Setelah beberapa kali menolak halus ajakan Erin untuk makan siang, hari ini Vanya mengabulkan ajakan wanita itu. Tepat jam dua belas siang Erin telah datang menjemputnya ke kantor. Tentunya bersama Charlos dan Sandra. Mobil kemudian melaju menuju rumah makan yang letaknya tak begitu jauh dari kantor Vanya.
"Gimana kerjaan kamu, Van?" Tanya Erin basa basi sambil menyuapi Charlos makanan pendamping asi yang dibawa dari rumah. "Lancar, Tante," jawab Vanya singkat dengan senyum simpul. "Sini biar Sandra aja yang nyuapin Charlos, Ma." Gantian, sekarang Sandra dengan telaten menyuapi Charlos. Sambil menikmati jus alpukat, Vanya tersenyum melihat Charlos yang terlihat anteng menikmati makanannya. Hal itu membuat Erin ikut tersenyum. Baru kali ini ia merasa sangat cocok dengan orang yang belum ia kenal dekat. Ia melihat sifat Vanya yang sangat keibuan. Asyik bermain dengan Charlos, Erin memanggil Vanya dengan wajah yang terlihat serius. "Iya, Tante," jawab Vanya sambil memandang wajah Erin sekilas kemudian lanjut memainkan tangan mungil Charlos. "Kamu sayang gak sama Charlos?" tanya Erin. Vanya terdiam tak langsung menjawab. “Wah bener nih. Tante Erin mau aku jadi pengasuhnya Charlos,” guman Vanya dalam hati. "Sama anak kecil yang lucu imut kaya Charlos gini, siapa sih yang gak sayang, Tante? Menggemaskan begini dia." Vanya mencubit lembut pipi Charlos. "Kamu gak mau merawat Charlos?" Lanjut Erin meraih salah satu tangan Vanya dan menggenggamnya lembut. "Tante, mau aku jadi pengasuhnya Charlos?" spontan ucapan Vanya yang membuat Erin dan Sandra saling berpandangan kemudian tertawa lucu. Tidak mengira kalau Vanya akan mengeluarkan kata-kata seperti itu. "Ih, Kak Vanya ada-ada aja deh ngomongnya." Sandra memukul pelan pundak Vanya. "Pasti kamu bingung dengan perkataan Tante tadi barusan. Semoga Tante gak salah ngomong ya dan Tante harap ini benar,” ucap Erin yang kemudian mengatakan apa yang ia rasakan selama ini. Mulai dari kejadian di rumah sakit saat ia dengan sukarela mendonorkan darah. Hal itu membuat Erin yakin kalau Vanya adalah perempuan yang baik. Dilanjutkan dengan pertemuan mereka yang sepertinya sudah ditakdirkan. Bertemu di tempat dan situasi yang random. Ia juga mengatakan apa yang menjadi harapannya pada Vanya untuk bisa merawat Charlos kedepannya. “Uhuk.” Vanya terbatuk saat Erin menyebutkan nama Charles. Wajahnya memerah saat Erin mengatakan penilaian Vanya terhadap Charles. Apa yang dikatakan wanita paruh baya itu benar adanya. "Dan semoga saja yang Tante katakan ini benar ya, sepertinya kamu ada perasaan dengan Papanya Charlos? Karena setiap kali bertemu kamu gak pernah melihat wajahnya secara langsung.” Vanya reflek menunduk wajah, menyembunyikan pipinya yang memerah. "Tante harap apa yang Tante ucapkan ini tidak menjadi beban pikiran kamu ya, Vanya? Tante hanya ingin kamu tidak menutupi perasaan kamu," ucap Erin sambil beranjak berdiri menuju kasir. "Kakak gak usah terlalu memikirkan ucapan Mama tadi. Kalau memang Kak Vanya harus bersama dengan Bang Charles, ya pasti akan bersama juga," ucap Sandra sambil menggendong Charlos. Vanya memandang Sandra dengan perasaan yang tak karuan. Ia sama sekali tidak mengira kalau makan siang ini akan membicarakan hal yang tidak pernah ia pikirkan. *** Selesai makan malam, Vanya dan Mama duduk di ruang tamu sambil menonton tivi. Sejak tadi Mama terus memperhatikan Vanya yang terus memainkan remote tivi. Jemari tangannya tak henti mengganti siaran tivi. Vanya ragu dan bingung hendak mulai bicara