihat mama dan papanya datang, membuat bu Fatimah yang sedang menyuapi cucunya itu menghentikan aktivitasnya. Nampak yang Davian yang berlari kearah papanta, membuat Arina cemberut. Biasanya bila pulang ke desa menyambangi anaknya, Davian pasti akan berlari dan memanggil mama. Namun kali ini malah menyebut papanya.“Jagoan, papa. Papa sama mama kangen banget sama Davi, pinter nggak anak papa?” Damar mengangkat Davi kedalam gendongannya dan menciumi pipi gembul itu berulang kali, lalu menurunkan sang anak, mengikuti langkah Arina yang masuk ke dalam segera mencium tangan ibunya.“Sehat, kamu Nduk?” bu Fatimah menyambut pelukan putrinya.“Alhamdulillah, sehat Bu.” Arina mencium pipi yang sudah keriput itu.“Sehat-sehat, Nak Damar?” bu Fatimah menepuk lengan menantunya saat menyalami dirinya.“Alhamdulillah, Bu.”“Bapakmu, masih di sawah. Petani lagi rame-rame mencoba traktor baru dari balai Desa, katanya itu bantuan.” Ucap bu Fatimah sambil masuk menyi
“Kamu kenapa sih, mas?” tanya Arina yang bingung dengan perubahan sikap Damar yang mendiamkan sejak di kebun Bapak tadi. Tidak tahu saja Arina ini, bila sang suami tak suka dengan interaksinya tadi dengan Alan. Tadi malah di kebun, Alan masih datang menawarkan untuk membawakan sayur milik ayah Arina ke pasar, sebab Alan membawa motor Caisar yang digunakan khusus untuk mengangkut sayuran milik petani.“Makasih banyak lho mas Alan, atas bantuannya.” Ucap Arina saat mas Safri dan Damar tadi selesai menaikkan ke atas motor sayuran milik pak Darsi. Alhamdulillah tadi sore mereka dapat tiga karung sawi dan dua karung kol, ada beberapa ikat yang khusus dibawa pulang untuk konsumsi di rumah.“Sama-sama, Rin. Sudah tugas saya membantu warga desa, apalagi ayah kamu, tentu saya bantu.” ucap Alan sambil tersenyum pada Arina, interaksi yang tak lupt dari pandangan tajam Damar tadi. Bahkan saat Alan menyapanya, ketika hendak meninggalkan kebun, Damar hanya mengangguk sambil tersenyum tipis sebaga
Malam semakin pekat mengantar bulan yang setengah purnama ke peraduannya. Hembusan angin yang dingin membuat segenap penghuni bumi larut dalam lelap. Namun tidak dengan gadis bertubuh langsing itu, rambut sepunggunya di gerai, melayang tertiup angin dari kaca jendela yang di buka setengah. Setetes air matanya jatuh mengingat kisah cintanya yang harus kandas. Pria pujaan yang pertama kali menorehkan rasa cinta di hatinya, telah menikah diam-diam hari itu. Dijodohkan mama. Begitu alasan sang pemuda. Lalu apa arti sentuhan intim yang selama ini mereka lakukan?, ah ini memang salah, namun dia pun hanya wanita lemah yang memiliki naluri.Tiga bulan dicobanya menghilang dari kehidupan sang kekasih yang telah menjadi suami seorang wanita sederhana, dari kampung. Mengapa, perempuan itu tega merebut kekasihnya?Mata bening milik gadis itu kembali berembun, mengingat kisah lalu yang karam tanpa ia tahu sebabnya.Lalu kabar, yang diterima dari pria pujaannya, bahwa mereka sepakat berpisah, seba
Pov DamarKudekati wanitaku yang sedang menangis sesugukan di pembaringan kami sore itu. Kusingkap rambut yang menutupi sebagian wajah ayunya. Kuhapus air mata tangisan itu, tangisan bagi Arina, namun kebahagiaan bagi diriku, saat dengan suara khas merajuknya sambil marah, memberikan padaku benda pipih dengan garis dua terpampang disana.Usahaku yang selalu menunda untuk membawanya ke dokter kandungan dan usahaku menaklukkannya di pembaringan kami,membuahkan hasil. Davian, putra kami. Akan punya adik lagi!“Kamu, sengaja kan, Mas! Iya kan!” todong Arina sambil memukul – mukul bahu dan dada ini. Bukan marah yang kuberi, namun kugenggam jemari itu lalu kukecup mesra. Meluapkan rasa sayangku dan rasa syukur, atas kehamilan Arina, yang memang kusengaja.“Alhamdulillah!” ucapku penuh rasa syukur dan bahagia.“Ihh, ini Mas, sengaja kan. Iya kan! Sengaja bikin aku hamil lagi, terus nanti di tinggal lagi.” Cerocos istriku, kembali tangannya memukuli bahuku.“Kenapa, Sayang suka punya pikiran
Wiwid tak menyangka, dengan kejujuran Faris kemarin malam padanya. Rahma, kawan kerjanya selama ini, ternyata adalah mantan kekasih dari sang suami. Dulu diingatnya di awal perkenalan, saat itu Faris pun jujur padanya tentang seorang gadis yang pernah mengisi hatinya. Namun entah sebab apa, tanpa kata putus mereka berdua kehilangan kabar. lalu seiring waktu berjalan dan seringnya jalan berdua selepas jam kerja, perlahan benih cinta mulai tumbuh di hati keduanya, perasaan pada sang gadis yang kehilangan kabar pun mulai terkikis. Benarlah yang dikatakan pujangga, bila waktu dan jarak bisa merubah perasaan seorang pecinta.Namun pembawaan Rahma yang tenang, juga tak mengusik, membuat Wiwid semakin tak enak hati. Meski waktu telah berlalu cukup lama, dan mengatakan sudah tak ada perasaan, yang namanya insan bila dulu pernah mencintai, tetap akan ada sisa kenangan yang tertinggal meski sudah dikubur di sudut hati yang terdalam.Tak ingin ada prasangka lain di kemudian hari, akhirnya Wiwid