Share

Bab 6

Sialan! 

Tidak ada kata lain yang tepat untuk menggambarkan apa yang Gita rasakan selain itu. Sialan! Dia harus merutuki dirinya sendiri akibat bangun hampir kesiangan. Atau sesungguhnya, dia sudah kesiangan. Dia bangun setengah jam setelah alarm-nya berbunyi meski dia telah dengan sengaja menyetelnya lebih awal. Dia seharusnya sudah sampai di hotel pukul enam pagi. 

Dia menuliskan sesuatu di kertas lalu menempelkannya di sebuah gaun ungu. Sementara itu, dia segera mengambil gaun abu-abu yang tergantung di sebelahnya, sepatu heels berwarna senada, dan tasnya kemudian melesat keluar dari apartemennya. Dia bahkan berlari menuruni tangga. 

"Makasih sudah mau mengantarkanku," ujarnya setelah duduk di mobil dan menutup pintunya. 

"Pakai dulu sabuk pengamannya," perintah pria di sampingnya yang tak lain dan tak bukan adalah Rangga. Dia melihat Gita selesai memasang sabuk pengaman lantas mulai menjalankan sedannya. 

"Makasih sudah mau mengantarkanku." Gita membuka obrolan dengan kalimat yang sama seperti sebelumnya. Dia masih mengatur napasnya setelah keterburu-buruannya. Dan ada sedikit kegugupan kala kewarasannya kembali. Jadi, tampaknya, dia membutuhkan usaha lain untuk menenangkan degup jantungnya. 

"Kamu sudah bilang itu." Rangga menanggapi dengan tawa kecil di bibirnya. Pikiran Gita pasti sedang kacau hingga wanita itu mengatakan hal yang sama dua kali. 

"Oh, benarkah?" Parahnya, Gita bereaksi seperti orang linglung. "Aku nggak bisa tidur semalam. Jadi, aku pikir aku akan begadang semalaman. Tapi, akhirnya aku malah ketiduran dan bahkan nggak dengar alarm-ku," jelasnya cepat. Dia merangkai apapun yang melintas di benaknya. 

"Woah woah. Tenang, Gita," respons Rangga yang mendengar kekacauan dalam suara Gita. Kelihatannya, Gita belum pulih sepenuhnya. "Relaks, oke?" 

Gita mengikuti saran Rangga dengan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia melakukannya beberapa kali sampai ketenangan didapatkannya dan pikirannya mampu mengendalikan situasi. 

"Udah lebih baik?" 

Dia menganggukkan kepalanya. "Ya." 

"Bagus." 

Rangga memutar kemudinya ke kiri untuk membelokkan mobilnya ke jalanan yang cukup sepi di area lain di pinggiran kota. Hotel tempat pernikahan Lukman dan Dela akan diadakan bukan di wilayah pusat kota. Tempatnya sedikit berada di pinggiran dan memiliki pemandangan yang sangat luar biasa. 

"Aku juga nggak bisa tidur semalam. Makanya, niatnya aku mau joging saat kamu kirim pesan tadi." 

Ya, Gita yang mengirimi Rangga pesan. Tepatnya, mereka bertukar pesan sejak dia meninggalkan hotel Adiwijaya. Dia harus menjemput keluarganya yang datang dari Yogyakarta. Oh, keluarganya dan keluarga Lukman bersahabat. Mereka pun bertetangga. Jadi, Lukman juga mengundang kedua orang tuanya dan adiknya. Lukman juga telah mempersiapkan kamar di hotel untuk orang tuanya. Maklum, apartemennya tidak sanggup menampung seluruh keluarganya. Hanya Andin, adik perempuannya, yang bermalam di apartemennya. 

"Setelah apa yang kita lalui kemarin, sepertinya, normal jika kita susah tidur." 

Itu soal pernikahan mendadak keduanya. Apa lagi? Gita bahkan belum terbiasa melihat cincin pernikahan di jari manisnya. Tentu, itu bukan cincin dengan batu besar yang akan mencuri perhatian banyak orang. Bentuknya sederhana dan elegan dengan batu-batu kecil yang mengelilingi permukaannya. 

"Sepertinya memang begitu." 

Perjalanan dari apartemen Gita ke hotel hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit. Itu memang dekat. Gita mungkin bisa berjalan kaki ke sana kalau saja dia tidak sedang kerepotan. Sayangnya, dia mesti membawa gaun dan perlengkapan lain serta menjaga tubuhnya tetap segar untuk acara penting sahabatnya. Jadi, dia mencoret pilihan tersebut. 

"Kamu yakin nggak perlu kutemani?" tanya Rangga setelah memberhentikan mobilnya di depan hotel. 

"Iya, Rangga. Aku bisa atasi ini sendiri," balas Gita seraya melepaskan sabuk pengamannya. "Makasih sudah bantuin aku." 

"Kamu ngomong begitu lagi." 