dari mana pada Mama. Namun ia tidak bisa memendam ini sendirian. "Ma," panggil Vanya. Mama menjawab dengan deheman. "Mama pasti marah kalau aku bilang ini?” Mama langsung menatap serius pada Vanya. Ia kemudian menceritakan pertemuannya tadi siang dengan Erin. Mama sempat lupa, tapi saat mengatakan kejadian beberapa bulan lalu di rumah sakit ingatan Mama langsung pulih. Pertama Vanya mengatakan apa yang Erin harap darinya untuk merawat cucunya. "Jadi pengasuh maksudnya? Kan kamu kerja?" tanya Mama balik dengan nada heran. Vanya menggelengkan kepala. "terus jadi apa? Ibunya Charlos?" tebak Mama. "Mungkin," jawab Vanya tak yakin sambil melihat ekspresi wajah Mama. Wanita yang mengenakan atasan berwarna hitam itu menghela nafas panjang. "Gini ya, Sayang. Kehidupan pribadi kamu sepenuhnya adalah hak kamu. Keputusan kamu dalam memilih pendamping hidup, itu juga hak kamu. Mama hanya bisa memberikan gambaran untuk kedepannya, nasehat yang bisa membuka pikiran kamu, agar kamu tidak menyesal di kemudian hari.” Ucapan Mama terdengar lembut, tidak ada nada marah ataupun ekspresi menghakimi. Vanya sendiri terkejut dengan reaksi yang Mama tunjukkan. Di awal ia mengira Mama akan marah-marah padanya, tapi nyatanya tidak. Mama kemudian bertanya hal seputar pria itu pada Vanya. "Sebenarnya gak terlalu kenal sih, Ma. Cuman tahu aja sama dia, karena beberapa tahun lalu Vanya sempat bolak balik kantornya tiap bulan, karena ada kerjasama sama kantornya. Tapi untuk kenal lebih jauh, tahu tentang sifat dan perilaku dia, Vanya belum sampai sana." "Nah, itu kamu sendiri bilang. Sifatnya saja kamu gak tahu. Lalau bagaimana kamu bisa yakin mau menjalani ke jenjang yang lebih serius? Taruhlah dia menyetujui permintaan orang tuanya dan menerima kamu, tapi apakah kamu siap kalau ternyata kamu dianggap sebagai orang yang hanya merawat anaknya, bukan sebagai pendampingnya? Dia belum lama lo, ditinggal pergi sama istrinya, sedikit banyak pasti dia masih ingat, cinta, dan sayang sama mendiang istrinya.” Vanya terdiam mendengar ucapan panjang lebar Mama. Apa yang dikatakan Mama sepenuhnya benar, tapi ia merasakan hatinya sedikit aneh. Bergejolak tak jelas dan mengebu-gebu saat memikirkan pria itu. Belakang ini malah ia kadang bisa membayangkan rasanya berkeluarga dengan pria itu. "Kamu sudah suka sama dia sejak lama?" tanya Mama memastikan. Vanya menghela nafas dan mengangguk. "Pikirkan matang-matang sebelum kamu mengambil keputusan ya, karena menyesal tiada guna. Karena Mama sangat berharap, anak-anak Mama menikah hanya untuk sekali seumur hidup, tidak ada perpisahan kecuali karena kematian." "Tapi, apakah Mama tidak keberatan kalau Vanya mau mencoba menjalaninya?" "Mama akan selalu mendukung apa yang membuat kamu bahagia, Sayang," ucap Mama sambil tersenyum kemudian memeluk erat Vanya, anak bungsunya itu. Di waktu yang bersamaan, di rumah orang tua Charles. "Jadi Mama mau menggantikan Kirana dengan wanita itu?" ucap Charles dengan nada tinggi saat Erin mengutarakan rencananya. "Charles!" Suara Erin tak kalah tinggi. "Mama hanya ingin Charlos ada yang mengurus dan merawat dia, Mama gak mau Charlos kehilangan kasih sayang seorang ibu. Dengar, Kirana tidak akan tergantikan, karena dia tetap ibu kandung Charlos, suatu saat Charlos juga akan tahu itu. Tapi untuk saat ini dan kedepannya apakah kamu akan tetap seperti ini, keras kepala dan membiarkan Charlos tumbuh seorang diri? Mama hanya ingin kamu dan Charlos ada yang mengurus. Mama memilih Vanya untuk Charlos, karena Mama