Di tengah hidup yang serba kekurangan Mira malah harus dihadapkan dengan kabar kematian sang suami. Hatinya hancur, langit seakan runtuh, bahkan ia sempat berniat untuk mengakhiri hidup setelah masalah datang silih berganti. Namun, ketiga anaknya seolah memberi kekuatan di tengah kehancuran. Demi tak membiarkan anak-anaknya kelaparan Mira pun bertekad untuk menjalani hidup dengan caranya sendiri. Hingga, suatu hal yang tak terduga bisa merubah hidupnya dan anak-anak.
View More“Kenapa wajahmu pucat begitu, Mira?” tanya Raka sambil menenteng sekantong plastik kecil berisi beras yang baru ia beli setelah bekerja seharian.
“Asam lambungku kumat, Mas,” jawab Mira, lirih. Wanita itu berbaring di kasur lusuh sambil memegangi perutnya. Di samping ada ketiga anak yang sedang terlelap karena hari sudah malam. Raka yang panik lantas bergegas ke dapur buru-buru menanak nasi di atas tungku yang baru saja dinyalakan. Tak sampai disitu, karena uang hasil kasbon pada bos hanya cukup membeli beras, ia pun berinisiatif untuk memetik bayam liar di dekat kali yang tidak jauh dari gubuknya. Lelah setelah bekerja seharian tak membuat Raka mengeluh. Dalam pikirannya hanya membayangkan bagaimana caranya agar Mira bisa segera mengisi perutnya. Ia yakin jika sang istri telah menahan lapar sejak pagi demi mementingkan perut buah hati mereka. “Mira, maafin Mas yang belum pernah bisa membahagiakan kalian. Kamu malah harus terus menahan lapar demi anak-anak,” gumam Raka sambil menggeser-geser kayu bakar agar terus menyala. Bulir bening tak terasa menetes. Air mata seorang pria hanya keluar ketika hati benar-benar terluka. Ya, Raka begitu hancur saat terbayang wajah pucat Mira yang terbaring lesu akibat menahan lapar. Hanya ada garam di dapur, tidak ada bawang atau bumbu lain yang bisa membuat makanan menjadi lebih nikmat. Namun, bagi orang seperti Raka bisa makan saja sudah lebih dari cukup, rasa enak hanyalah sebuah angan yang entah kapan bisa mereka rasakan. Detik demi detik berlalu, yang dinanti akhirnya datang juga. Dengan cepat Raka menyendok nasi dan sayur bayam untuk kemudian diberikan kepada Mira. “Mir, makan dulu mumpung masih hangat.” Raka menyodorkan sepiring nasi yang hanya berhiaskan bayam layu itu. Sambil menahan sakit yang luar biasa, Mira beranjak. Ia tidak ingin menunjukan rasa sakitnya meski wajah jelas terlihat pucat. Wanita itu enggan membuat sang suami bersedih. “Mas baru pulang kerja malah langsung kerepotan. Padahal biar Mira saja yang masak,” ucap Mira sambil tersenyum dengan mata layu. “Mas lagi pengen masak, mengasah bakat terpendam.” Raka tertawa seolah tak ada beban. Tawa Raka mengandung banyak luka, beruntung Mira malah bahagia melihat tawa itu. Terkadang ia merasa beruntung memiliki suami seperti Raka, meski belum bisa memberi kebahagiaan materi, tetapi perhatian dan tanggung jawabnya sudah tak bisa diragukan lagi. “Mas, nggak makan?” tanya Mira sambil menyuap nasi yang hanya terasa asin itu. “Mas sudah kenyang.” Raka mengusap perutnya yang saat itu ia buat buncit. Namun, perutnya seakan tak bisa diajak kompromi. Ditengah kebohongan tersebut perutnya itu malah berbunyi, membuat Mira tersenyum simpul. “Coba deh bayamnya, Mas. Kayaknya ini sedikit pahit.” Mira menyodorkan sesendok nasi dan bayam pada Raka. Raka