Gita mengubah posisinya untuk menghadap Rangga. "Maaf. Tapi, aku mesti ngomong itu sebelum kita berpisah, benar?" Lalu, tanpa menunggu jawaban Dave, dia membuka pintu mobil dan keluar. Tak lupa, dia mengambil bawaannya yang dia letakkan di kursi belakang. 

"Kamu bakal chat aku, kan?" Rangga kembali bertanya sebelum Gita menutup pintu mobilnya. 

"Tentu dong." Gita lalu memberikan senyumnya. "Sampai ketemu lagi, Rangga." 

Dan mereka pun berpisah. 

Namun, baru tiga langkah jauh dari Rangga, Gita terpikir sesuatu. Dia segera berbalik dan mengetuk jendela mobil Rangga. 

"Kamu berubah pikiran?" 

"Nggak." Gita tertawa. Dia tahu Rangga hanya bergurau. "Aku cuma mau bilang sesuatu." 

"Apa?" 

"Aku berhasil tidur, jadi kamu juga harus coba untuk tidur. Aku tahu situasi kita benar-benar absurb. Tapi, kalau dipikir berlebihan juga nggak baik. Toh, kita tetap harus menjalaninya." Gita berhenti sejenak lalu melanjutkan. "Apa yang mau coba aku katakan adalah mari kita menjalani pernikahan ini secara perlahan-lahan. Biar semuanya jadi lebih mudah." 

Rangga terdiam mengamati Gita berbicara. Dia bahkan sedikit memiringkan kepalanya seolah-olah menikmati kegiatannya ini. 

Gita menyadari tatapan intens Rangga kepadanya. Dan dia menjadi salah tingkah diperhatikan begitu. "Kenapa lihat aku begitu?" gagapnya dalam kegugupan mendadak yang merambatinya. Meski mereka sudah menikah, dia belum terbiasa akan segala sesuatu yang berkaitan dengan Rangga. 

Tidak. Rasa-rasanya, dia tidak akan terbiasa memiliki pria seperti Rangga sebagai suaminya. Baik, tampan, dan sangat kaya raya. Apakah ini sungguh keberuntungannya? 

"Kamu tahu sesuatu? Kamu bikin semua perhatian tertuju sama kamu tiap kali kamu ngomong," sahut Rangga dengan senyum tersembunyi di bibirnya. 

"Ngeledek nih?" dengus Gita, meragukan ucapan tersebut. 

Rangga sedikit terkejut dibuatnya. "Bagian mana yang aku ngeledek kamu?" tanyanya dengan alis berkerut. 

"Itu-" Gita sedikit menggantung kalimatnya. "Kamu kedengaran seperti menyuruhku berhenti ngomong," lanjutnya dengan bibir mengerucut. Dia seolah-olah tertangkap basah melakukan tuduhan tak berdasar itu, seperti pertemuan pertama mereka. Untungnya, waktu itu Rangga tidak menganggap serius celotehannya. 

Rangga tertawa. Sementara Gita masih sama seperti yang ditemuinya malam itu. Tapi, yah, manusia tidak berubah dalam sekejap, bukan? 

"Aku nggak pernah ngomong begitu, Gita Adiwijaya, juga nggak bermaksud begitu." Rangga sengaja mendramatisir perkataannya. "Aku sungguh-sungguh bilang begitu. Kamu kelihatan sangat menarik saat bicara," jelasnya untuk memperbaiki kesalahpahaman mereka. Kenapa wanita suka sekali mengambil kesimpulan sepihak? 

Bibir Gita semakin mengerucut. Kali ini, gabungan antara malu, rasa bersalah, dan tersipu setelah mendapatkan pujian dari Rangga. Terlebih, kala pria itu mengucapkan namanya. Gita Adiwijaya. Nama barunya terdengar aneh sekaligus mendebarkan untuknya. 

"Aku harus pergi sekarang. Jangan lupa untuk coba tidur." Dia memilih mengakhiri obrolan mereka. Rasa-rasanya, bersama dengan Rangga lebih lama akan membuatnya melakukan lebih banyak kesalahan. Kesalahan yang akan mempermalukannya, tentunya. 

"Akan kutelepon setelah bangun nanti," seru Rangga, menarik perhatian Gita untuk terakhir kali. 

Gita tersenyum. Tetapi, dia tidak berhenti dan berbalik. Dia justru melambaikan tangannya sebagai gestur bahwa dia mendengar ucapan Rangga. Lalu, dia memasuki hotel dengan perasaan yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada lagi kegugupan. 

Gita melangkahkan kakinya semakin dalam menuju kamar hotel di mana dia akan berbagi tempat dengan Dela untuk bersiap-siap. Berganti pakaian adalah hal mudah. Yang lama adalah bagian make up. Berdandan membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan juga dia perlu mengantre hingga gilirannya tiba.

Meskipun demikian, dia tetap mempercepat langkah kakinya karena sampai lebih awal akan selalu lebih baik.

Sementara itu, Rangga melihat Gita hingga wanita itu menghilang dari pandangannya. Dia tersenyum sebelum melajukan mobilnya meninggalkan area tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status