Tak tahu kenapa, antrian nasabah layanan kredit lumayan banyak untuk hari ini. Vanya dan petugas yang lain, sampai sedikit berkeringat karena ac yang tak terasa hawa dinginnya.
"Mbak Pris, boleh istirahat gak sih," ucap Vanya. Tadi pagi ia hanya makan dua lembar roti tawar. Niatnya mau sarapan nasi uduk samping kantor namun gagal karena keburu nasabah datang dan agak menumpuk. "Boleh dong. Kamu istirahat aja duluan. Aku lagi puasa, jadi istirahatnya belakangan aja," ucap Priska. "Aku tinggal istirahat sebentar ya, Mbak," pamit Vanya. Ia membalik papan namanya dan mengambil dompet serta handphone dari laci mejanya. Vanya mempercepat langkahnya saat melihat Reni keluar dari banking hall. Malas kalau tiba-tiba dia nanya masalah pribadi. Namun sayangnya, tujuan mereka sama. Mau makan nasi pecel di ruko samping kantor. Vanya yang sudah mengincar posisi duduk di meja ujung, mengumpat kesal dalam hati karena tempat duduk incarannya sudah diambil oleh orang lain. "Eh, Vanya. Ayok duduk bareng kita," ucap Bu Nita sambil memegang pundak Vanya. Dengan pelan Bu Nita menggiring Vanya untuk duduk di meja yang yang sama. Ia menarik nafas dan duduk di sebelah Bu Nita, sedangkan Reni duduk tepat di depannya. Rasanya benar-benar tak nyaman berada dalam situasi ini. Ia hanya menjawab singkat setiap pertanyaan yang mereka lontarkan. “Nanti minta tolong ya, supaya Bu Erin nabung lagi di tempat kita,” pinta Bu Nita. Vanya tersenyum kecut memandang Bu Nita. “Baru juga beberapa hari jadi mantu. Masa iya aku sudah ngurusin uang tabungan mertua, bisa di blacklist entar” gumamnya dalam hati. "Iya, hitung-hitung bantu target kantor kita," sambung Reni lagi. "Iya Bu. Nanti saya coba," jawab Vanya basa basi kemudian pamit duluan. *** Tepat jam setengah empat, antrian nasabah layanan kredit akhirnya habis juga. Tak hanya Vanya, seluruh petugas layanan kredit berdiri dan meregangkan pinggangnya. Vanya mengganti sepatu hak tingginya dengan sepatu teplek yang berada di bawah meja, kemudian menghampiri Priska di mejanya. "Mbak, ini gimana berkasnya belum lengkap. Mana marketingnya di kasih tahu malah ngotot," ucap Vanya sambil mengeluarkan berkas-berkas dari dalam amplop berwarna coklat. Priska mengambil berkas itu dari tangan Vanya dan memeriksanya. "Udah, besok kalau dia datang, kembalikan aja. Dia itu emang kebiasaan. Capek ngebilangin," sahut Priska sambil mengembalikan berkas itu. Vanya melirik jam di tangannya yang telah menunjukkan pukul setengah lima lewat. Drt drt drt Charles calling "Biasanya jam segini kamu sudah ada didepan kantor, kok sekarang gak ada? Udah pulang duluan atau kamu ketemu orang?" Charles langsung nyerocos saat teleponnya telah tersambung. "Kenapa? Benerkan?" tanya Charles lagi saat mendengar helaan nafas Vanya di ujung telpon. "Kamu pulang aja duluan, nanti aku pulang sendiri. Masih ada kerjaan," ujar Vanya sambil memijat sebelah bahunya. "Aku tunggu di depan," ucapnya sambil mematikan sambungan teleponnya. "Gangguan nih kayaknya," ucap Tyas, salah satu temen seunit Vanya yang duduknya di meja nomor satu. "Sama nih, dari tadi muter-muter aja. Loadingnya lama." Vanya menyahuti perkataan Tyas. "Wes, pulang aja udah. Tadi dapat info lagi ada maintenance jaringan sampai tengah malam. Gak