mengerutkan alis, mendadak merasa khawatir jika bayam buatannya ternyata tidak enak. Tanpa banyak bicara Raka pun memakan satu suap yang barusan Mira sodorkan. Raka berpikir sambil mengunyah. “Sepertinya nggak ada yang salah dengan bayam ini,” sahut Raka dengan wajah kebingungan. “Tapi ini sedikit pahit, Mas. Atau mungkin karena suapan pertama, ya? Coba di suapan kedua, siapa tahu terasa pahitnya.” Raka yang masih kebingungan pun tak menyadari jika itu hanyalah akal-akalan Mira agar sang suami mau makan meski beberapa suap. “Nggak pahit, kok. Ini sudah suapan ke lima tapi rasanya masih sama.” Mira tersenyum sambil berkata, “mungkin lidahku yang pahit, Mas.” Raka yang gemas dengan tingkah Mira langsung mencubit pipi istrinya itu. Rasa lelah akan pekerjaan dan kehidupan yang begitu menyedihkan seolah terlupakan ketika ada pasangan yang begitu setia dan menerima apa adanya di sampingnya. Hingga setelah sejenak berbincang, Raka dan Mira pun terlelap dalam keadaan perut yang belum terlalu kenyang, tapi juga tidak kelaparan. **** Terik mentari pagi menyelinap masuk melalui celah dinding bambu yang anyamannya sedikit asal itu. Maklum saja, rumah itu berdiri dengan dana seadanya, asal ada buat berteduh saja. Lantai nya saja masih tanah. Para tetangga seringkali mengatakan jika rumah mereka bahkan tidak lebih baik dari kandang seekor sapi. Mira yang kala itu baru pulang mencari keong sawah dan memetik kangkung liar tampak begitu bahagia meski dua bahan makanan itu bukanlah sesuatu yang mewah. Buru-buru ia masak sebelum suami dan anaknya bangun. “Semoga anak-anak tidak tahu kalau ini keong sawah,” gumam Mira yang saat itu tampak begitu bahagia. Meski hanya keong setidaknya itu adalah daging. ‘Bukankah di meja makan ada daging dan sayur sudah sedikit mewah dibanding biasanya?’ batin Mira sambil tersenyum simpul. Aroma masakan yang tidak seberapa itu membangunkan Arka, anak sulung Mira dan Raka. Bocah kecil itu langsung memegangi perutnya yang lapar. “Bu, masak apa? Mau Arka bantu?” tanya bocah kecil itu. “Sudah hampir selesai. Arka tunggu di dalam saja,” pinta Mira. “Iya, Bu.” Mata Arka tanpa sengaja menangkap benda yang begitu tidak asing baginya. Ya, itu adalah cangkang keong. Bocah itu pun langsung menyadari jika yang sedang sang ibu masak adalah hewan kecil yang sering berada di sawah itu. Ia menelan ludah, membayangkan saja sudah terasa geli. “Kenapa ibu masak keong?” celetuk Arka. Mira yang awalnya senang itu seketika berubah panik. Ia khawatir jika anaknya akan jijik dan tidak mau makan. “Maaf, tapi cuma ini yang bisa ibu kasih. Kalau ada uang nanti, ibu janji bakal belikan Arka ayam.” Mira menjawab sembari tertunduk lesu. Arka, si bocah yang didewasakan oleh keadaan itu merasa bersalah saat melihat wajah lesu sang ibu. “Nggak apa-apa, Bu. Kata teman-teman Arka, keong itu enak, kok. Ibu jangan sedih lagi, ya,” ucap bocah itu. Mendengar ucapan sang anak, air mata Mira tanpa sadar menetes membasahi pipi. Dengan cepat ia memeluk Arka begitu erat. “Maafin ibu. Ibu janji akan membahagiakan kalian suatu saat nanti,” ungkap Mira sambil sesekali mengusap rambut anaknya. “Iya, Bu. Ibu jangan nangis lagi, ya! Nanti Arka jadi ikut sedih.” Mira melepas pelukannya. Ia segera menghapus air mata yang sudah membasahi pipi. Arka