Pagi ini Vanya bangun karena suara tangisan Charlos. Ia meraba sampingnya dan tak merasakan keberadaan Charlos. Ia beranjak dari ranjang dan menggendong Charlos, keluar dari box bayinya.
"Sshhh sshhhh shhhhh," Vanya coba menenangkan Charlos. Ia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul lima pagi. Di balik selimut Charles juga masih terlelap tidur. Setelah Charlos tenang dan kembali tidur, dengan perlahan ia meletakkan Charlos ke dalam box bayinya. Vanya mencuci muka, menyikat gigi, dan merapikan rambutnya, sebelum keluar dari kamar. Hannya mereka bertiga yang ada di rumah. Paling tidak, ia harus menyiapkan sarapan untuk Charles dan juga Charlos. Ia membuka kulkas dan melihat apa yang dapat dimasak pagi ini. Ia mengeluarkan ayam yang telah dibumbui dari dalam freezer dan mengeluarkan beberapa jenis sayuran. Sinar matahari mulai mengintip dari balik celah-celah jendela. Ia lalu mematikan kompor karena masakannya telah selesai. Tak perlu waktu lama untuk menata makanan itu di meja. Sementara itu Charles baru saja terbangun dari tidurnya. Memandangi wajah anaknya sebentar, ia lantas keluar kamar. "Sebentar Papa liat Ami dulu ya," ucapnya sebelum meninggalkan Charlos. Charles keluar dari kamar dan langsung menuju dapur, sumber aroma lezat tadi. Tak ada Vanya di sana, yang ada hanya makanan yang telah tersaji di meja. Ia lalu melangkahkan kaki menuju ruang depan. Benar saja, Vanya tengah berdiri di teras rumah menikmati sinar matahari pagi. "Selamat pagi Aminya Charlos yang sudah masak pagi-pagi," ucap Charles sambil menyelipkan kedua tangannya di pinggang ramping Vanya. Nafas Vanya tercekat, saat merasakan pelukan dari kedua tangan Charles. Ternyata keromantisan itu tak berlangsung lama, tak sampai tiga menit. Suara tangisan Charlos bagai alarm yang mengagetkan mereka berdua. Charles melepas pelukannya dan membiarkan Vanya berlari kecil menuju kamar melihat Charlos. "Rupanya sayang Ami sudah bangun ya," ucap Vanya sambil mengangkat dan mengeluarkan Charlos dari box bayinya. "Anak Papa kayaknya gak terima kalau Aminya main sama Papa ya." Charles masuk ke dalam kamar dan mencubit gemas pipi Charlos. "Ayo kita lihat matahari dulu." Charles menggendong Charlos dan mengajaknya ke teras rumah. *** "Kamu mau kemana?" tanya Vanya saat melihat Charles tampak rapi dan menenteng kunci mobilnya. Setengah jam yang lalu mereka baru saja selesai sarapan pagi. "Mau lihat Papa ke rumah sakit." "Sendiri? Kenapa gak ngajak aku sama Charlos? Aku kan juga mau tahu gimana keadaan Opanya Charlos." Protes Vanya. "Ngapain juga kami ikut? Mau ketemu sama dokter itu? Kamu di rumah aja sama Charlos!" ultimatumnya. "Apa hubungannya sana Rio? Aku bingung, kenapa sih kamu paling suka menghubung-hubungkan sesuatu yang sebenarnya gak ada hubungannya?" "Sudah kamu dirumah aja. Aku cuma jemput Papa sama Mama." Dengan tegas Charles berkata kemudian meninggalkan rumah. Setibanya di rumah sakit, Charles langsung menuju ke kamar Frans. "Karena sekarang sudah boleh pulang, makannya harus dijaga ya, Pak. Sakit penyakit itu sumbernya dari pikiran, jadi sementara ini Bapak jangan banyak pikiran dulu, biar cepat pulih kondisinya." Pesan dokter itu, yang tak lain adalah Dokter Rio. "Baik, Dok. Terima kasih sudah banyak membantu ya," ucap Erin yang kemudian mengenalkan Charles pada dokter Rio. "Oh iya, kemarin sudah