Mag-log inTelah terpasang sempurna setelan formal di tubuh Dante, membentuk siluet anggun nan gagah yang membungkus tonjolan ototnya.Begitu cermin dia lihat guna pindai diri, ada satu kecacatan di lehernya—dasi—benda itu belum Dante pasang. Telaga birunya dilempar pada insan yang membantunya bersiap pagi ini—sang istri—dia menatap kagum sosoknya yang berwibawa dalam bungkusan setelan formal."Did I look handsome, My Lady?" Dia membalikkan badan, perlihatkan betapa menawannya dirinya.Labium Lib mengukir senyum kagum. Tertera di telaga almondnya binar kagum untuk sang pria. "Everytime," sahut Liv. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, adalah kesempurnaan dari Dante Greyson. Pria itu diciptakan tanpa sedikitpun celah, seolah dewa dari Yunani.Dalam wajah datar kendati telah diberi pujian, Dante berkata, "Kau tidak merasa ada yang kurang?"Bibir Liv mengkerut, perhatikan lagi penampilan Dante—cari celah dari kesempurnaan yang telah tercipta. Lekas tatapannya mengacu pada leher yang kosong."Ah,
Di ujung ranjang, sosoknya duduk diam dengan kepala menunduk. Bola matanya terus bergulir ke kanan dan kiri, selama tidak berpusat pada seseorang yang baru membuka setelan kerjanya. Acap kali hidungnya mengembus aroma black opium dari pria ini, ingatan akan malam panas penuh gairah kemarin menyelinap. Memorinya masih menyimpan bagaimana perlakuan pria itu. Sentuhan-sentuhan lembutnya membekas begitu lekat. Terkadang, Liv merasa malu dalam diamnya. Selama dirinya hidup, tidak ada satupun pria menyentuhnya.Ujung sepatu Dante mengetuk. Alas sepatu warna merah sebagai simbol kekuasaannya membunyikan ketukan intimidatif.Lama waktu berselang, buat hening meraja di dalam kamar, Dante baru bersuara, "Aku lihat-lihat kau sering sekali melamun."Ujung telunjuk pria itu menggerakkan dagu Liv, agar kepala wanitanya tidak selalu menunduk."Aku mengerti." Kala bibirnya mengetukkan kata, aroma mint dari mulutnya terembus begitu segar di wajah Liv. "Sulit bagimu beradaptasi di duniaku. Tapi ada s
Semua insan telah terlelap dalam dunia mimpi begitu malam bertandang menyapa dunia. Seluruh pencahayaan buatan di dalam mansion tergantikan oleh suasana gelap gulita. Tujuannya jelas bukan untuk menghemat listrik, melainkan memberi ketenangan untuk para insan menjemput mimpi indahnya. Menyisakan seorang perempuan di sisi mansion yang ditempati air mancur. Hanya dengan selimut tipis mendekap diri, dia berdiri perhatikan setiap tetesan air yang dihancurkan mesin air mancur. Greyson’s mansion, semula Liv menganggap neraka yang akan memberinya lebih banyak luka, rupanya dapat menjadi tempat untuk Liv mencari tenang, seperti di taman tanpa bunga ini. “Sepertinya kau senang sekali dengan suhu dingin.” Liv menoleh mendengar suara Dante. Kemeja putih dihiasi galter belt di lengan atas Dante menambah karisma lelaki itu. Sorot cahaya amber menerpa tubuh Dante, melukiskan siluet yang menambah detail proporsi tubuh tegap lelaki itu. “Tuan?” Liv melirih, menyebut panggilan suaminya. Untuk
“Makanlah.” Sepiring steak dan mashed potatoes Dante serahkan pada istrinya.Senyum tipis terbentang di wajah Liv. Rasanya masih mimpi bahwa Dante sangat jauh dari rumornya. Dia memiliki sisi yang tidak pernah dilihat orang lain, tak terkecuali ayahnya.Padahal, Dante sewaktu menagih hutang pada ayahnya, dia berperan bagai malaikat maut. Namun, yang ada di depannya sekarang menyerupai malaikat baik.“Terima kasih.” Sendok dan pisau, Liv genggam, gunakan kedua benda tersebut untuk memotong daging.Sepotong daging panggang menyapa indera pengecap Liv. Jus yang keluar dari daging panggang menari-nari di lidah, membuatnya tanpa sadar memekik kecil karena rasa makanan yang tak pernah dia rasakan.Dante mengernyit. Adalah pertanyaan baginya melihat Liv yang seolah baru pertama kali makan daging panggang. Walau Dante tahu dari keluarga mana Liv berasal. Hal itu menumbuhkan kesimpulan; apakah Kane membedakan perlakuan Liv dengan putrinya yang lain?“Kau bisa tersedak jika seperti itu cara
Mentari tak lagi menempati singgasana, cahaya keemasan di cakrawala telah turun, berganti dengan kegelapan ditaburi bintang. Semilir angin malam terasa begitu dingin malam itu, menembus kehangatan yang Liv harapkan dari sehelai selimut. Di balkon kamar, sosoknya nikmati kesejukan malam. Berhubung ini musim dingin, entah mengapa, melihat salju turun dari langit, selalu membuat benak Liv terasa hangat. Hangat oleh memori yang dulu selalu menghiburnya. "Aku kangen Mama." Dia membisik, bisikannya dibawa angin malam yang telah menurunkan salju. Senyap bagi sebagian orang adalah suasana yang membosankan, lain halnya dengan Liv, dia sangat mendambakan keheningan. Baginya, hening adalah ketenangan yang membuat jiwanya merasa pulang. Drrt drrrt. Getaran dari benda pipih di dalam saku piyama menyentak Liv. Gadis itu melepaskan pandangan dari salju yang turun lambat, lekas lihat ponsel dengan layar mempersembahkan nama Hailey sebagai ID caller. Liv menarik napas, rasanya enggan menerima tel
Segala kata telah hanyut di kepala. Ancaman halus Dante bukan malah membuat Liv mampu mengeluarkan suara, justru ia merasakan adanya kelu di lidah. "A-aku ...." Liv ingin mendorong tenggorokannya untuk menjawab Dante. Namun, dia merasa kehadiran batu di sana, buatnya sulit untuk bicara. Pria yang Liv kenal tidak memiliki kesabaran ini, menunggu penuh kesabaran jawabannya. Dia hanya menaikkan alis, selagi Liv utarakan isi kepalanya. "Hmm?" Dante seolah bukan Dante. Dante yang berhadapan dengannya, bagai malaikat yang datang untuk menyelamatkan Liv dari neraka yang merupakan keluarganya. Sangat jauh dengan ekspektasi Liv yang awalnya mengira Liv akan diperlakukan kasar. Atas keberanian yang dipaksa, Liv menjawab dengan suara tersendat-sendat. "Aku ... aku tidak tahu harus berbicara apa." Saat sang dara tengah bingung terhadap situasi yang jauh dari ekspektasi, Dante hanya menatap lamat. Tidak ada secercah pun emosi dari pendaran matanya, membuat Liv sulit menebak isi kepala Dante