usah di tungguin." Perkataan Priska membuat petugas layanan kredit tersenyum sumringah. Mereka membereskan meja dari berkas-berkas yang menumpuk kemudian mematikan komputer. "Yuk, kita pulang," "Iya, Mbak." Sahut Vanya dan Tyas bersamaan. Mereka mengikuti Priska yang membuka pintu ruangan Pak Tri, untuk pamit pulang duluan. Vanya sedikit menurunkan sandaran kursinya begitu masuk ke dalam mobil Charles. Setelah memasang seatbelt ia menutup matanya sejenak, membayangkan sedang berada di padang rumput agar membuat perasaannya sedikit lega. "Katanya tadi masih banyak kerjaan, tapi ini sudah pulang," ucap Charles yang fokus dengan kemudi mobilnya. "Iya, tadi lagi ada perbaikan jaringan, jadi gak bisa kerja" jawab Vanya masih dalam posisi mata tertutup. Ia benar-benar lelah hari ini, rasanya pengen pergi ke tempat pijat agar badan sedikit rileks. Sudah lama ia tidak ditempatkan di unit layanan kredit, terakhir sewaktu dia baru diangkat jadi pegawai, sudah beberapa tahun lalu. Melihat Vanya yang tampak begitu lelah, Charles memilih diam. Ia tak mau ribut-ribut tak jelas. *** Vanya kembali menimang-nimang Charlos. Sudah hampir setengah jam, Charlos rewel, membuat Vanya bingung harus bagaimana. Tak mungkin ia membangunkan mertuanya, untuk minta bantuan menenangkan Charlos. “Sudah jam sepuluh. Mana Charles belum pulang. Bilangnya cuma sebentar. Tapi sudah hampir dua jam gak balik-balik” gumam Vanya kesal. "Sshhhh…. Sshhhh…. Sshhh…. Sssshhh…." Dari tadi Vanya menirukan suara itu, sampai akhirnya Charlos terlelap tidur. Vanya menarik nafas lega saat melihat Charlos telah terlelap. Sebuah kecupan manis mendarat di puncak kepala Charlos, sebelum Vanya dengan pelan meletakkan anak sambungnya itu di dalam box bayinya. Kembali ia melirik jam di dinding kamar. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh lima menit. Diambilnya handphonenya, memeriksanya barangkali ada pesan dari Charles, namun nihil. Ia lantas memutuskan untuk berbaring, sembari memijat pelan kedua bahunya yang sedikit menegang. Baru saja akan memejam mata, pintu kamar dibuka oleh Charles. Ia menguap lebar sambil membuka jaket dan kemejanya. "Kamu kenapa gak tidur?" "Ini juga mau tidur," sahutnya sambil membetulkan posisi tidurnya dan menarik selimut. “Kenapa aku malah naroh Charlos di situ” batin Vanya seraya melirik ke arah box yang berisikan Charlos yang sudah tidur dengan nyenyaknya. Vanya membatasi tempat tidur dengan menempatkan guling serta bantal kepalanya di tengah-tengah ranjang. Gak apa-apa ia tidur hanya beralaskan tangannya. Charles keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya. “Tumben dia naroh Charlos di box. Apa dia memberi kemungkinan” gumam Charles sambil memakai baju. Vanya terus memaksa matanya agar tetap tertutup, meski ranjang mulai sedikit bergerak karena Charles naik dan merebahkan badannya. Ia mengambil guling yang menjadi pembatas tempat tidur dan meletakkannya di bawah kepala. "Kamu sudah tidur?" tanya Charles sambil melihat Vanya yang tampaknya sudah tidur. Ia menyingkirkan bantal yang menjadi pembatas dan mendekati Vanya. "Kamu mau ngapain?" Vanya langsung membuka matanya saat merasa Charles sudah semakin dekat. "Tinggal jawab belum tidur apa susahnya sih," ucap Charles yang