Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Vanya hanya diam. Sedari tadi ia terus memegang perutnya dengan posisi sedikit membungkuk. Ini dilakukannya agar sakit datang bulannya sedikit berkurang. Sudah lama ia tidak merasakan sakit yang lumayan menyiksa seperti ini.
"Kamu sakit? Wajah kamu pucat? Sudah makan?" tanya Charles bertubi-tubi. Vanya mengangkat wajahnya dan tersenyum kecut. "Aku baik-baik aja," ucapnya dengan nada tertahan. "Kalau baik-baik aja, kenapa sampai pucat kayak gitu?" "Sakitnya udah biasa. Setiap bulan pasti kaya gini. Masalah wanita." "Tapi selama kita sama-sama, baru kali ini aku lihat kamu sakit sampai pucat kayak gini," ucap Charles lagi. Vanya tak menjawab, berharap Charles berhenti menanyainya. Karena gerakan bibir saat menjawab setiap pertanyaan dari Charles, menambah rasa nyeri di perutnya. "Kalau gitu, sekarang kita ke dokter. Kita periksa. Supaya jelas kamu ada riwayat sakit apa. Aku gak mau kamu kaya Kirana dulu yang punya kista di rahimnya." Vanya menghela nafas, saat nama itu meluncur lagi dari mulut Charles. Baru beberapa saat mereka adem ayem, tapi kenapa Charles harus mengucapkan nama itu di saat tak tepat. Disaat Vanya tengah menahan sakit, tak berdaya dan tak punya kekuatan untuk sekedar berdebat mulut atau melayangkan pukulan kecil. Vanya tahu pasti, ingatan dan perasaan Charles sedikit banyak masih menyimpan memori tentang Kirana. Karena Kirana belum lama pergi. Namun entah mengapa, ia langsung merasa kecil dihadapan Charles, merasa seolah tak ada ruang untuknya di hati Charles. "Aku baik-baik saja. Kita pulang sekarang, aku cuma perlu istirahat," ucap Vanya yang kemudian menutup matanya. Charles kembali ke jalan utama, ia melajukan mobilnya menuju rumah. Sesekali ekor matanya mengawasi Vanya. Takut ia kenapa-napa. Baru saja mobil masuk ke halaman rumah, Charlos yang tengah duduk sambil bermain dengan Erin, berteriak girang memanggil-manggil Vanya. Meski nyeri di perutnya masih belum hilang, Vanya tetap memasang senyum saat turun dari mobil dan menemui Charlos serta Erin. "Gendong, Ami Ami," ucap Charlos yang tengah membuka tangannya, siap untuk di gendong. Vanya membungkuk sedikit, dan menggendong Charlos. "Hore …." sorak Charlos girang sambil bertepuk tangan. "Ayo Charlos sama Oma dulu ya, biar Ami sama Papa mandi dulu, nanti baru main lagi," ucap Erin yang telah dibisikkan Charles mengenai Vanya yang tengah sakit. Setelah dibujuk, akhirnya Charlos mau turun dari gendong Vanya. "Kamu yakin gak mau periksa ke dokter?" tanya Charles lagi sesampainya mereka di kamar. "Gak perlu. Nanti juga hilang sendiri sakitnya," sahut Vanya. Dengan sisa tenaganya, Vanya membersihkan sisa make up di wajahnya dan bersiap masuk ke kamar mandi. "Kamu mau ngapain?" tanya Vanya yang melihat Charles mengikutinya sampai di depan pintu kamar mandi. "Mau ikut ke dalam nemenin kamu. Takut kamu kenapa-napa di dalam. Kalau kamu pingsan, siapa yang tahu?" "Gak usah aneh-aneh ya Bapaknya Charlos. Aku cuma mandi aja di dalam, gak perlu kamu temani." Protes Vanya. "Kalau gitu pintunya di buka aja." "Ngapain? Ini pintunya gak aku kunci, tapi awas kalau kamu berani masuk!" serunya. Charles menarik kursi dan memandangi pintu kamar mandi yang berwarna coklat itu. Sesekali ia melirik jam dan menghitung sudah berapa lama Vanya di dalam. Memasuki menit ke sepuluh, Charles bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke depan kamar mandi. Ia merasa Vanya sudah terlalu lama di