Share

Bab 8

"Dia emang susah diatur, selalu aja nurut apa kata istrinya, gak bisa dibilangin atau dirayu, hih amit-amit semoga kamu nanti gak punya anak yang kayak kakakmu itu," jawab Ibu bergidik bahu.

Si Suci manggut-manggut sambil menjebikan bibirnya juga sedikit.

"Oh ya Bu, terus itu soal sumbangan 5 juta per orang apa gak kebanyakan? Ibu kan tahu Suci gak punya duit, Bu," kata Suci lagi.

Ibu berdecak sambil mengibaskan tangannya.

"Gak usah dipikirin itu mah, Ibu sengaja cuma mau bikin Kakakmu si Ridho kelabakan. Biar kakakmu itu kapok karena udah banyak bantah Ibu. Pokoknya intinya Ibu mau buat kakakmu, si Ridho itu kembali lagi ke rumah ini supaya si Ranti juga balik ke sini."

"Ibu sih waktu itu pake bilang mereka masih numpang segala, jadinya kak Ridho kesinggung kan?"

Ibu mengembuskan napas kasar.

"Ibu kesel sama kakakmu Ci, masa iya istrinya dibelain terus begitu, yang Ibu mau itu si Ridho kayak si Haris, selalu mengutamakan Ibu, tapi dibentak bukannya minta maaf dan takut si Ridho malah minggat, hih."

Si Suci terkekeh menahan tawa.

"Lagian Ibu sok sok an ngusir Kak Ridho, kita akhirnya jadi susah kan? Mana sekarang susah pula buat ngajakin mereka balik lagi ke rumah ini," dengus Suci.

"Ya ini Ibu lagi berusaha Suci, Ibu tuh sengaja ngasih kalian jatah 5 juta per orang supaya si Ranti juga sadar diri, dia siapa sih? Kalau gak bisa kasih duit ya minimalnya dia harus mau dong tinggal di sini ngerjain kerjaan rumah ini, ya gak?" kata Ibu mengejutkan alisnya sambil tersenyum jahat.

Mendengar percakapan mereka tak terasa rahangku sudah mengerat.

Jadi ini yang diinginkan Ibu sebetulnya? Keterlaluan.

Kalau begitu untuk apa aku masih di sini? Percuma, ibu memang sengaja hanya ingin menyudutkan aku dan Ranti.

Akhirnya kuurungkan niat mengambil sajadah, bergegas aku ke dapur dan menarik istriku pulang tanpa berpamitan.

"Abang apa-apaan ini? Kenapa kita pulang buru-buru begini?" tanya Ranti saat kami dalam angkot.

"Udah pulang aja nanti Abang ceritakan."

_

Sesampainya di rumah setelah kami beribadah Ranti kembali bertanya.

"Abang tolong ceritakan ini teh ada apa sih sebetulnya? Dan kenapa kita harus pulang buru-buru? Acara tahlilan Bapak gimana?"

Meski berat dan malu bukan kepalang, akhirnya kuceritakan semua yang kudengar tadi di rumah ibu.

Semua tanpa ada yang terlewat, agar istriku juga tahu siapa mertuanya itu, bukan niat menjelekkan ibu sendiri tapi agar Ranti belajar membedakan mana yang tulus dan mana yang modus.

"Astagfirullah begitu rupanya, Bang?"

Aku menganggukan kepala.

"Ish keterlaluan eta mah, awas aja bakal Ranti balas nanti, udah Ranti baik-baikin, semaksimal mah jadi menantu yang sempurna, dikira Ranti Ibu teh beneran sayang sama Ranti, beneran nerima Ranti tapi nyatanya apa? Tega bener," gerutunya dengan tangan dikepalkan.

"Ya emang begitu Ran, makanya kamu tuh jangan mudah percaya sama sikap baik dan polos seseorang, lebih baik biasa aja, biar kamu gak dimanfaatin lagi." Aku menegaskan sekali lagi, Ranti manggut-manggut di tempatnya.

Sedang serius mengobrol, ponselku berdering.

"Loud speak, Bang," kata Ranti bersemangat.

"Hallo Kak Ridho, di mana sih? Kok gak ada di rumah? Orang-orang udah mau pada dateng nih," kata si Suci di jauh sana.

Aku diam, malas sebetulnya bicara dengan keluargaku itu.