yakin dia tulus sayang sama anak kamu." "Mama sebegitu yakin dengan dia?" Charles mulai merendahkan nada suaranya. "Ya, Mama sangat yakin. Dan Mama juga bukannya mau kalian langsung bersama, kalian bisa mengenal satu sama lain terlebih dulu. Kalau memang hati kamu terbuka untuk menerima dia, kalian bisa lanjutkan untuk saling mengenal lebih jauh, sebelum memutuskan untuk menikah. Tapi kalau hati kamu sama sekali tidak terbuka sedikit pun, lebih baik kamu cari sendiri wanita yang kamu yakini bisa menerima kamu dan Charlos," ucap Erin sedikit terbawa emosi.Pagi ini Vanya dan Charles dengan membawa Charlos, mereka pergi nyekar ke makam Kirana. Ini adalah kali pertama bagi Charlos pergi bersama Vanya dan papanya, dan juga kali pertama buat Charlos ke makam ibunya. Dengan mengenakan kaos biru dan celana jeans hitam, Charlos tampak serasi dengan Vanya dan juga Charles yang sama-sama mengenakan baju berwarna biru. Walau ini hanya kebetulan. "Ayuk kita turun. Charlos Tante gendong ya." Vanya keluar dari mobil yang pintunya telah di bukakan oleh Charles terlebih dulu. Cuaca sangat cerah saat ini. Sinar matahari mengintip dari balik daun-daun di pohon yang berbaris di sepanjang jalan makam. Charles langsung meletakkan seikat bunga di atas makam Kirana. Seperti biasa, ia berjongkok dan mengelus-elus nisan Kirana. "Charlos, ini makam ibunya Charlos ya. Sekarang ibunya Charlos sudah ada di surga. Walau Charlos gak pernah ketemu, tapi ibunya Charlos itu sayang banget sama Charlos." Vanya setengah berbisik di telinga Charlos. Vanya kemudian me
Sabtu yang bertepatan dengan akhir bulan, seperti biasa, Vanya pasti lembur di kantor. Sebenarnya, kalau pagi ini Vanya gak ada kegiatan di kantor, Charles ingin mengajaknya mencarinya cincin pernikahan. Selesai membalas pesan dari Charles, Vanya kemudian asyik dengan komputer, tangannya lincah memainkan mouse berwarna hitam, mencari lalu membaca beberapa artikel parenting sebagai tambahan ilmu untuk diterapkannya saat mengasuh Charlos nanti. Walau pasti nantinya, Erin akan tetap lebih dominan dalam mengasuh Charlos. Tapi paling sedikit banyak ia sudah memiliki ilmu parenting. "Mbak, ini ada yang nungguin di pos satpam. Tinggi gagah, Mbak," ucap pak satpam saat Vanya mengangkat gagang telepon. "Siapa ya? Wisnu?" Gumam Vanya. Di ujung telpon terdengar pak satpam menanyakan pada orang tersebut. Sayup-sayup Vanya mendengar orang tersebut menyebutkan namanya dengan nada sedikit keras. Buru-buru Vanya menutup telpon, mematikan komputernya, dan pamit pulang duluan dengan Pak Irwan. "A
Di kantor, Vanya baru saja selesai menghadap pimpinan kantor cabangnya, perihal pengajuan cuti nikahnya. Begitu ia membuka pintu, di depan sudah berdiri Bu Nita."Eh, Pagi Bu," sapa Vanya."Pagi," sahut Bu Nita sambil melirik kertas yang dipegang Vanya di tangan kirinya. "Mau cuti ya.""Iya, Bu," jawab Vanya lagi dengan senyum ditahan lantas berlalu dari hadapan Bu Nita dan menuju ruangan Weni untuk memberikan pengajuan cutinya yang sudah disetujui oleh atasan."Semoga lancar sampai hari H ya," ucap Weni sambil menerima kertas dari Vanya."Amin. Makasih ya, Wen. Aku ke atas dulu ya." Vanya beranjak dari ruangan Weni dan menuju lantai tiga.***Di ruang prioritas, Erin dan Frans datang dan dilayani oleh Reni. Tampak wajah Erin menunjukkan ketidaksukaan pada Reni mengingat cerita yang didengarnya dari Vanya tempo lalu."Diminum, Om, Tante," ucap Reni saat seorang laki-laki berseragam biru meletakkan dua cangkir teh."Iya. Makasih," jawab Erin datar.