masih berada di dekat Vanya. "Ini juga mau tidur." "Tadi juga bilang gitu," ucap Charles. Vanya membalik badannya, membelakangi Charles. Sesuatu yang hangat menyentuh bahunya secara bergantian, sangat nyaman membuat Vanya membiarkannya untuk beberapa saat. "Makasih ya, ternyata kamu ada bakat jadi tukang pijat," kata Vanya sambil berbalik dan terkejut, Charles telah sangat dekat dengannya. Hanya beberapa senti, hingga ia bisa merasakan hembusan nafas Charles. Lima detik kemudian, Vanya mengembalikan tubuhnya ke posisi awal, tak peduli di belakangnya Charles berusaha terus untuk menggodanya.Vanya memandangi kalender yang ada di atas meja dan membolak tiap lembar. Ia tampak memikirkan sesuatu. Kalau dihitung-hitung, ini sudah hampir satu tahun mereka menikah. Tepatnya, tiga hari lagi, genap satu tahun usia pernikahan mereka. Sebenarnya ia tak berekspektasi yang berlebihan di hari jadi mereka ini. Charles ingat saja, itu sudah hal yang luar biasa. Syukur.Belakangan ini, Vanya merasa kalau hubungannya dengan Charles jauh lebih baik dari sebelumnya. Walau kadang masih sering berdebat kecil.“Kamu mau cuti? Dari tadi liatin kalender terus," ucap Tyas."Gak sih, belum ada rencana," jawab Vanya cengengesan."Terus?""Liatin kapan gajian, udah menipis soalnya, hahahaha …." ucap Vanya."Ah, kayaknya kamu termasuk golongan orang yang uangnya gak berseri deh.""Amin Ya Allah," sahut Vanya seraya menengadahkan tangannya. Vanya mengamini saja ucapan Tyas, meski tahu yang dimaksud Tyas adalah mertuanya.Setelah membereskan meja, Vanya, Tyas, dan yang lain menuju aula kantor untuk me
Pencarian hari ketiga, akhirnya membuahkan hasil. Setelah sebelumnya, Charles menyerahkan foto diri orang yang menipu keluarganya, Charles mendapatkan kabar, bahwa orang yang diduga mirip dengan ciri-ciri yang dicari, terlihat di salah satu rumah makan di daerah Bandung siang ini. Setelah mendapatkan izin dari atasannya. Charles dan seorang temannya meluncur ke sana.Aku ke Bandung dulu. Ada yang diurus. Nanti Sandra yang jemput, karena aku mungkin pulang tengah malam.Isi pesan yang dikirim Charles pada Vanya. Sepertinya semesta mendukung rencana Charles untuk memburu tukang tipu itu. Setibanya di Bandung, Charles langsung menuju ke sebuah rumah kontrakan tempat orang itu berada, sebelumnya Charles telah minta tolong pada temannya di salah satu polsek di daerah Bandung untuk mengikuti kemana orang itu pergi. Charles memarkir jauh mobilnya, kemudian berjalan menuju rumah yang dimakasud."Mana?" tanya Charles pada temannya yang telah lebih dulu menunggu tak jauh
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Vanya hanya diam. Sedari tadi ia terus memegang perutnya dengan posisi sedikit membungkuk. Ini dilakukannya agar sakit datang bulannya sedikit berkurang. Sudah lama ia tidak merasakan sakit yang lumayan menyiksa seperti ini."Kamu sakit? Wajah kamu pucat? Sudah makan?" tanya Charles bertubi-tubi. Vanya mengangkat wajahnya dan tersenyum kecut. "Aku baik-baik aja," ucapnya dengan nada tertahan."Kalau baik-baik aja, kenapa sampai pucat kayak gitu?""Sakitnya udah biasa. Setiap bulan pasti kaya gini. Masalah wanita.""Tapi selama kita sama-sama, baru kali ini aku lihat kamu sakit sampai pucat kayak gini," ucap Charles lagi. Vanya tak menjawab, berharap Charles berhenti menanyainya. Karena gerakan bibir saat menjawab setiap pertanyaan dari Charles, menambah rasa nyeri di perutnya."Kalau gitu, sekarang kita ke dokter. Kita periksa. Supaya jelas kamu ada riwayat sakit apa. Aku gak mau kamu kaya Kirana dulu yang punya kista di