dalam. Tangannya sudah siap memutar gagang pintu saat pintu duluan terbuka dari dalam. "Kamu mau mesum?" tanya Vanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mesum? Sama istri sendiri mesum? Mana ada ceritanya," sahut Charles membiarkan Vanya keluar, kemudian berganti ia yang mandi. *** Charles dan Frans masih berada di ruang tengah, sementara yang lain sudah masuk duluan ke kamar tidur. Dirasa kesehatan Frans sudah pulih, Charles menanyakan perihal sebab kejadian sebelum masuk rumah sakit kemarin. "Pusing Papa," ucap Frans dengan helaan nafas panjang. "Ada masalah di lokasi kemarin yang Papa lihat sama Mama?" tanya Charles yang sebenarnya hanya menebak. Namun ternyata benar. Fras memijat keningnya. "Kita ditipu." "Hah, ditipu gimana, Pa?" Charles kaget. Frans kemudian menceritakan semuanya pada Charles. Bagaimana dan berapa besar kerugian yang dialami. Charles setengah tak percaya dengan kenyataan yang terjadi, karena ia juga mengenal orang yang menjadi makelar penjual tanah tempat Frans akan membuka usahanya. "Papa sudah menyuruh orang untuk nyari dia, tapi nihil. Rumah tempat bertemu kemarin, ternyata cuma rumah sewaan dan orang sekitar sana juga gak ada yang kenal sama dia." "Kurang ajar itu orang. Papa tenang aja, Charles akan cari dia sampai dapat. Kalau dia gak bisa kembalikan uang kita, berarti dia harus dipenjara!" serunya penuh emosi. Serangkaian rencana pencarian mulai tersusun di otaknya. Tekadnya, orang itu harus ketemu bagaimanapun caranya. "Sekarang Papa istirahat aja, jangan terlalu dipikirkan masalah ini. Biar Charles yang urus," ucapnya mencoba menenangkan Fras. Sebagai aparat, Charles merasa bodoh karena bisa-bisanya terkecoh dengan perangai orang itu, hingga mereka sampai tertipu miliaran rupiah. Charles menekan tombol off dan mematikan tv, kurang lebih setengah jam setelah Frans masuk ke dalam kamarnya. Ia menghubungi temannya yang berada di wilayah tempat Frans akan membuka usaha, minta tolong untuk melakukan pencarian terhadap orang yang telah menipu mereka. Ia membuka dan menutup pintu kamarnya dengan pelan, agar tak membuat Charlos dan Vanya yang telah terlelap menjadi terbangun. Ia berjalan menuju box Charlos dan mengusap lembut kepalanya. Kali ini Vanya terpaksa membiarkan Charlos tidur terpisah darinya, agar dapat beristirahat sedikit lebih nyaman. Bukan apa-apa, ini hanya karena kondisi perutnya yang masih sedikit nyeri. Dengan perlahan, Charles naik ke atas ranjang dan merebahkan diri di samping Vanya yang tidur dengan posisi sedikit membungkuk memeluk lututnya. "Perutnya masih sakit?" tanya Charles pelan seraya mengelus lembut lengan Vanya. "Sedikit," jawab Vanya pelan. "Kamu yakin sakitnya bisa ditahan?" "Iya. Sudah biasa. Di bawa tidur juga nanti hilang," ucap Vanya lagi. Ia mengambil guling dan memeluknya sembari membalikkan badannya membelakangi Charles. Beberapa detik kemudian, Charles telah berada di balik punggung Vanya dan menyusupkan tangannya ke pinggang Vanya. "Aku cuma gak tega liat kamu kayak gini," ucap Charles. Tangannya tepat berada diatas perut Vanya, mengusap-usap pelan agar nyeri itu berangsur hilang. 