"Abang ngomong." Ranti mencubit perutku sebab aku yang tak kunjung menjawab omongan Suci dalam telepon.

"Males ah, nih kamu aja yang ngomong." Aku memberikan ponselku pada Ranti.

Ranti berdecak kesal, akhirnya ia yang bicara dengan Suci.

"Hallo, kenapa Ci?"

"Kak Ranti, pada di mana sih? Orang-orang mau tahlilan kalian malah menghilang," tanya Suci kecut.

"Kita udah pulang, mau tahlilan di kontrakan aja," jawab Ranti, sama kecutnya.

Aku menautkan alis saat mendengar nada suara Ranti yang tak biasa itu.

Kenapa nih istriku? Tumben banget, biasanya tenang dan santai kok sekarang jadi sama aja kayak si Suci?

"Hah pulang? Punya otak gak sih? Masa pulang, terus di sini siapa yang mau urus?" Si Suci makin kesal karena jawaban Ranti sama kecut dengannya.

"Otak mah jelas punya atuh, makanya ini kami pulang karena mau istirahatin otak dulu, ngerti kan gimana rasanya kerja dari pagi sampe magrib? Cape shay harus istirahat. Gantian dong kerjanya, sekarang bagian kalian, besok baru kami datang lagi."

Tut tut tut. Telepon dimatikan sepihak oleh Ranti.

Aku yang masih tak percaya menatapnya dengan mulut setengah menganga.

Kesambet apa nih istriku? Kok jadi pemberani begini? Ya bagus sih, tapi aku kaget aja gitu.

"Heh ini kamu kenapa Ran?" tanyaku akhirnya sambil merebut ponsel itu darinya.

"Kenapa?" Ranti malah balik bertanya.

"Kamu kok jadi pemberani gini sih?"

Ranti terbahak mendengar pertanyaan terakhirku.

"Emang kenapa gitu? Abang kaget ya pasti?"

Aku menganggukan kepala. Jelas saja kaget, Ranti yang biasanya terlihat santai dan tenang kenapa sekarang kayak macan ternak?

"Gak usah kaget ah, Ranti kan emang kayak begini, kemarin-kemarin Ranti diam dan nurut ya karena menurut Ranti gak perlu lah kita banyak berdebat sama keluarga sendiri, pamali kalau kata Ayah mah, apalagi sama ibu sendiri."

"Tapi gara-gara tadi Abang cerita bagaimana ibu sebetulnya, beliau ternyata punya motif yang tak terduga, ya Ranti kesal atuh Bang, walau gimanapun Ranti juga manusia biasa," imbuhnya panjang lebar.

"Lah, dulu akan Abang suka ingetin Ran, kamu jangan mau aja kalau disuruh-suruh sama ibu dan keluarga Abang itu."

"Ya dulu kan Abang gak kasih alesan jelasnya kayak sekarang, Bang."

"Hadeh Ranti ... Ranti ... kamu itu terlalu baik apa polos sih? Kalau orang normal tuh ngerasa disuruh-suruh terus ya mikir dong sayang, mereka itu pasti cuma manfaatin kamu."

Ranti mengibaskan tangan, "isshh gak boleh begitu lah Bang, kata Bunda Asmi, kita gak boleh berpikiran buruk sama orang, apalagi sama keluarga sendiri."

Aku mengerling sambil menggeleng kepala.

"Ya udahlah Bang, yang penting 'kan sekarang Ranti udah tahu gimana sifat ibu dan keluarga Abang itu sebetulnya. Jadi nanti saat Ranti ketemu mereka Ranti bisa tuh pasang sikap yang seharusnya."

"Nah bagus itu, emang harus gitu, bukan sama keluarga Abang aja, tapi sama semua orang pun emang harus gitu, seadanya aja jangan terlalu baik sekiranya mereka bakal manfaatin mah."

Ranti mengangkat kedua jempolnya.

"Siap Abang, oh ya selesai tahlil buat Bapak kita makan di warnas yuk laper nih." Ajaknya sambil memegangi perut.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Widuri Widuri
lanjutkan ceritanya saya sudah tidak sabar menunggu endingnya
goodnovel comment avatar
carsun18106
berarti nasib ranti awal2 pernikahan hampir sama kyk bunda nya ya
goodnovel comment avatar
carsun18106
eh bener, ranti anaknya asmi...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status