Pagi ini Vanya bangun karena suara tangisan Charlos. Ia meraba sampingnya dan tak merasakan keberadaan Charlos. Ia beranjak dari ranjang dan menggendong Charlos, keluar dari box bayinya."Sshhh sshhhh shhhhh," Vanya coba menenangkan Charlos. Ia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul lima pagi. Di balik selimut Charles juga masih terlelap tidur. Setelah Charlos tenang dan kembali tidur, dengan perlahan ia meletakkan Charlos ke dalam box bayinya. Vanya mencuci muka, menyikat gigi, dan merapikan rambutnya, sebelum keluar dari kamar.Hannya mereka bertiga yang ada di rumah. Paling tidak, ia harus menyiapkan sarapan untuk Charles dan juga Charlos. Ia membuka kulkas dan melihat apa yang dapat dimasak pagi ini. Ia mengeluarkan ayam yang telah dibumbui dari dalam freezer dan mengeluarkan beberapa jenis sayuran. Sinar matahari mulai mengintip dari balik celah-celah jendela. Ia lalu mematikan kompor karena masakannya telah selesai. Tak perlu waktu lama untuk
"Lagi ngapain, Ma?" tanya Vanya di ujung telepon. Sabtu ini di habiskannya hanya di rumah saja, dengan Charlos dan tentunya, Erin, ibu mertuanya. Seperti biasa, Frans ada di kantor sementara Sandra masih sibuk dengan urusan skripsinya. "Lagi siap-siap mau pergi acara bulanan sama Tante Lusi," sahut Mama dengan loudspeaker handphone yang menyala karena tangannya masih sibuk melukis wajah."Di jemput sama Tante Lusi?""Iya, Sayang. Mama sih pengen kursus nyetir supaya bisa bawa mobil, sayang kan mobil di rumah nganggur. Atau kamu bawa aja mobilnya ke sana," ucap Mama yang kini tangan dan matanya serius menatap kaca, fokus menggambar alis."Mama ih, mobilnya biarin aja disana.""Ya udah, nanti kamu cariin Mama tempat kursus ya," ucap Mama sambil membereskan beberapa peralatan make upnya."Oke, Ma. Ya sudah Mama hati-hati ya, Vanya tutup teleponnya ya," ucap Vanya.Ia kemudian duduk melantai di dekat Charlos, menemaninyaa bermain."Ami, Ami, mobil, mobil
Sikap Vanya kini mulai melunak. Seperti hari ini, Vanya menuruti kemauan Charles saat ia mengajaknya pergi untuk sekedar makan es krim dengan varian yang berbeda di salah satu kedai es krim, setelah pulang bekerja. Laporan yang diminta atasannya untuk diserahkan pukul lima sore, telah selesai dikerjakan Charles dari pukul setengah empat dan siap untuk diantar sekarang. Ia membereskan mejanya dan menyimpan laptopnya di laci."Permisi, Pak," ucap Charles seraya mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan atasannya setelah dipersilahkan."Baru jam berapa ini?" atasannya melirik jam di tangan kirinya sewaktu Charles meletakkan map berwarna coklat berisi laporan yang dimintanya. Charles nyengir mendengar perkataan atasannya itu."Oh, malam jumat ya," goda atasannya lagi yang membuat Charles malu."Tahu aja, Bapak," jawabnya. Padahal sih mau malam apapun bahkan malam jumat sekalipun gak ngaruh sama dia.Asyik membahas beberapa kasus dengan atasannya, tiba-tiba istri atas