'Nyeri hilang, tapi merinding yang datang' gumam Vanya dalam hati. Nafas Charles menari bebas di atas permukaan leher Vanya, membuat ia tak bisa langsung tertidur. *** Pagi menjelang, Vanya telah siap dengan pakaian kerjanya. Sambil menggendong Charlos, ia berjalan menuju ruang makan. "Pagi, Ma," sapa Vanya. Erin tengah menuang teh ke dalam cangkir saat Vanya dan Charlos tiba di ruang makan. "Pagi, Vanya. Pagi Charlos sayang, Oma," sahut Erin. "Gimana perut kamu, masih nyeri?" tanya Erin lagi. "Sudah enggak, Ma," jawab Vanya. "Ih, dulu Mama juga gitu. Nyeri nya bikin gak tahan, bahkan Mama bisa sampai pingsan. Tapi sekarang Mama udah gak pernah lagi nyeri-nyeri kaya gitu." "Gimana caranya, Ma? Minum obat ya, Ma?" tanya Vanya. Tangannya mengambil roti, kemudian memakannya. "Kamu harus hamil dulu, nanti setelah melahirkan pasti nyeri-nyeri tamu bulanan kamu bakal hilang." Perkataan Erin membuat Vanya tersedak. "Nih minum dulu," ucap Charles dari arah sampingnya sambil mendekatkan secangkir teh. "Iya. Nanti kamu buktikan sendiri ya. Pasti omongan Mama benar," ucap Erin yang membuat Vanya salah tingkah. Tak tahu harus menjawab apa. Hanya kata iya yang terlontar dari mulut Vanya. "Angin segar," bisik Charles di telinga Vanya. Sebelum semuanya tambah tak jelas, Vanya meninggalkan ruang makan dengan alasan mengambil tasnya di kamar. Makin lama ia berada disana, sudah bisa dipastikan, makin menjadi-jadi juga Charles akan menggodanya.Pencarian hari ketiga, akhirnya membuahkan hasil. Setelah sebelumnya, Charles menyerahkan foto diri orang yang menipu keluarganya, Charles mendapatkan kabar, bahwa orang yang diduga mirip dengan ciri-ciri yang dicari, terlihat di salah satu rumah makan di daerah Bandung siang ini. Setelah mendapatkan izin dari atasannya. Charles dan seorang temannya meluncur ke sana.Aku ke Bandung dulu. Ada yang diurus. Nanti Sandra yang jemput, karena aku mungkin pulang tengah malam.Isi pesan yang dikirim Charles pada Vanya. Sepertinya semesta mendukung rencana Charles untuk memburu tukang tipu itu. Setibanya di Bandung, Charles langsung menuju ke sebuah rumah kontrakan tempat orang itu berada, sebelumnya Charles telah minta tolong pada temannya di salah satu polsek di daerah Bandung untuk mengikuti kemana orang itu pergi. Charles memarkir jauh mobilnya, kemudian berjalan menuju rumah yang dimakasud."Mana?" tanya Charles pada temannya yang telah lebih dulu menunggu tak jauh
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Vanya hanya diam. Sedari tadi ia terus memegang perutnya dengan posisi sedikit membungkuk. Ini dilakukannya agar sakit datang bulannya sedikit berkurang. Sudah lama ia tidak merasakan sakit yang lumayan menyiksa seperti ini."Kamu sakit? Wajah kamu pucat? Sudah makan?" tanya Charles bertubi-tubi. Vanya mengangkat wajahnya dan tersenyum kecut. "Aku baik-baik aja," ucapnya dengan nada tertahan."Kalau baik-baik aja, kenapa sampai pucat kayak gitu?""Sakitnya udah biasa. Setiap bulan pasti kaya gini. Masalah wanita.""Tapi selama kita sama-sama, baru kali ini aku lihat kamu sakit sampai pucat kayak gini," ucap Charles lagi. Vanya tak menjawab, berharap Charles berhenti menanyainya. Karena gerakan bibir saat menjawab setiap pertanyaan dari Charles, menambah rasa nyeri di perutnya."Kalau gitu, sekarang kita ke dokter. Kita periksa. Supaya jelas kamu ada riwayat sakit apa. Aku gak mau kamu kaya Kirana dulu yang punya kista di