ketemu juga, Bu, sama Vanya juga." "Dokter kenal sama menantu saya ya?" tanya Erin memperjelas. "Iya, Bu. Temen deket waktu di SMA dulu," ucap Rio santai membuat telinga Charles naik saat mendengar ucapan Rio. Erin menahan senyum melihat ekspresi Charles. "Saya permisi dulu ya, Bapak Ibu sekeluarga. Cepat sembuh ya," pamit Rio keluar dari kamar Frans yang telah bersih siap ditinggalkan. Charles mengangkat tas jinjing yang berisi beberapa helai pakaian Frans kemudian berjalan keluar dari kamar duluan. Tak sadar ia melangkahkan kaki dengan cepat, hingga mengabaikan panggilan dari Frans dan Erin. Dipikirannya hanya ingin cepat meninggalkan rumah sakit itu dan pulang menemui Vanya. "Loh," ucap Charles bingung saat sadar ia sampai di bawah sendirian. Sejauh matanya memandang, ia tak mendapati bayangan orang tuanya. Baru saja akan mengambil handphone dari dalam saku celananya, matanya menangkap bayangan orang tuanya yang baru saja keluar dari pintu gerbang rumah sakit. "Kamu kenapa? Cepet banget jalannya, Mama sama Papa panggil-panggil gak dengar," ujar Erin sambil membantu Frans masuk ke dalam mobil. "Kayak orang kebelet aja. Kebelet cemburu," goda Frans setengah tertawa. Erin tertawa kecil seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Mau ketawa lepas kasihan Charles, yang ada dia tambah malu. Sekitar satu jam perjalanan, mereka akhirnya sampai juga di rumah. Berbarengan dengan datangnya Sandra yang baru selesai konsultasi skripsi dari rumah dosennya. "Opa istirahat dulu ya, Charlos," pamit Frans seraya membelai rambut Charlos sebelum masuk ke kamarnya. Vanya mengikuti Erin menuju dapur, begitu juga dengan Sandra. "Makasih ya kamu sudah masak," ucap Erin saat melihat makanan di meja makan. Vanya tersenyum kecil. "Sandra makan ya, Kak," ucap Sandra sambil mengambil piring dari lemari. Vanya kembali tersenyum. Charles datang dan mendudukkan Charlos di kursinya. Ia mengambil piring makannya sendiri dan menyendok nasi, sayur, serta lauknya sendiri. Melihat tingkah Charles yang tampaknya sedikit aneh dan mengacuhkannya, Vanya mengisi air putih kedalam gelas dan meletakkannya di depan Charles. "Minum dulu," ucapnya yang dibalas dengan tatapan tajam menakutkan dari Charles. “Kenapa lagi ini orang? Perasaan tadi baik-baik aja, kok sekarang jadi serem” gumam Vanya dalam hati sambil mencuri pandang pada Charles. "Vanya, Sayang, nanti kalau daging ayamnya sudah empuk, kamu matikan kompornya ya, Mama mau lihat Papa dulu di kamar," pesan Erin. "Iya, Ma," sahut Vanya. "Enak banget ih makanan Kak Vanya ini," puji Sandra mengambil sepotong ayam goreng lagi. Senang rasanya Sandra menyukai masakannya. "Ayok, Charlos main sama aunty." Seolah merasakan ada yang tak beres dengan abangnya, Sandra mengajak Charlos untuk main ke ruang tengah. Meninggalkan Charles dan Vanya, berdua saja di dapur. Selesai menghabiskan makanan di piringnya, Charles membawa piringnya ke tempat pencucian piring, dimana Vanya tengah membersihkan peralatan makan yang kotor. Ia berdiri di samping Vanya dan memperhatikan setiap gerak gerik Aminya Charlos itu. Risih dengan keberadaan Charles, Vanya menghentikan kegiatan cuci piringnya dan menanyakan apa maunya. "Kamu mau bantu aku cuci piring?" tanya Vanya pada Charles yang tetap diam, namun masih saja menatap Vanya. "Kamu maunya apa?" tanya Vanya lagi. "Maunya, kamu gak