segera kembali ke tempat tidur tanpa kasur itu, mungkin lebih tepatnya kayu beralaskan tikar. Mata bocah kecil itu menatap kedua adiknya yang masih terlelap. “Semoga Hana sama Kiano nggak denger obrolan tadi,” gumam Arka sambil memandangi kedua adiknya. Ia segera bergegas ke kamar mandinya yang hanya bertutupkan terpal itu. “Dingin … semoga Ibu nggak tau kalau Arka cuma pura-pura mandi,” ucap bocah kecil itu sambil membasahi beberapa bagian tubuhnya. “Arka ….” Seketika Arka terperanjat sesaat setelah namanya dipanggil.Raka tersenyum menatap istri dan anak-anaknya yang terlihat kebingungan. “Ayah, kayaknya kita salah masuk rumah.” Arka melirik kesana kemari saking kebingungan. “Nggak, ini memang rumah kita, kakek yang buat begini.” Hana yang lebih bingung lantas kembali berlari keluar, berusaha mencerna keanehan di depan matanya. “Ayah, kenapa luarnya jelek? Kenapa nggak sekalian dibagusin kayak di dalem?” Raka hanya tertawa karena semula ia pun bingung dengan kondisi rumah yang aneh. Hanya saja, karena ini semua ulah Agus, tentu jadi terasa tidak aneh. “Tanya saja sama kakek,” ujar Raka sambil mengusap lembut kepala Hana. Mira hanya tersenyum mendengar jawaban Raka. Jika sudah menyangkut Agus memang semua terasa masuk akal. “Ya sudah, sekarang yang penting kita istirahat dulu, kalo Raka sama Hana mau makan ada di dapur, Kiano juga sudah ayah buatin susu,” lanjut Raka sambil menggendong Syafa. “Ayo kita cek dapur kak, pasti jadi bagus juga,” ajak Hana yang terlihat antusias. “Ayo, sekalian
Mira berusaha mempertahankan diri karena saat itu Syafa sedang berada dalam gendongan.“Ah, apa yang kamu lakukan?” teriak Mira sambil berusaha berbalik demi bisa menghindar.Namun saat berbalik betapa terkejutnya Mira mengetahui jika orang di belakangnya adalah Dian. Mira membelalak, matanya berkaca-kaca iya berdiri mematung saking terkejutnya.“Mbak Dian?” ucap Mira, lirih.Kala itu penampilan Dian sangatlah kacau. Pakaiannya compang-camping rambutnya kusut tidak terawat bahkan nyaris gimbal wajahnya pun sedikit kotor beruntung Mira masih bisa mengenali.Dian terlihat seperti orang tidak waras bahkan beberapa kali dia berusaha untuk menyakiti Mira sambil tertawa cekikikan.“Mira, awas!” Raka muncul secara tiba-tiba berusaha melindungi Mira yang kala itu sedang saling berhadapan dengan Dian.Dian mendadak terdiam setelah melihat kedatangan Raka. Entah apa yang ada dipikirannya. Hanya saja, ia yang semula cekikikan mendadak menangis cukup kencang.Beberapa warga yang melihat tingkah D
Agus secara tiba-tiba memberikan sebuah gunting dengan hiasan pita kepada Mira. Tentu saja hal tersebut membuat Mira dan Raka kebingungan.“Pak, apa maksudnya ini?” bisik Mira yang kala itu tampak kebingungan.“Ini milik kalian. Hadiah dariku atas kelahiran Syafa, juga ucapan selamat atas usaha kalian yang semakin sukses,” jelas Agus dengan santainya.“Tapi ini terlalu berlebihan, Pak.” Raka turut menjawab.“Hey, yang namanya hadiah ya suka-suka yang ngasih!” tegas Agus sambil menatap tajam, “apa jangan-jangan kalian nggak mau menerima hadiah dariku?”Raka terkejut mendengar ucapan Agus, tentu saja bukan itu yang dia maksud.“Bukan, Pak! Tapi ini–”“Semuanya, saya disini hanya mendampingi Mira dan Raka untuk melancarkan bisnis wisata ini. Mereka hanya punya uang, tapi tidak tahu alur untuk pengelolaan bisnis wisata,” jelas Agus dengan menggunakan pengeras suara.Bukan hanya para warga yang terus menghujat, Mira dan Raka saja sampai dibuat tak bisa berkata-kata mendengar ucapan Agus.“