Pagi ini Vanya bangun karena suara tangisan Charlos. Ia meraba sampingnya dan tak merasakan keberadaan Charlos. Ia beranjak dari ranjang dan menggendong Charlos, keluar dari box bayinya."Sshhh sshhhh shhhhh," Vanya coba menenangkan Charlos. Ia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul lima pagi. Di balik selimut Charles juga masih terlelap tidur. Setelah Charlos tenang dan kembali tidur, dengan perlahan ia meletakkan Charlos ke dalam box bayinya. Vanya mencuci muka, menyikat gigi, dan merapikan rambutnya, sebelum keluar dari kamar.Hannya mereka bertiga yang ada di rumah. Paling tidak, ia harus menyiapkan sarapan untuk Charles dan juga Charlos. Ia membuka kulkas dan melihat apa yang dapat dimasak pagi ini. Ia mengeluarkan ayam yang telah dibumbui dari dalam freezer dan mengeluarkan beberapa jenis sayuran. Sinar matahari mulai mengintip dari balik celah-celah jendela. Ia lalu mematikan kompor karena masakannya telah selesai. Tak perlu waktu lama untuk
"Lagi ngapain, Ma?" tanya Vanya di ujung telepon. Sabtu ini di habiskannya hanya di rumah saja, dengan Charlos dan tentunya, Erin, ibu mertuanya. Seperti biasa, Frans ada di kantor sementara Sandra masih sibuk dengan urusan skripsinya. "Lagi siap-siap mau pergi acara bulanan sama Tante Lusi," sahut Mama dengan loudspeaker handphone yang menyala karena tangannya masih sibuk melukis wajah."Di jemput sama Tante Lusi?""Iya, Sayang. Mama sih pengen kursus nyetir supaya bisa bawa mobil, sayang kan mobil di rumah nganggur. Atau kamu bawa aja mobilnya ke sana," ucap Mama yang kini tangan dan matanya serius menatap kaca, fokus menggambar alis."Mama ih, mobilnya biarin aja disana.""Ya udah, nanti kamu cariin Mama tempat kursus ya," ucap Mama sambil membereskan beberapa peralatan make upnya."Oke, Ma. Ya sudah Mama hati-hati ya, Vanya tutup teleponnya ya," ucap Vanya.Ia kemudian duduk melantai di dekat Charlos, menemaninyaa bermain."Ami, Ami, mobil, mobil
Sikap Vanya kini mulai melunak. Seperti hari ini, Vanya menuruti kemauan Charles saat ia mengajaknya pergi untuk sekedar makan es krim dengan varian yang berbeda di salah satu kedai es krim, setelah pulang bekerja. Laporan yang diminta atasannya untuk diserahkan pukul lima sore, telah selesai dikerjakan Charles dari pukul setengah empat dan siap untuk diantar sekarang. Ia membereskan mejanya dan menyimpan laptopnya di laci."Permisi, Pak," ucap Charles seraya mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan atasannya setelah dipersilahkan."Baru jam berapa ini?" atasannya melirik jam di tangan kirinya sewaktu Charles meletakkan map berwarna coklat berisi laporan yang dimintanya. Charles nyengir mendengar perkataan atasannya itu."Oh, malam jumat ya," goda atasannya lagi yang membuat Charles malu."Tahu aja, Bapak," jawabnya. Padahal sih mau malam apapun bahkan malam jumat sekalipun gak ngaruh sama dia.Asyik membahas beberapa kasus dengan atasannya, tiba-tiba istri atas
Memasuki usia Charlos yang ke delapan belas bulan alias satu setengah tahun, Charlos dijadwalkan akan imunisasi. Sebelumnya Erin telah mendapatkan pesan konfirmasi dari bagian admin dokter anak di salah satu klinik di Jakarta. Hari sabtu jam empat sore. Erin, Vanya, dan Charlos sudah siap tinggal berangkat, saat Charles tiba-tiba datang dan mengatakan siap untuk mengantarkan mereka."Sebentar Charles ganti baju ya, Ma," ucap Charles sambil masuk ke dalam kamar.Sepuluh menit kemudian, Charles telah siap, mengenakan celana jeans dan kaos hitam lengkap dengan sepatu sneakers nya. Ia terlihat sangat mempesona."Charlos sama Ami di depan ya," ucap Erin sambil memberikan Charlos pada Vanya, dan ia masuk duduk di kursi belakang. Vanya masuk dan memangku Charlos, sementara Charles mengemudikan mobil. Di tengah jalan, tiba-tiba Erin minta diturunkan di kantor Frans."Loh kenapa, Ma?" tanya Vanya.“Lagi bete sama Charles juga, Mama malah mau gak ikut” batin Vanya."Ma