Mama masuk ke kamar Vanya dan melihat anak gadisnya itu meringkuk di dalam selimut. Ia lantas berjalan mendekat dan mengecek keadaan Vanya karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi."Kamu demam, Sayang?" Mama meletakkan telapak tangannya di kening Vanya.Vanya mengangguk pelan sambil memijat pelan keningnya.Satu jam kemudian Mama kembali mengecek keadaan Vanya, tapi masih sama. Anak gadisnya itu masih demam. Membiarkan pintu kamar Vanya tetap terbuka, ia kemudian membawa semangkuk bubur. Meraih handphonenya, Mama menghubungi Erin untuk memberitahu bahwa Vanya sedang sakit. Tak tinggal diam, begitu selesai menerima telepon, Erin mengajak Sandra juga Charlos menuju rumah Vanya. "Habiskan buburnya dong, Van!" seru Mama saat melihat semangkuk bubur yang dibawanya tadi masih bersisa setengah."Pahit, Ma. Gak enak.""Biasanya kalau Mama masak bubur, kamu pasti minta tambah." Mama menyuapkan bubur itu dengan paksa. "Sudah mau berumah tangga, mau ngurus anak juga, makan aja masih
Hari ini Vanya mengajukan ijin satu hari untuk mengurus syarat-syarat dan kelengkapan berkas pernikahannya. Setelah mendapatkan surat kesehatan, mereka lanjut ke studio foto. Iseng sang fotografer menanyakan soal foto prewedding yang ditanggapi dingin oleh Charles. Melihat sikap Charles, gadis itu hanya bisa menghela nafas pelan, walau sebenarnya ia sangat ingin memiliki foto prewedding seperti orang kebanyakan. Namun keinginannya itu ia simpan sendiri saja karena tidak ingin menimbulkan harapan palsu.Akhirnya semua berkas-berkas yang diperlukan untuk dokumen kantor Charles sudah selesai."Mama, ke belakang sebentar ya," pamit Mama meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Rasa ingin tahu membawa Vanya melihat beberapa video nikah kantor di dunia maya."Emang kaya gini ya?" Vanya menunjukkan layar handphonenya pada Charles."Kurang lebih kaya gitu."Vanya kemudian terlihat serius menonton video itu sampai selesai. Ia mulai mempersiapkan jawaban yang mungkin akan ditanyakan nanti."Ka
Vanya akhirnya berkata jujur saat Reni terus bertanya mengenai hubungan dengan Charles. Tidak mungkin ia terus menutupi hal ini karena lambat laun Reni juga pasti tahu. Raut wajahnya langsung berubah mendengar jawab Vanya. Sepanjang penerbangan mereka juga tidak saling bicara hingga tiba di hotel tempat mereka menginap. Entah siapa yang sudah mengatur, Vanya malah satu kamar dengan Reni. Meletakkan kopernya di dekat kasur, Vanya lantas masuk ke dalam kamar mandi setelah Reni keluar.“Aku mau keluar, kamu mau nitip makan?” tanya Reni pada Vanya yang masih berada di kamar mandi."Nggak, Ren," jawab Vanya keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan wajahnya.Vanya kemudian mengecek handphonenya yang sedari tadi masih dalam mode pesawat. Terlihat di layar handphonenya banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Charles. Gadis itu hanya bisa menghela nafas membaca satu per satu pesan yang Charles kirimkan. "Ya ampun!" seru Charles di ujung telepon begitu ia berhasil menghubungi Vanya. "