Pagi itu, ketika Mira tengah memberi ASI anaknya yang baru lahir, mendadak suara bell rumah mengejutkannya.“Siapa yang datang pagi-pagi begini?” gumam Mira sambil perlahan berusaha bergeser agar anaknya tidak terbangun.Setelah berhasil lepas dari pelukan sang anak, Mira buru-buru keluar kamar, lalu membukakan pintu.“Surprise,” ucap Agus yang kala itu tengah bersama Raka dan ketiga anak mereka.Mira mengerutkan kening, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.“Surprise?” Mira mengerutkan kening sambil tersenyum bingung.Agus melirik Raka, meminta pria itu untuk menjelaskan semuanya pada Mira.“Ceritanya panjang, cuma Pak Agus minta kita buat kembali ke kampung, ada yang harus kita liat,” jelas Raka.“Memangnya apa?” Mira masih belum mengerti dengan apa yang sebenarnya Raka maksud.“Mas juga kurang tau–”“Sudahlah! Jangan banyak tanya! Kalian pergi hari ini juga, biar bisnis kalian asistenku yang urus.”Mira dan Raka saling pandang sambil berbicara dengan nada cukup tinggi, saking
“Kita langsung ke dokter saja, ya! Mungkin ini efek kamu terlalu stres mikirin masalah tadi,” ungkap Raka seraya merangkul sang istri. Mira dengan tubuh lemas dan perut yang mualnya tak tertahankan lebih memilih duduk terlebih dahulu untuk meredakan rasa yang membuatnya tak nyaman tersebut. Anak-anak yang mengerti jika sang ibu sedang tak enak badan itu seketika meniru ayah mereka memijat-mijat pelan di bagian lengan dan kaki. “Mas, kalau udah enakan saja ya pergi ke kliniknya, perutku lagi nggak nyaman banget.” “Kalau begitu biar Mas panggilkan dokter ke rumah saja.” Raka segera menelpon dokter kenalannya. ART di rumah pun tak kalah perhatian. Ia langsung membawakan teh manis hangat ketika tahu Mira sedang tidak enak badan. “Bu, sebelumnya saya minta maaf kalau agak kurang sopan. Kalau boleh tahu kapan ibu terakhir haid?” tanya asisten rumah tangga tersebut. Mira mengerutkan alis dan sontak terkejut seketika. “I-itu, apa mungkin?” Mira tersenyum canggung. Raka yang sedang men
Raka yang sedang berada tak jauh dari tempat Mira menerima panggilan telepon sontak terkejut saat mendengar sang istri setengah berteriak.“Ada apa? Kenapa sampai terkejut begitu?” Raka memegangi bahu Mira.“Ini Mas.” Mira menunjukan sebuah pesan pada Raka.Raka segera meraih ponsel Mira dan membaca isi pesan di dalamnya. Ia mengerutkan alis dan terdiam untuk beberapa saat.Kala itu Mira tampak sedang menahan air mata, tak menyangka dengan apa yang dibacanya.“Setelah sekian lama mencampakanmu sekarang mereka malah berusaha mempermalukanmu begini?” Raka tanpa sengaja meremas ponsel Mira saking merasa kesal.“Kupikir mereka sudah nggak menganggapku ada. Tapi ternyata di saat aku sudah sukses, malah mengatakan pada semua orang kalau aku menelantarkan mereka.”“Om dan bibimu sudah sangat keterlaluan. Biar aku bantu luruskan saja semuanya. Biar keluargamu itu pada tau.”“Percuma, mereka nggak bakalan mau dengar. Kalau begitu, Mas antar aku ke rumah sakit saja. Biar sekalian ketemu keluarg
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments