Masuk“Aldo memang sering meninggalkan kamu seperti ini, Ly?” tanya Dewa setelah obrolan lumayan panjang di antara mereka.
“Iya, Mas. Mas Aldo hampir setahun ini selalu sibuk, Mas. Dia selalu ditugaskan ke luar kota sama bosnya setiap bulan. Di sana dia tidak pernah Cuma sehari atau dua hari. Paling sebentar satu minggu. Aku sampai terbiasa dengan ini, Mas. Duh, maaf, aku malah jadi curhat sama mas Dewa,” Padahal lily berpikir akan sangat canggung saat bertemu dengan Dewa setelah sekian lama, ternyata tidak semengerikan perkiraannya. Dewa banyak berubah, termasuk sikapnya. Lelaki itu tidak sedingin dulu. Padahal dulu Dewa termasuk pendiam. Dia hanya bicara saat perlu saja. “Apa sebenarnya mau Aldo. Dia sudah memiliki seorang istri yang secantik kamu, malah ditinggal pergi terus. Coba kalau kamu jadi istriku, Ly. Pasti setiap hari kamu berada dalam dekapanku,” ucap Dewa enteng. Tentu saja itu membuat lily terkejut. Bisa-bisanya Dewa mengatakan hal seperti itu di hadapan istri adik kandungnya sendiri. “Mas Dewa bisa saja,” sahut LIly kikuk. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia cukup risih, tetapi dia tidak mungkin bersikap kasar terhadap Dewa. Bisa jadi lelaki itu hanya bercanda. Kalau sikapnya berlebihan, itu mungkin akan meninggalkan asumsi buruk di pikiran Dewa. “Aku serius, Ly. Kamu itu sempurna. Cantik, seksi, ramah, senyummu juga manis. Hanya lelaki yang tidak normal yang betah meninggalkan kamu lama-lama. Kecuali kalau di luar sana dia punya wanita lain.” Kali ini Lily tidak bisa tinggal diam. Dia tidak terima suaminya dituduh berselingkuh. Walaupun selama ini Aldo banyak cuek, Lily yakin itu karena pekerjaan suaminya yang semakin bertambah banyak. Dia terlalu semangat bekerja sampai tidak memiliki banyak waktu untuknya. “Mas, maaf ya kalau Lily tidak sopan. Tapi lily tidak suka Mas Dewa nuduh mas Aldo punya wanita lain. Dan lagi, tolong Mas Dewa jangan muji-muji aku kayak begitu. Aku risih, Mas. Aku ini adik iparnya Mas, loh. Jangan lupa, Mas.” Lily berusaha bicara sebaik mungkin pada Dewa. Walaupun dadanya terasa bergemuruh. Dia benar-benar tersulut emosi. “Aku minta maaf, Ly. Aku tidak bermaksud menuduh Aldo, sumpah demi Tuhan. Aku kan hanya sekedar menyampaikan opini tentang lelaki yang betah meninggalkan istrinya lama di luar kota. Kamu mungkin juga sering baca di media-media tentang kejadian seperti itu. Maaf kalau itu membuat kamu tersinggung. Aku juga memuji kamu karena memang fakta. Aku tidak bermaksud apa-apa, Ly. Tolong jangan salah paham.” Dewa menjelaskan dengan sabar. Dia berusaha untuk meredam emosi yang tengah menyelimuti Lily. Sementara Lily sendiri merasa bersalah. Dia sadar kalau reaksinya sangat berlebihan. Dia terlalu bersemangat untuk menyangkal perselingkuhan yang mungkin Aldo lakukan. Sebenarnya dia juga merasa takut dengan itu. Dia takut kalau di luar sana Aldo mulai bermain api. Dia selalu mati-matian berusaha berpikiran positif untuk sekedar menghibur rasa takut yang menderanya. “Lily juga minta maaf ya, mas. Lily berlebihan. Mas jangan marah, ya.” Lily akhirnya memutuskan untuk minta maaf. Dia tidak ingin bersitegang dengan Dewa, apalagi ini hari pertama Dewa datang ke rumahnya. Kalau Dewa sampai mengadu pada Aldo, dia akan didamprat lagi. Aldo sangat sensitif kalau itu berhubungan dengan keluarganya. “Mas juga yang salah, Ly. Semoga saja Aldo memang benar-benar serius kerja di luar sana buat kamu, ya. Sudah, jangan dipikirin lagi.” Dewa menghibur Lily. “Iya, Mas. Makasih, ya. Belakangan ini aku memang agak sensitif soal perselingkuhan. Aku juga sebenarnya takut kalau mas Aldo macam-macam di luar sana. Soalnya memang mas Aldo kalau sudah ke luar kota betah sekali, Mas. Seakan-akan dia malas untuk kembali ke rumah ini.” Lily akhirnya mengungkapkan dengan gamblang tentang rasa takutnya terhadap sikap dan tingkah laku Aldo belakangan ini. “Sudahlah, Ly. Jangan banyak mikirin hal yang enggak-enggak. Nanti kamu malah jadi kurus. Sia-sia suamimu cariin kamu uang buat makan. Maaf sekali lagi, gara-gara aku kamu jadi kepikiran lagi soal itu. Jadi ngerasa bersalah banget aku,” ucap Dewa dengan wajah menggambarkan rasa bersalah yang begitu jelas. “Udahlah, Mas, nggak apa-apa. Aku saja yang terlalu berlebihan bereaksi. Mas mau makan sekarang? Aku sudah masakin makanan buat Mas.” Lily tidak ingin masalah itu semakin panjang, sehingga dia memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka. “Aku capek banget, ly. Boleh istirahat dulu, kan? Nanti aku pasti makan masakan kamu. Terima kasih banyak karena kamu sudah menyambutku dengan baik.” “Oh, begitu. Ya sudah, Mas. Mas istirahat saja dulu. Nanti kalau Mas mau makan, panggil saja aku di kamar atas. Biar nanti aku panasin makanannya buat Mas,” pesan Lily sebelum Dewa beranjak dari duduknya. “Baiklah. Terima kasih banyak, Ly. Aku ke kamar dulu, ya?” “Iya, Mas.” Dewa segera beranjak dari tempatnya duduk, dan berjalan menuju ke kamar tamu yang sudah disediakan oleh Lily. Lelaki itu langsung merebahkan dirinya ke atas kasur. Dewa melirik miliknya di bawah sana yang membuat celananya menggembung. ”Padahal tidak ada yang salah dengan Lily, tetapi kenapa reaksi tubuhku begitu berlebihan terhadapnya. Di beberapa tempat aku juga sering melihat wanita berpenampilan seksi, tetapi tidak sampai membuatku setegang ini. Bisa-bisanya Aldo tahan meninggalkan Lily ke luar kota setiap bulan,” ucapnya bermonolog. Dewa menggerakkan tangannya ke bawah sana, dia mengelus bagian celananya yang menggembung dengan gerakan perlahan. Entah mengapa dalam bayangannya Lily yang melakukan itu. Dewa menikmati gerakan tangannya sendiri, hasratnya semakin memuncak. Tampaknya dia sudah gila, tergoda pada istri adik kandungnya sendiri sampai membuat gairahnya memuncak seperti sekarang. “Ah, seandainya saja Lily yang mengelus milikku sekarang, pasti rasanya akan lebih nikmat. Ah, sial! Ini enak sekali.” Batin Dewa. Dewa kemudian mempercepat gerakan tangannya. Mulutnya mendesis beberapa kali. Dia berusaha meredam suaranya khawatir Lily akan mendengarkan desahannya. Tidak berapa lama, tubuh Dewa pun menegang. Cairannya membasahi celana bahan yang dia kenakan. Ini benar-benar gila. Untuk pertama kalinya dia bisa keluar cepat hanya dengan sentuhan dari luar celana. Dewa tidak menyadari kalau ada sepasang mata yang memperhatikan tingkahnya. Lily. Dia yang tidak sengaja melintas di depan kamar tempat Dewa berada untuk pergi menyapu, tidak sengaja mendengar suara Dewa. Pintu kamarnya yang tidak ditutup dengan benar membuat Lily akhirnya mengetahui apa yang dilakukan oleh kakak iparnya tersebut. Walaupun tanpa dibuka, Lily bisa membayangkan seberapa besar milik Dewa. Ditambah lagi dengan jarak pintu, dan ranjang yang cukup dekat. Hal itu membuat Lili bisa melihat jelas gundukan besar milik Dewa. Bahkan setelah lelaki itu mendapatkan pelepasannya. Melihat cairan itu menyembur, dan membasahi celana Dewa, tubuh Lily memanas. Apalagi dia memang sudah lama tidak disentuh oleh Aldo. "Seandainya saja punya mas Dewa masuk ke tubuhku. Pasti rasanya akan penuh sekali,” batin Lily. “Astaga! Kamu mikir apa, lily! Ingat, dia itu kakak iparmu.” Lily berusaha menyadarkan dirinya. Dia cepat-cepat berlalu dari depan kamar Dewa, sebelum lelaki itu memergokinya tengah mengintip.“Mas Dewa bohong,” protes Lily. Tubuhnya tergunjang hebat akibat hentakan yang dia dapatkan.Sekarang dia tengah memandangi bayangan tubuhnya yang tanpa busana di depan cermin yang ada di kamar mandi. Di belakang tubuhnya, tentu saja ada Dewa yang tengah melesakkan miliknya dengan penuh semangat.“Memangnya aku bohong tentang apa, Sayang?” tanya Dewa dengan suara berat penuh hasrat. Dia masih terus menggerakkan pinggulnya. Sebentar lagi puncaknya akan segera tiba.“Tadi bilangnya cuma mandi bareng, ujungnya Mas Dewa tambah lagi,” ucap Lily yang tengah mencengkeram erat pinggiran wastafel. Dia tidak sepenuhnya protes. Bahkan sekarang dia sangat menikmati apa yang Dewa lakukan.“Maaf, Sayang. Rasanya sangat susah untuk melewatkan tubuh seksi kamu. Tapi bukankah kamu menikmatinya, Sayang?” Dewa sengaja sedikit membungkuk, memberikan gigitan di pundak Lily. Dengan mata menatap nakal ke arah cermin. Menikmati ekspresi Lily yang pasrah berpeluh.“Sangat menikmatinya, Mas. Mas Dewa, Lily mau
Aldo tengah menemani Nila tidur siang. Walaupun ada Nila di dalam dekapannnya, mata Aldo terpusat ke layar ponselnya. Dia sedang menunggu notifikasi pesan dari Lily. Biasanya istri pertamanya itu tidak pernah absen mengingatkannya makan siang. Tak jarang Lily spam hanya untuk cerita tentang hal-hal sepele. Tapi hari ini, tidak ada satu pun pesan datang dari Lily.“Kamu sebenarnya kemana, Ly. Walaupun kamu sering spam tidak jelas, tapi aku merindukan kerandoman kamu itu, Ly. Perjalanan kita begitu panjang sebelum menikah. Kamu sudah banyak kasih aku support. Aku memang tidak seharusnya tergoda pada Nila. Sebenarnya aku sangat mencintai kamu, Lily. Tapi masa jeda karena aku fokus pada Nila waktu itu membuat aku canggung. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk mengembalikan keharmonisan pernikahan kita.”Lily memang sering sekali bercerita tentang hal-hal yang tidak penting. Seperti dia bertemu siapa saat belanja di tukang sayur, kejadian lucu yang tidak sengaja terjadi, atau menceritakan
Dewa dan Lily tengah menonton televisi. Lily tengah berada di pangkuan Dewa dengan posisi setengah tiduran. Sementara Dewa tampak sesekali menyuapkan buah-buahan yang sudah dipotong-potong ke mulut Lily. Begitu pula dengan Lily. Mereka saling menyuapkan buah secara bergantian. Layaknya pasangan yang sedang kasmaran.“Mas, Mas Dewa kalau di Batam, pas nggak ke kantor, ngapain aja di rumah?” tanya Lily penasaran.Dia ingin tahu tentang kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Dewa di rumahnya.“Tidur, Ly. Mau apa lagi? Kadang-kadang aku iseng fitness supaya tubuhku semakin sehat. Soalnya selain hari libur, aku nggak bisa olahraga dengan benar." Dewa menjawab pertanyaan Lily dengan senang hati.“Pantesan tubuh Mas Dewa makin bagus berapa tahun nggak ketemu. Rupanya Mas Dewa seneng olah raga.” Lily pun memuji perubahan bentuk tubuh Dewa. Di matanya, lelaki itu memang banyak berubah.“Oh ya? Memangnya perubahan tubuh aku kelihatan banget, ya?” Dewa balik bertanya. Dia memang menyadari banya