usah ketemu sama dokter itu lagi. Bilangnya cuman teman SMA, tahunya temen deket!" Vanya terdiam. Mencerna omongan Charles yang membuatnya sedikit bingung. Bertemu dengan Rio saja baru kemarin, setelah sekian lama hilang kontak. "Mulai lagi kan kamu, aneh. Jelas-jelas kamu tahu sendiri, aku ketemu dia baru kemarin, itu juga sama kamu. Lagian dia juga sudah tahu, kalau aku ini sudah berkeluarga, gimana mau jadi temen deket sama dia?" Vanya menutup keran air dan mengeringkan tangannya dengan tissue. "Tapi kamu temen deket sama dia kan?" tanya Charles lagi memperjelas, sepertinya ia tidak puas dengan jawaban Vanya. "Astaga, itu dulu. Beberapa tahun dulu, sudah lama. Kamu gak percaya banget sih sama aku? Dengar ya, aku hidup di masa sekarang, bukan kaya kamu!" Vanya meninggalkan Charles di dapur setelah mengucapkan itu. Kesal.Pencarian hari ketiga, akhirnya membuahkan hasil. Setelah sebelumnya, Charles menyerahkan foto diri orang yang menipu keluarganya, Charles mendapatkan kabar, bahwa orang yang diduga mirip dengan ciri-ciri yang dicari, terlihat di salah satu rumah makan di daerah Bandung siang ini. Setelah mendapatkan izin dari atasannya. Charles dan seorang temannya meluncur ke sana.Aku ke Bandung dulu. Ada yang diurus. Nanti Sandra yang jemput, karena aku mungkin pulang tengah malam.Isi pesan yang dikirim Charles pada Vanya. Sepertinya semesta mendukung rencana Charles untuk memburu tukang tipu itu. Setibanya di Bandung, Charles langsung menuju ke sebuah rumah kontrakan tempat orang itu berada, sebelumnya Charles telah minta tolong pada temannya di salah satu polsek di daerah Bandung untuk mengikuti kemana orang itu pergi. Charles memarkir jauh mobilnya, kemudian berjalan menuju rumah yang dimakasud."Mana?" tanya Charles pada temannya yang telah lebih dulu menunggu tak jauh
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Vanya hanya diam. Sedari tadi ia terus memegang perutnya dengan posisi sedikit membungkuk. Ini dilakukannya agar sakit datang bulannya sedikit berkurang. Sudah lama ia tidak merasakan sakit yang lumayan menyiksa seperti ini."Kamu sakit? Wajah kamu pucat? Sudah makan?" tanya Charles bertubi-tubi. Vanya mengangkat wajahnya dan tersenyum kecut. "Aku baik-baik aja," ucapnya dengan nada tertahan."Kalau baik-baik aja, kenapa sampai pucat kayak gitu?""Sakitnya udah biasa. Setiap bulan pasti kaya gini. Masalah wanita.""Tapi selama kita sama-sama, baru kali ini aku lihat kamu sakit sampai pucat kayak gini," ucap Charles lagi. Vanya tak menjawab, berharap Charles berhenti menanyainya. Karena gerakan bibir saat menjawab setiap pertanyaan dari Charles, menambah rasa nyeri di perutnya."Kalau gitu, sekarang kita ke dokter. Kita periksa. Supaya jelas kamu ada riwayat sakit apa. Aku gak mau kamu kaya Kirana dulu yang punya kista di
Pagi ini Vanya bangun karena suara tangisan Charlos. Ia meraba sampingnya dan tak merasakan keberadaan Charlos. Ia beranjak dari ranjang dan menggendong Charlos, keluar dari box bayinya."Sshhh sshhhh shhhhh," Vanya coba menenangkan Charlos. Ia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul lima pagi. Di balik selimut Charles juga masih terlelap tidur. Setelah Charlos tenang dan kembali tidur, dengan perlahan ia meletakkan Charlos ke dalam box bayinya. Vanya mencuci muka, menyikat gigi, dan merapikan rambutnya, sebelum keluar dari kamar.Hannya mereka bertiga yang ada di rumah. Paling tidak, ia harus menyiapkan sarapan untuk Charles dan juga Charlos. Ia membuka kulkas dan melihat apa yang dapat dimasak pagi ini. Ia mengeluarkan ayam yang telah dibumbui dari dalam freezer dan mengeluarkan beberapa jenis sayuran. Sinar matahari mulai mengintip dari balik celah-celah jendela. Ia lalu mematikan kompor karena masakannya telah selesai. Tak perlu waktu lama untuk
"Lagi ngapain, Ma?" tanya Vanya di ujung telepon. Sabtu ini di habiskannya hanya di rumah saja, dengan Charlos dan tentunya, Erin, ibu mertuanya. Seperti biasa, Frans ada di kantor sementara Sandra masih sibuk dengan urusan skripsinya. "Lagi siap-siap mau pergi acara bulanan sama Tante Lusi," sahut Mama dengan loudspeaker handphone yang menyala karena tangannya masih sibuk melukis wajah."Di jemput sama Tante Lusi?""Iya, Sayang. Mama sih pengen kursus nyetir supaya bisa bawa mobil, sayang kan mobil di rumah nganggur. Atau kamu bawa aja mobilnya ke sana," ucap Mama yang kini tangan dan matanya serius menatap kaca, fokus menggambar alis."Mama ih, mobilnya biarin aja disana.""Ya udah, nanti kamu cariin Mama tempat kursus ya," ucap Mama sambil membereskan beberapa peralatan make upnya."Oke, Ma. Ya sudah Mama hati-hati ya, Vanya tutup teleponnya ya," ucap Vanya.Ia kemudian duduk melantai di dekat Charlos, menemaninyaa bermain."Ami, Ami, mobil, mobil
Sikap Vanya kini mulai melunak. Seperti hari ini, Vanya menuruti kemauan Charles saat ia mengajaknya pergi untuk sekedar makan es krim dengan varian yang berbeda di salah satu kedai es krim, setelah pulang bekerja. Laporan yang diminta atasannya untuk diserahkan pukul lima sore, telah selesai dikerjakan Charles dari pukul setengah empat dan siap untuk diantar sekarang. Ia membereskan mejanya dan menyimpan laptopnya di laci."Permisi, Pak," ucap Charles seraya mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan atasannya setelah dipersilahkan."Baru jam berapa ini?" atasannya melirik jam di tangan kirinya sewaktu Charles meletakkan map berwarna coklat berisi laporan yang dimintanya. Charles nyengir mendengar perkataan atasannya itu."Oh, malam jumat ya," goda atasannya lagi yang membuat Charles malu."Tahu aja, Bapak," jawabnya. Padahal sih mau malam apapun bahkan malam jumat sekalipun gak ngaruh sama dia.Asyik membahas beberapa kasus dengan atasannya, tiba-tiba istri atas
Memasuki usia Charlos yang ke delapan belas bulan alias satu setengah tahun, Charlos dijadwalkan akan imunisasi. Sebelumnya Erin telah mendapatkan pesan konfirmasi dari bagian admin dokter anak di salah satu klinik di Jakarta. Hari sabtu jam empat sore. Erin, Vanya, dan Charlos sudah siap tinggal berangkat, saat Charles tiba-tiba datang dan mengatakan siap untuk mengantarkan mereka."Sebentar Charles ganti baju ya, Ma," ucap Charles sambil masuk ke dalam kamar.Sepuluh menit kemudian, Charles telah siap, mengenakan celana jeans dan kaos hitam lengkap dengan sepatu sneakers nya. Ia terlihat sangat mempesona."Charlos sama Ami di depan ya," ucap Erin sambil memberikan Charlos pada Vanya, dan ia masuk duduk di kursi belakang. Vanya masuk dan memangku Charlos, sementara Charles mengemudikan mobil. Di tengah jalan, tiba-tiba Erin minta diturunkan di kantor Frans."Loh kenapa, Ma?" tanya Vanya.“Lagi bete sama Charles juga, Mama malah mau gak ikut” batin Vanya."Ma