Di sebuah gazebo rumah besar sepasang suami istri berumur. Mereka tampak sedang menikmati secangkir teh dan makanan kecil yang terhidang di hadapan mereka. Di bagian samping rumah mereka sedang ada renovasi. Mereka adalah orang tua Dewa dan Aldo, Darto dan Rahma.Walaupun mereka sudah menikah selama tiga puluh lima tahun, Darto dan Rahma masih terlihat romantis. Mereka sering menikmati waktu bersama di setiap kesempatan.“Pah, coba saat santai begini kita ditemani cucu, ya? Pasti lebih bahagia. Lily sudah tiga tahun jadi menantu kita tidak hamil juga. Dewa juga betah sekali menduda. Tahun ini dia sudah lima tahun hidup sendiri. Kalau begini, kapan kita punya cucunya?” celoteh Rahma.Dia memang sudah sangat menantikan kehadiran seorang cucu. Itulah mengapa dia selalu menekan Lily untuk segera hamil.“Mah, mereka baru menikah tiga tahun. Biarkan mereka menikmati masa pengantin baru mereka. Kalau sudah saatnya, Lily pasti hamil.” Darto berpendapat. Dia sendiri tidak terlalu terobsesi unt
“Pagi, Sayang. Aku senang kamu tidur sangat nyenyak dalam pelukanku semalam. Aku sengaja tidak membangunkan kamu karena aku tahu, kamu pasti kelelahan setelah pertempuran kita,” ucap Dewa lembut. Lelaki itu mengusap tangan Lily yang melingkar di perutnya dengan penuh sayang.Lily tersenyum.Dewa memang lelaki yang sangat bisa memahaminya. Bahkan dia dengan sengaja membiarkan Lily menikmati tidur panjang setelah pergulatan nikmat mereka. Dia tidak mungkin bisa melakukan ini kalau bersama Aldo. Boro-boro suaminya itu mau memasak sesuatu, Lily pasti langsung diperintahkan bangun pagi untuk menyiapkan semua keperluan Aldo. Sejak awal menikah memang sudah seperti itu. Bedanya, saat awal menikah, Aldo lebih sering bersikap manis. Jadi Lily tidak merasa kalau semua itu merupakan beban.“Mas Dewa manjain aku banget, sih? Makin sayang jadinya. Makasih ya, Mas. Lily ngerasa beruntung banget bisa ketemu sama Mas Dewa. Maaf ya, lily nggak peka kalau Mas Dewa sebenarnya suka sama Lily dari lama,”
Lily menggeliat, dia membuka matanya perlahan, dan menyadari kalau hari sudah menjelang siang. Dia terbangun karena terganggu dengan suara ponselnya yang terus berdering. Bukannya segera memeriksa siapa yang melakukan panggilan, Lily justru fokus mencari keberadaan Dewa. Lelaki itu sudah tidak ada di sisinya.Setelah itu, barulah dia mengambil ponselnya. Dia berekspresi tidak senang saat mengetahui Aldo yang menelepon. Tumben. Biasanya selalu Lily yang menghubungi lebih dulu. Mengapa pagi ini berbeda? Dengan terpaksa, Lily menekan tombol hijau di layar ponselnya sambil mengatur posisi terbaik supaya dia bisa menerima panggilan dengan nyaman.“Pagi, Mas.” Lily menyapa dengan nada dibuat seceria mungkin.“Lama sekali angkat teleponnya, Ly? Kamu kemana saja? Aku sudah bilang, kan? Jangan jauh-jauh sama ponsel. Kamu tahu sendiri, aku nggak suka nunggu lama,” omel Aldo dari ujung sana. Sungguh sangat mengganggu pendengaran Lily.“Aku baru bangun, Mas. Semalam aku nonton drama sampai lupa w







